f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kemitraan suami-istri

Krisis Maskulinitas dan Hubungan Kemitraan Suami-Istri dalam Islam

Selama ini banyak anggapan bahwa yang mengalami krisis gender adalah mereka para kaum feminis (perempuan). Oleh karena itu, kajian gender sebagian besar didominasi oleh studi gerakan-gerakan feminisme. Namun sebenarnya pada saat yang sama, krisis ini juga dapat terjadi kepada kaum maskulin (laki-laki). Hal ini karena harapan masyarakat yang super power kepada laki-laki yang harus unggul daripada perempuan dalam banyak aspek (pekerjaan, penghasilan, dll) telah membentuk superioritas mereka dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, superioritas yang dilekatkan kepada laki-laki justru dalam in fact nya tidak terjadi kepada laki-laki. Pada konteks rumah tangga, hal ini tampak jelas dalam beberapa kesenjangan. Misalnya penghasilan yang justru istri mengungguli suaminya hingga menyebabkan ada suami yang merasa dirinya tidak menjadi laki-laki sejati. Hal ini pada akhirnya berdampak pada penerjemahan superioritas yang keliru. Dalam situasi ini, untuk mengembalikan kelaki-lakiannya acap kali superioritas suami malah diorientasikan pada kekerasan terhadap istri.

Agama Islam sendiri menempatkan kedudukan laki-laki dan perempuan pada posisi yang sama dihadapan Allah. Tidak ada yang lebih superior antara satu dengan yang lainnya. Adapun perbedaan antara keduanya merupakan kodrat masing-masing. Laki-laki dengan potensi dan keistimewaannya sendiri begitupun sebaliknya. Sebagaimana yang terurai dalam QS. Al-Nisa ayat 32,

“Janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (QS. Al-Nisa:32)

Ayat ini tidak menjelaskan apa keistimewaan dan perbedaan di antara keduanya. Namun dapat dipastikan bahwa perbedaan ini mengantar kepada fungsi dan peran yang diemban masing-masing. Banyak yang menganggap bahwa laki-laki dibekali dengan potensi kepemimpinan serta perempuan dengan potensi kasih sayang. Atas dasar inilah kemudian dianggap urusan kepemimpinan harus diserahkan kepada laki-laki dan urusan pengasuhan sebaiknya dikerjakan oleh mereka para perempuan. Namun, satu hal yang dapat dipastikan bahwa tidak ada perbedaan dalam tingkat kecerdasan dan berfikir di antara keduanya sehingga mereka sejajar dalam potensi intelektual. Hal ini mengantarkan mereka memiliki kesempatan yang sama dalam pengembangan ranah ini.

Baca Juga  Remaja Keren adalah Remaja Berencana

Adapun dalam konteks rumah tangga, suami merupakan pemimpin bagi istri (QS. Al-Nisa: 34), dan bahkan diisyaratkan memiliki satu derajat lebih tinggi atas istri (QS. Al- Baqarah: 228). Namun, menurut Quraish Shihab bahwa derajat yang dimaksud adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebahagian kewajiban istri sehingga dengan jalan ini, derajat tersebut dapat diraih. Jadi, “derajat” yang dimaksud bukan merujuk kepada superioritas suami melainkan kemampuan kerelaan hatinya untuk membantu istri.

Pada hakikatnya, hubungan suami-istri merupakan hubungan kemitraan. Bahkan Al-Qur’an menganalogikan hubungan ini seperti pakaian, “Istri-istri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka” (QS. Al-Baqarah: 187). Sebagaimana fungsi pakaian yang menutupi aib atau kecacatan, melindungi dari sengatan panas/menghangatkan tubuh dari dinginnya cuaca. Maka, sekiranya begitu pulalah hubungan kemitraan antara suami dan istri yang harus saling melindungi serta menutupi aib masing-masing. Memang perlu diakui bahwa agama Islam tidak secara rinci membagi pekerjaan antara laki-laki dan perempuan. Islam hanya menetapkan tugas-tugas dasar untuk masing-masing sambil menekankan prinsip kesetaraan dan kerja sama berdasarkan musyawarah dan saling membantu. Hal ini kemudian memungkinkan setiap pasangan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dan kondisi keluarga mereka masing-masing.

Oleh karna itu, bukanlah aib atau terlarang dalam pandangan agama untuk seorang perempuan melakukan pekerjaan demi memperoleh penghasilan dan atas dasar ini pula, tidak dapat dinilai kecuali terpuji, seorang suami yang membantu istrinya dalam urusan rumah tangga. Jika perempuan diberikan kesempatan untuk mencari nafkah, mengapa laki-laki tidak diberikan kesempatan untuk berpahala dan beramal jariah di urusan domestik dan pengasuhan. Penelitian pun banyak yang menunjukkan bahwa ketika sebuah keluarga bersikap fleksibel dalam urusan domestik dan pengasuhan maka akan meningkatkan keharmonisan dan kebahagiaan dalam rumah tangga. Pada sisi lain, tujuan pernikahan untuk menggapai sakinah, mawaddah, dan rahmah tidaklah dapat diwujudkan kecuali melalui usaha kemitraan antara suami dan istri dengan memperhatikan prinsip-prinsip pernikahan.

Baca Juga  Hijrah Tak Sekedar Perubahan Aksesoris

Pada akhirnya, perbedaan-perbedaan dan potensi tidak menjadikan salah satu jenis kelamin lebih unggul atau istimewa daripada yang lain. Tetapi justru dengan menggabungkan keduanya terjadi kesempurnaan kedua pihak. Dengan demikian –mengutip Quraish Shihab—melalui pernikahan akan lahir kerja sama, dan dengan kerja sama hidup dapat berkesinambungan lagi harmonis. Seandainya jarum tidak lebih keras daripada kain, atau cangkul tidak lebih kuat daripada tanah, maka tidak akan ada jahit-menjahit, tidak juga berhasil pertanian. Dan harus disadari bahwa kekuatan atau kelemah-lembutan di sini sama sekali tidak menunjukkan superioritas satu pihak atas pihak lain, tetapi masing-masing memiliki keistimewaan dan masing-masing membutuhkan yang lain guna tercapainya tujuan bersama –Tutup beliau—.

Wallohu A’lam Bisshawab.

Bagikan
Post a Comment