f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
menua

Mari Menua dengan Gembira

Usiaku tahun ini 45. Anak kuliahan dan mbak-mbak penjaga toko sudah mulai memanggilku ‘ibuk’. Tapi di level simbok penjual pisang, aku masih dipanggil ‘nak’. Beritasatu.com pernah mengutip Daily Mail tentang riset batasan usia tua yang dilakukan di Inggris. Responden dengan usia yang berbeda, memiliki persepsi masing-masing. Namun secara rata-rata, bagi mereka, batasan usia muda adalah di 41 tahun, sementara 59 tahun menjadi awal dimulainya usia tua.

Mencermati riset tersebut, aku sendiri merasa sedang dalam perjalanan menuju tua. Tidak muda. Tapi belum tua. “On progress”, kalau kata online shopping. “Otewe”, kalau kata ‘kamus janjian di WAG’. Ya, aku menua.

Dan aku merasa menikmati proses ini, proses menua ini. Ketika warna di rambutku mulai menyembul malu-malu, malah suamiku yang gemes banget pengin mencabuti ubanku satu persatu. Sedapat mungkin aku mengelaknya, karena aku merasa “kelahiran” uban di kepalaku ini justru membuat penampilanku terlihat keren sekali. Haha…!

Menolak Tua

Ketika aku semakin cepat lelah padahal baru bekerja beberapa jam saja, aku merasa bersyukur karena tubuhku me-warning aku untuk beristirahat. Dan ketika aku kemudian berhenti sejenak untuk meluruskan kaki, menyeruput minuman hangat, atau bahkan sekadar duduk sambil bermain games-games di Shopee, aku merasakan betapa hal-hal sederhana seperti itu saja kok rasanya nikmat banget.

Padahal dulu, di umur 30-an (maaf kalau boleh sombong), aku merasa fisikku ini yahud punya. Aku bisa tahan bekerja di bagian produksi TV selama sebelas tahun. Melalui hari-hari yang penuh kesibukan sepanjang hari. Lari sana-sini saat syuting, memeras otak untuk selalu berpikir kreatif, serta memaksakan diri untuk tetap terjaga dan berkonsentrasi setiap saat, walaupun rasa kantuk dan kelelahan begitu menyiksa.

Baca Juga  Gaya Hidup Minimalis yang Bikin Kantong Lebih Ekonomis

Saat ini, boro-boro kepikiran mau syuting lagi, meeting dua jam saja mataku sudah berkunang-kunang, badanku penat, dan otakku terasa lelah sangat. Berkendaraan luar kota selama empat jam nonstop sudah berpotensi membuat kumat sakit pinggangku, dan kelelahan akibat aktivitas seharian penuh di luar ruangan membutuhkan waktu recovery satu sampai dua hari.

Sebenarnya, bukan sekali – dua kali aku mendengar istilah “menolak tua”. Jargon ini biasa diusung mereka yang merasa tetap bisa beraktivitas selayaknya manusia berusia lebih muda dari usia mereka sebenarnya.

Di BBC News Indonesia aku membaca sebuah artikel terkait hal ini. Artikel saduran itu cukup panjang kalau harus aku kutip satu persatu bagian mana yang menarik hati. Biar kusimpulkan saja, apa hasil yang berhasil kucerna setelah membacanya.

Menurut artikel berjudul “Demi Kesehatan, Anda Harus Menolak Tua” tersebut, aku menangkap bahwa, merasa lebih muda dari usia yang sebenarnya itu bagus, karena mengurangi resiko depresi yang berdampak pada kesehatan jiwa. Hal ini bisa meningkatkan kesehatan fisik serta mencegah timbulnya stereotip negatif di usia tua, sehingga bisa membayangkan masa depan dengan lebih positif.

Aku tidak akan menyangkalnya, bahkan mencoba mengerti hal ini. Dengan mengabaikan usia yang sebenarnya, mungkin saja kita merasa lebih bebas melakukan segala sesuatu tanpa batasan. Ya memang bagus bila hal itu bisa menjadi stimulus untuk menyemangati hidupmu. Tapi menurut aku, batasan-batasan itu perlu ada supaya nggak kebablasan seperti kisah berikut ini.

Ketika tulisan ini dibuat, tiba-tiba aku mendengar kabar salah seorang teman yang sedang mendapat musibah. Kakinya sakit, tidak bisa menapak. Ternyata sebelumnya, beliau sengaja meloncat dari lantai 2 rumahnya. Iya, sengaja meloncat. Beliau merasa, dulu ia bisa melakukannya dengan selamat. Baik-baik saja. Tapi kok, sekarang begini?

Baca Juga  Percantik Diri Sambut Idulfitri

Kasus tersebut membuatku berpikir, mungkinkah ia belum bisa “menerima” pertambahan usianya? Perasaan ‘dulu bisa kok’ itu seperti menunjukkan bahwa ia mengabaikan usianya. Aku sering berpikir, kalau sampai sekarang aku masih bekerja di produksi TV, mungkin aku juga akan abai dengan usiaku, karena tuntutan lingkungan kerjaku. Mungkin aku jadi tidak menyadari beberapa bagian tubuhku, termasuk “onderdil” di dalamnya, mulai rapuh menyertai pertambahan usiaku. Dan buatku saat ini, perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh saat menua tidak boleh diabaikan.

Kompas.com pernah menulis tentang gangguan-gangguan kesehatan di usia 40 tahun. Beberapa penyakit atau yang berpotensi menjadi penyakit pun sebenarnya sudah mulai menunjukkan tanda-tandanya di usia ini. Mulai dari yang terlihat “sederhana” seperti mudah lelah, suka pipis, atau nyeri sendi, sampai keluhan terkait haid tidak teratur, infeksi kandung kemih, atau batu ginjal. Selanjutnya bisa berpotensi untuk penyakit-penyakit seperti hipertensi, stroke, diabetes, kanker kulit, sampai penyakit paru.

Terdengar mengerikan ya? Tapi aku justru membuka mata, pikiran, dan hatiku, bahwa masalah ini tidak bisa disepelekan. Memang, Tuhan-lah yang menentukan hidup-mati seseorang. Tapi menurutku, adalah kewajiban kita sebagai manusia untuk menjaga karunia-Nya, dalam hal ini adalah tubuh kita sendiri.

Menua dengan Gembira

Apa iya dengan bertambahnya usia maka kita tidak bertambah waspada dengan makanan yang masuk ke tubuh? Sederhana saja. Dulu, aku bisa makan mie instan sekaligus dua bungkus, plus tambahan nasi putih untuk memperkuat identitas sebagai warga negara Indonesia. Sekarang, makan satu bungkus cukup dengan telur saja kok rasanya perut sudah begah banget. Kekenyangan.

Dulu, aku juga termasuk pemuja minuman dingin. Di manapun, kapanpun, minum es menjadi bestie penyelamat dahaga. Berbuka puasa dengan es campur seakan menjadi prosesi abadi di keluargaku sedari kecil. Tapi beberapa tahun terakhir ini, aku merasakan sensasi yang berbeda ketika menegak teh panas untuk berbuka puasa. Ah, ternyata nikmat sekali!

Baca Juga  Anak Indonesia Gembira di Rumah

Kenikmatan yang menyertai perubahan-perubahan dalam tubuhku yang menua ini, justru membuatku berdamai dengan umurku. Aku sepertinya tidak sejalan dengan jargon itu. Aku tidak menolak tua. Tapi aku menikmati menua.

Aku menerima, di usiaku saat ini aku harus melakukan beberapa penyesuaian terkait aktivitasku. Aku harus berkompromi dengan beberapa hal. Jalan kaki, bukan berlari. Air hangat, bukan air es. Istirahat, bukan begadang. Bahkan aku selalu membawa-bawa krim penghangat di tasku. Barang itu sudah menjadi item wajib yang bakal kubawa kemana-mana, termasuk kala nonton konser musik yang menjadi salah satu aktivitas favoritku. Krim itu jadi hero yang bikin aku masih bisa menikmati pertunjukan tanpa perlu merasakan nyeri pinggang, atau betis nyut-nyutan.

Jadi tidak perlu malu dengan usia, mari menua dengan gembira. 

***

Bagikan
Post a Comment