f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
akil balig

Lebih Baik Tidak Usah Menikah Sama Sekali

Pernikahan sebetulnya diperuntukkan bagi mereka yang akal sehatnya matang dan sikap sosialnya terampil. Dalam Islam kualitas itu disebut akil balig. Akil artinya memiliki kemampuan untuk mengerti mana benar dan mana salah. Balig artinya telah dewasa usia dan kepribadiannya. Umumnya akil balig ditandai secara biologis (mencapai usia tertentu, aktifnya organ reproduksi), tapi mari kita menyelam lebih dalam.

Akil Balig dalam Pernikahan

Dalam pernikahan, akil adalah memahami bahwa suami dan istri memiliki hak dan kewajiban terhadap satu sama lain. Lelaki tidak menguasai perempuan; keduanya hanya diperkenankan bekerjasama dengan cara yang baik, saling menerima dan memaklumi kurang lebih masing-masing, serta tak jemu-jemu saling asah, saling asih, saling asuh. Sedangkan balig artinya terampil menerapkan berbagai kecakapan sosial tersebut. Itulah ukuran akil balig.

Hanya mereka yang akil balig yang sanggup mengemban amanah nikah. Betul, menikah itu amanah dari Allah sebagai misi penyempurnaan akhlak. Lelaki dan perempuan saling menyempurnakan, lalu keduanya menyempurnakan akhlak keturunan mereka (itu bila diberi keturunan oleh Allah; bila tidak, pengasuhan bisa dilakukan dengan ribuan cara lain). Ini misi besar. Daripada menambah kuantitas umat, lebih baik menyempurnakan kualitasnya.

Maka bisa dibilang, keluarga adalah ruangan kecil untuk menyempurnakan akhlak namun dengan tantangan yang sangat intens. Bayangkan: kedekatan suami dan istri membuat watak asli lebih mudah nampak, terutama dalam situasi sulit dan dilematis. Di tempat kerja, siapapun mudah berpalsu-ria. Dalam keluarga, sulit. Banyak orang tua yang periang di luar rumah namun pemarah di dalam rumah. Mereka gagal membangun surga di rumah sendiri.

Dan Allah sangat kreatif dalam menguji hamba-Nya. Masalah akan selalu menyapa pasangan suami istri dengan cara yang tidak diduga-duga. Siapa bilang pernikahan itu ongkang-ongkang kaki lalu bahagia? Menikah berarti memasuki belantara masalah. Karena itulah akil balig menjadi syarat. Pernikahan tanpa akil balig, yang bersifat kejar tayang, yang bermotif lari dari kenyataan, atau sekadar tergiur tren sosial, sangat mudah karam dilamun ombak.

Baca Juga  Yang Penting dari Budaya Antre

Namun perceraian sama sekali bukan masalah utamanya.

OrangTua yang Membawa Budayat Pra Akil Balig

Lihatlah: berapa banyak anak yang tumbuh dengan sakit hati di dadanya karena trauma-trauma masa kecil akibat pola asuh yang keliru? Orang tua anak-anak itu menikah hanya karena menikah merupakan hal yang sudah sewajarnya. Kita tidak perlu berbicara terlalu jauh hingga ke kasus perceraian yang berujung pada penelantaran anak. Kita cukup tengok keluarga yang utuh, namun praktek parenting-nya merusak jiwa anak.

Kebanyakan orang tua meremehkan kesalahan kecil: membanding-bandingkankan anak, memarahinya anak di muka umum, lebih memercayai orang lain alih-alih cerita anak, mudah curiga pada anak, membatasi ruang lingkup pergaulan dan permainan anak, atau bahkan membebani anak dengan tuntutan di luar kemampuannya tanpa apresiasi. Dan tidak banyak orang tua yang legawa mengaku telah menoreh luka traumatik pada anak-anak mereka.

Orang tua tidak merasa bersalah karena semua itu sepadan dengan pengorbanan mereka melahirkan dan menafkahi anak, seolah-olah semua pengorbanan mereka selama ini merupakan lisensi bagi orangtua untuk berbuat segala hal. Seolah hak dan kebutuhan anak hanya makan, tidur dan sekolah. Seolah hanya kedurhakaan hanya milik anak dan bukan milik orangtua. Ini serupa dengan suami yang menganggap kedurhakaan hanya milik istri.

Orang tua meremehkan kesalahan-kesalahan kecil tersebut mungkin karena beberapa sebab. Mungkin orang tua menikah sebelum akil balig―akil balig dalam pengertian yang telah dijelaskan di muka tulisan. Mereka membawa budaya pra akil balig itu ke dalam pernikahan: tidak tahan sabar, tidak kenal syukur, mudah iri, gampang berprasangka dan bergunjing, lekas menghakimi kondisi orang lain, tidak mampu berpikir dalam konteks yang luas.

Baca Juga  Bangkit dan Sudahi!

Tapi tidak akil balig sebetulnya bukan problem, sebab mereka bisa belajar. Hanya saja, banyak orang tua yang berhenti belajar. Mungkin karena konsep pernikahan mereka sangat sederhana, yakni bahwa menikah itu menghalalkan hubungan seksual dan bikin anak adalah investasi dunia akhirat. Mereka tidak mampu memahami bahwa anak bukanlah anak mereka, melainkan anak dari zaman yang membesarkan mereka dengan dinamika yang khas.

Setelah Menikah Harus Terus Belajar

Demikianlah. Pernikahan yang tidak akil balig hanya akan menghasilkan mafsadat. Contoh yang diberikan tulisan ini cuma selintas kesalahan yang samar dan halus, belum menyentuh persoalan yang lebih besar seperti kekerasan atau penelantaran yang meninggalkan trauma psikologis berat pada anak atau pada istri. Ya, pada istri. Tulisan ini belum menyinggung mafsadat kepada pasangan, terutama berupa kesewenangan suami pada istrinya.

Menikah tanpa akil balig berarti menikah tanpa mengetahui benar dan salah dalam urusan pernikahan, tanpa mengetahui hak dan kewajiban, tanpa mengetahui batas yang hakiki sampai sejauh mana sesungguhnya orangtua boleh menindak dan mengintervensi anak, atau suami pada istrinya, dan sebaliknya. Menikah tanpa akil balig berarti menikah tanpa kecakapan sosial seperti tenggang rasa, toleransi, permaafan, dll.

Dan menikah tanpa akil balig juga berarti menikah dengan hanya membayangkan yang enak-enak, dan tidak siap bila Allah menguji dengan realitas yang tidak enak, hingga akhirnya mereka ingkar, mangkir dan makar. Ketidaksiapan itu banyak sebabnya. Kebanyakan karena rayuan atau sindiran “mulut-mulut tak terdidik” orang lain (keluarga, tetangga, teman), sisanya karena imaji tentang suami sebelum dan sesudah menikah sangat bertolak belakang.

Agar siap menghadapi masalah dalam pernikahan, orang harus akil balig dulu dan punya ilmu. Bahkan setelah menikah orang bisa belajar, asal ada kemauan dan hati legawa. Hanya saja gengsi membuat orang berpikir bahwa sebagai orangtua atau suami mereka tidak mungkin salah; bahwa bila pun salah, mereka tetap harus dihormati dan dijaga perasaannya. Tingkah polah non akil balig semacam inilah yang menjadi penghalang untuk belajar.

Baca Juga  Anak dan Pilihan Karir Masa Depan
*

No offense. Tulisan ini tidak hendak menyindir mereka yang pernikahannya tumbuh dari pengalaman sengit mempertahankan hidup. Sejak sebelum saya menikah, saya sudah berkelana mempelajari pengalaman dari para sesepuh yang mungkin tidak tahu apa itu parenting. Memang tidak semua pengalaman itu saya ambil lantaran sifatnya yang sangat patriarkis, jauh dari teladan Rasulullah. Tapi saya menghargai pengalaman mereka.

Tulisan ini hanya menekankan bahwa: betapa banyak orang yang menikah dengan menggampangkan ke-akil balig-an dan terus saja enggan belajar. Merekalah sumber masalah. Karena penggampangan mereka, pasangan hidup merasakan rumah yang seperti neraka. Karena penggampangan mereka, anak tumbuh dengan kerusakan mental. Pada mereka harus saya katakan: lebih baik mereka tidak usah menikah sama sekali. []

Bagikan
Comments
  • Ngena’ banget. Setuju dengan pemikiran bang Ical bahwa menikah harus Akil Balig dulu.

    Mei 14, 2021
Post a Comment