f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
lelaki

Lelaki dan Sepiring Cinta

Roda terus berputar. Seiring dengan berputarnya jarum jam penanda waktu, terus dibakar oleh aspal di jalan yang lengang. Walau di atas terlihat awan mulai menautkan janji. Hingga matahari mulai pasrah sinarnya terhalangi. Tak peduli, batu aspal terus menggoreng apa saja yang melintasi. Tak begitu lama setelah matahari sombong dengan panas sinarnya seharian. Sekejap berubah tanpa permisi. Seperti orang berilmu yang memindahkan singgasana ratu Bilqis ke hadapan Nabi Sulaiman.

Sekedipan mata langsung hilang. Suara motor meronta-ronta. Berusaha keras mematuhi perintah lelaki yang duduk di atasnya. Terus melaju. Sudah terbiasa motor tua itu bekerja melebihi batas usia. Menghiraukan rintihan motor yang seakan minta ampun, sambil kedua matanya tajam melihat ujung jalan. Lelaki itu bergumam. “Akan hujan, aku harus sampai rumah sebelum malam”. Tangan kanan lelaki itu menambah tekanan, agar lebih cepat laju motornya sampai tujuan. Meninggalkan asap yang keluar dari knalpot, kemudian hilang diterpa angin yang mulai berisik. Tak begitu lama air pun mulai melengkapi. Keluar dari celah awan hitam yang telah sepakat dengan janjinya tadi.

***

Siang tadi, di saat sedang bulan madu menyelami ilmu di perguruan tinggi. Karena baru beberapa hari merasakan bedanya aktivitas rutin tanpa seragam. Pikiran lelaki itu buyar menerima pesan di handphone-nya. “Kakak tidak bisa pulang hari ini, banyak yang belum terselesaikan. Cepatlah pulang bila sudah selesai”. Itulah tulisan yang dibaca, cukup singkat untuk membuyarkan pikiran. Celoteh dosen yang mendongengkan teori-teori tak ia hiraukan lagi. “Ahhh, kalau tau begini, lebih baik tetap di rumah saja aku dari pagi”. Gerutu lelaki tadi sambil kedua tangan memegangi kepala yang rambutnya mulai panjang. Seketikapun dia beranjak pulang saat tak terdengar lagi dongeng di depan kelas. Temannya yang mengajak sekedar menyeruput kopi di tongkrongan sambil basa-basi khas obrolan anak muda. Ia tolak tanpa alasan yang terucap.

Motor tua tetap melaju, sinar lampunya berusaha menembus gelap yang kian melekat. Seperti mata yang kian rabun termakan usia. Lampu di sekeliling jalan mulai berwarna, menyala lebih awal dari jadwal yang seharusnya. Angin kian kuat menggoyangkan pohon di pinggir jalan. Menggugurkan dedaunan hingga beterbangan. Seketika pun hawa dingin terasa, merasuki beberapa lapis kain yang membungkus tubuh. Menusuk hingga kedalam tulang.  “Benar-benar akan hujan deras malam ini”.

Setelah empat  puluh menit menyeimbangkan antara tangan dan kaki. Tarik ulur antara gas dan rem. Kini lelaki itu nampak di ujung pandangannya sebuah papan iklan besar bergambar tiga orang melingkar di meja makan. Wanita dewasa berkaos putih yang mungkin Ibunya di tengah sedang menuang semacam teh ke cangkir. Dua anak di kanan dan kirinya memegang biskuit yang mereka dekatkan ke mulutnya masing-masing. Melewati papan itu, lelaki itu tahu harus mengurangi tekanan gas. Perlahan mengganti dengan injakan rem di kaki. Tangannya merubah arah stang motor untuk belok ke kiri.

Baca Juga  Tumbuh Kembang Anak Bukan Cuma Urusan Mama
***

Laju motornya lebih pelan, melewati jembatan yang menyebrangi sungai kecil. Terlihat deretan rumah dan pasar kecil tempat ibu-ibu melengkapi keperluan dapur. Sebelah pasar itu ada lapangan bola, tempat shalat Ied di hari raya. Di ujung lapangan berdiri tegak gapura bertuliskan Desa Sidorejo. Namun dia tidak memasuki gapura itu, dia mengubah arah ke kanan. Tepatnya di perempatan sebelum gapura tadi.

Air hujan mulai sering mengenai tubuh. Dilihatnya anak-anak berlarian menutup kepala dengan sajadah, diiringi beberapa ibu-ibu mengenakan kain berwarna putih sambil memegangi payung menuju surau di kanan jalan. Setelah berlalu, suara azan maghrib berkumandang. Namun kian sayup-sayup, perlahan hilang berganti angin dan guntur di tengah hujan.

Melihat rumah yang lebih gelap dari sekitar, dengan pagar dominan putih bercampur warna hijau di besi-besinya. Lelaki tadi berhenti. Turun tepat di pintu pagar yg juga bercat hijau. Digesernya pintu gerbang yang berat khas besi tua. Setelah menutupnya, berjalanlah motor tua di halaman samping rumah. Tepatnya jalan yang memanjang sampai belakang. “Kenapa gelap sekali, Apa tak ada orang,” bisiknya sambil melepas helm dan jaketnya yang basah. Hujan semakin deras. Sesekali kilat memberi terang hingga dia dapat berjalan. “Assalamu’alaykum”. Ia ketuk pintu belakang rumah. Berharap ada jawaban namun pupus tak sesuai harapan. Dibukanya pintu bercat hijau tua. “Tidak dikunci,” sahut lelaki itu ditengah gelap, hanya cahaya remang-remang terlihat dari salah satu ruangan. Dia berjalan menyusuri ruangan yang lebih luas. Dirabanya dinding dengan tangan kiri, seketika cahaya putih mengganti gelap yang sunyi.

***

Assalmua’alaykum”. Kembali harapan muncul dari hatinya. Semoga ada orang yang menjawab.

Wa’alaykumsalam,” terdengar balasan. Suara lemah namun menentramkan, seperti mantra yang mengusir peluhnya di hari ini. Terus didorong pintu itu hinga terlihat perempuan duduk di atas tempat tidur. Mengenakan jaket berwarna orange. Dengan syal abu-abu melingkar di lehernya. Senyumnya mengembang di kedua bibir. Raut mukanya terang walau termakan usia namun masih jelas terlihat sisa-sisa kecantikan di waktu muda.

Sudah pulang, kehujanan ya?” Sambil meletakkan cangkir putih di meja sebelah kanan, Wanita itu bertanya.

Iya Ma, baru saja. Sedikit kena gerimis tadi. Tapi tidak sampai basah ke badan,” lelaki itu menjawab sambil mengusap sisa air di mukanya. “Tadi Kak Lia kirim pesan, tidak bisa pulang hari ini,” sambung lelaki itu sambil duduk di kursi putih yang berubah kecoklatan.

Baca Juga  Refleksi Hari Kartini

Iya, tadi Kakakmu telpon Mama. Agak khawatir dia sama Mama. Makanya minta kamu cepat-cepat pulang/” Lia adalah kakak perempuan lelaki itu. saudara nomor dua tepatnya. Mahasiswa semester akhir yang tiga hari ini di luar kota, menyelesaikan penelitiannya untuk tugas akhir. Rencananya hari ini tadi akan pulang, namun jadwal di luar prediksinya. Lelaki itu tiga bersaudara. Kakak pertamanya, Lukman, Sudah berkeluarga dan menetap dengan istri serta kedua anaknya di pulau seberang. Sementara yang ketiga adalah dirinya, Azzam.

***

Mama Sudah makan?” Ucapnya di hadapan wanita yang rambutnya telah berubah warna. Mamanya sudah pensiun, seharusnya tinggal menikmati hari tua. Namun semenjak papa meninggal dua tahun silam karena serangan jantung, hidupnya seperti kehilangan keseimbangan. Kini jadi mudah sakit, hal itulah yang membuat anak-anaknya merasa khawatir. Gastroesophageal reflux disease atau GERD. Itulah diagnosa dokter terhadap Mamanya. Pernah suatu saat terjadi hal yang mengkhawatirkan. Karena suatu sebab yang mengganggu pikiran Mamanya, asam lambung naik, sesak nafas hampir merenggut nyawa Mamanya. Untung kakak perempuannya mengetahui, hingga perlu dirawat di rumah sakit beberapa hari.

Tadi sudah makan roti yang kamu siapkan. Sebenarnya Mama mau yang berkuah dan hangat,” suara Mamanya yang  sesekali diiringi batuk menjawab.

Mau Azzam carikan?” Sahut Azzam secepat kilat yang terus menyambar mengiringi air hujan.

Tapi di luar hujan deras. Sudahlah seadanya saja yang ada di dapur,” jawab Mamanya sambil menurunkan kedua kaki dari ranjang.

Mama mau salat dulu”.

Seketika Azzam memegang tangan Mamanya yang hendak berdiri. Tangan yang sering mendekapnya di waktu kecil, kini nampak keriput dan kurus. “Azzam antar sampai belakang,” sahutnya.

Tidak usah, kamu segera mandi dan salat. Tak tahan Mama dengan bau kecut di tubuhmu,” canda mamanya sambil tersenyum. “Ahhh, tidak juga,” timpalnya sambil memastikan dengan ujung hidung mencium lengan kanannya. “Nanti Azzam siapkan makan malamnya”.

Terimakasih,” jawab Mamanya sambil berlalu.

***

Kini Azzam ada di dapur. Sementara ibunya ada di ruang tengah, membaca buku yang ada di tangannya. Sudah ribuan kali membaca baris-baris kalimatnya, yang setiap huruf mendatangkan kebaikan. Tiada bosan, namun menentramkan.

Azzam membuka kulkas, ada beberapa sayuran dan daging ayam. Kini dia berpikir, cukup ia buat sup bahan-bahan itu. Namun, keraguan mulai muncul. Bagaimana membuatnya. Sering dia masak, tapi hanya untuk dirinya. Cukup menu sederhana kalau untuk dirinya. Mie instan atau sekedar menggoreng telur. Tapi tak mungkin Mamanya ia beri itu. Azzam berfikir keras, di zaman secanggih ini cukup membuka HP dan mencari segala resep pun ada. Hanya tinggal beberapa keberanian untuk melengkapinya. Kini dia putuskan, membuat sup untuk pertama kali.

Baca Juga  Pagi Menghilang Ketika Malam Datang

Ia ambil beberapa bahan. Dipotong dan disiapkan bumbu-bumbunya. Api telah menyala. Sambil berulang kali membaca HP, ia masukkan beberapa sayur dan bumbu kedalam panci yang berisi air mendidih. Dicicipi dari sedikit air yang diambilnya dengan sendok. Tak yakin dengan rasanya. Hambar. Diulangi lagi membaca resep. Sesekali ia lihat video yang telah ia cari. Mungkin ada hal yang terlewatkan. Ia tambahkan bumbu yang ia rasa masih kurang. Terus berulang dia lakukan. Hingga ia menemukan rasa yang seimbang.  “Semoga ini rasa yang pas,” gumamnya.

Tak sekalipun Ia memasak sup walau berulang kali memakannya. Menurutnya sudah mendekati seperti yang pernah ia rasakan. Api ia matikan, kemudian ia siapkan dua piring untuknya dan Mamanya. Dia suka pedas, tapi tak mungkin untuk Mamanya yang lambungnya belum sempurna.

***

Ia bawa dua piring ke ruang keluarga. Wanita itu tersenyum melihat kedatangan putra yang dulunya manja. Membawa dua piring yang terlihat asap di atasnya. Duduk di samping mamanya sambil menyerahkan satu piring di tangan kanan.

Kamu masak sendiri?”.

Iya tapi tak tahu rasanya, Semoga Mama suka”.

Seperti tak percaya Mamanya menerima piring yang masih panas dengan kedua tangannya. Ia aduk sup itu dengan sendok yang telah tersedia.

Dari mana tahu cara masaknya?” Tanya Mamanya sambil memastikan bumbu dan bahan apa saja yang ia gunakan dengan sendok.

Adalah, coba Mama cicipi”.

Perlahan Mamanya menicipi sup itu, mendekatkan sendok ke mulutnya. Kuah ia irasakan di ujung lidahnya. Tiada kata yang terucap. Kini beralih sayuran dan beberapa bahan yang dimakan. “Enak, lumayan untuk laki-laki yang baru pertama memasak,” sambung mamanya.

Azzam tahu kalau sup yang ia buat masih kurang rasanya. Namun bukan itu yang ingin dia tunjukkan. Tapi rasa cinta dan perhatian. Kalau dia dan kakak-kakaknya masih menemani di waktu senja. Bukan sekedar sepiring sup, tapi sepiring cinta.

Bagikan
Post a Comment