Site icon Inspirasi Muslimah

Kontruksi Pajak dan Kebutuhan Pokok dalam Islam

pajak

Thoat Stiawan

Rencana Kenaikan PPN

Saat ini penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) bahan makanan pokok dan pajak bidang pendidikan masih ramai menjadi perbincang publik. Mencuatnya rencana tersebut, menimbulkan kritik masyarakat; yang kemudian banyak dari mereka yang tak setuju dengan adanya penerapan pajak sembako begitu juga pendidikan.

Pemerintah berencana memberlakukan pajak pertambahan nilai (PPN) di sektor pendidikan hingga kebutuhan bahan pokok. Kebijakan pemerintah ini bisa memberikan dampak sosial ke masyarakat; jika bahan-bahan pokok yang dikenai PPN adalah yang mengonsumsi barang-barang sembako dengan pendapatan yang pas-pasan.

Begitu juga dengan dampak sosial pada sektor pendidikan. Jika wacana PPN pendidikan juga pemerintah terapkan, maka kondisi murid dengan keluarga menengah ke bawah akan semakin terhimpit. Anak-anak yang orang tuanya berpendapatan menengah ke bawah hanya memiliki kesempatan untuk bersekolah di sekolah yang kurang kompetitif.

Dampak panjang jika pemerintah serius menerapkan kebijakan pajak pada kebutuhan pokok juga akan meningkatkan kriminalitas; karena masyarakat yang kesulitan akan cenderung mencari cara termudah untuk memenuhi kebutuhan.

Di Indonesia pajak merupakan tulang punggung pendapatan negara. Oleh karena itu, agar dalam pemungutan pajak tidak memberatkan masyarakat; maka pemerintah Indonesia harus membuat aturan-aturan terkait pemungutannya sesuai dengan kondisi masyarakat. Selain itu, pemungutan pajak haruslah sesuai proporsional sehingga tidak merugikan sekelompok pihak.

Pemerintah Indonesia harus menjaga asas keadilan dalam pemungutan pajak; yaitu dengan memperbaiki undang-undang perpajakan apabila terdapat kelemahan-kelemahan di dalamnya. Sehingga dari sinilah perlunya sebuah aturan alternatif yang dapat mewujudkan keadilan pada masyarakat. Bahkan di dalam pasal 33 UUD 1945 “negara dan atau pemerintah diminta dan dituntut untuk bisa menciptakan sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat”.  

Pendapatan dan Pengeluaran Pajak dalam Islam

Dalam menjalankan roda pemerintahan, pemerintah memerlukan dana untuk berbagai jenis pembiayaan. Di dunia Islam, pemerintahan memerlukan dana untuk menggunakan APBN dalam rangka mengendalikan pengeluaran pemerintah yang sesuai dengan jumlah pendapatannya. Tujuan dari anggaran pemerintah adalah menopang tujuan yang ingin pemerintah capai.

Sedangkan tujuan pokok dari setiap pemerintahan Islam adalah memaksimalkan kesejahteraan seluruh warga negara dengan tidak mengabaikan prinsip-prinsip keadilan.

Lebih jauh lagi, dalam Islam yang dimaksud dengan kesejahteraan bukanlah semata-mata diperoleh dari kekayaan material; yang setiap tahun dapat diukur dengan statistik pendapatan nasional, tetapi termasuk juga kesejahteraan rohani di dunia dan akhirat. Salah satu sumber penerimaan pemerintah berasal dari pungutan pajak.

Dalam Islam, walaupun pola anggaran pendapatan negara hampir sama dengan perekonomian konvensional (klasik dan neoklasik), namun penggalian sumber-sumber dana berpedoman pada syariah.

Terhadap pengaturan pendapatan publik, Rasulullah merupakan kepala negara pertama yang memperkenalkan konsep baru di bidang keuangan negara pada abad ketujuh; yakni semua hasil pengumpulan negara harus dikumpulkan terlebih dahulu kemudian dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan negara. Status harta tersebut adalah milik negara dan bukan milik individu. Tempat pengumpulan dana disebut Baitul Mal atau bendahara negara.

Mengenai sumber pendapatan negara (Baitul Mal) terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, bersumber dari kalangan muslim (zakat, zakat fitrah, wakaf, nawa’ib, sedekah, dan amwal fadla). Kedua, penerimaan yang bersumber dari kalangan nonmuslim seperti jizyah, Kharaj, dan ushur. Dan ketiga, penerimaan dari sumber lain seperti ghanimah, fai’, uang tebusan, hadiah dari pimpinan negara lain dan pinjaman pemerintah baik dari kalangan muslim maupun nonmuslim.

Sumber penerimaan dalam pemerintahan Islam di antaranya; zakat, wakaf, Nawa’ib, Jizyah, Kharaj, Khums, ‘Ushur, Kaffarah, Pinjaman, Amwal fadla.

Islam dan Kebijakan Pajak

Pembelanjaan pemerintah dalam koridor Islam berpegang pada terpenuhinya pemuasan semua kebutuhan primer (basic needs) tiap-tiap individu; dan kebutuhan sekunder dan luks (al-hajat al-kamaliyyah)nya sesuai kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat.

Menurut Al-Maliky kebutuhan pokok yang disyariatkan oleh Islam terbagi dua. Pertama, kebutuhan-kebutuhan primer bagi setiap individu secara menyeluruh. Kebutuhan ini meliputi pangan (makanan), sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal). Kedua, kebutuhan-kebutuhan pokok bagi rakyat secara keseluruhan. Kebutuhan-kebutuhan katagori ini adalah keamanan, kesehatan dan pendidikan. (Sairi Erfanie, 2005:145).

Negara menjamin pendidikan dengan menyediakan tenaga pengajar (guru/dosen), tempat pendidikan dan berbagai fasilitas untuk penyelenggaraannya. Jaminan akan pendidikan ini juga termasuk jaminan hidup yang layak bagi para guru.

Di jaman kejayaan Islam dulu, sumber-sumber ekonomi terutama dari sumber daya alam, juga produksi barang dan jasa serta perkembangan sains dan teknologi belum semaju dan sebanyak seperti sekarang ini. Akan tetapi, jaminan pendidikan gratis dengan berbagai fasilitasnya, serta taraf hidup para guru jauh lebih baik pada masa Islam daripada masa hegemoni ekonomi kapitalis sekarang.

Concern Islam lebih berfokus kepada pendistribusian ekonomi secara merata. Dengan pendistribusian yang merata akan terjamin keadilan di tengah masyarakat, dan juga tidak akan ada jurang pemisah yang tajam antara si kaya dan miskin. Dengan prinsip keadilan tersebut, akan terjamin kebutuhan primer secara menyeluruh bagi tiap individu rakyat, di samping masing-masing individu akan mampu memenuhi kebutuhan sekundernya dan luksnya.

Karena perkara pemenuhan kebutuhan primer ini menjadi sasaran utama kebijakan daripada anggaran yang lainnya; maka negara tidak boleh melalaikan anggarannya di dalam Baitul Mal.

Bahkan jika Baitul Mal tidak mampu lagi membiayai anggaran ini, padahal perkara ini merupakan kewajiban negara terlepas apakah ada harta di dalam Baitul Mal ataukah tidak; maka kewajiban untuk membiayai anggaran perkara tersebut beralih kepada kaum muslimin. Artinya, ada kewenangan negara untuk memungut pajak (daribah) terhadap kaum Muslimin yang mempunyai kelebihan harta.

Kontruksi Pajak Pendidikan dan Kebutuhan Pokok dalam Islam

Idealnya pendapatan pemerintah harus secara merata terdistribusikan kepada rakyat; dan pengeluaran negara harus diupayakan untuk mendukung ekonomi masyarakat. Jadi pengeluaran pemerintah akan diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam Islam penentuan kebijakan salah satunya harus berdasarkan kepada kemaslahatan umum, QS. al-Dhariyat (51): 19 menyebutkan;

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”

Sedangkan dalam QS. al-Baqarah (2): 219 Allah berfirman;

وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

Dan mereka bertanya kepadanya apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah “yang lebih dari keperluan” demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya kepadamu supaya kamu berpikir”.

Juga, dalam QS. al-Hashr (59): 7 menyebutkan,

كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ ۚ

Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”

Terdapat beberapa hadis nabi yang menguatkan beberapa ayat di atas. Di antaranya adalah hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik sedekah adalah sesuatu yang (diberikan) dari seseorang yang tidak membutuhkan dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu.

Demikian pula al-Hakim meriwayatkan dari Abu al-Ahwash, bahwa Rasulullah bersabda, “Apabila engkau telah dianugerahi harta oleh Allah, maka hendaknya tanda-tanda nikmat dan kemudian (yang diberikan) Allah kepadamu tersebut ditambahkan.”

Para ulama terdahulu telah memberikan kaidah-kaidah umum yang berdasarkan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam memandu kebijakan belanja pemerintah. Di antara kaidah-kaidah tersebut adalah:

  1. Pembelanjaan dan pendapatan pemerintah harus dalam koridor maslahah.
  2. Menghindari mashaqqah (kesulitan) dan mudarrat harus didahulukan ketimbang melakukan pembenahan.
  3. Kaidah al-ghiurm bi al-gunmy, yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang mendapatkan manfaat harus siap menanggung beban (yang ingin beruntung harus siap menanggung kerugian).
  4. Kaidah ma la yatimm al-wajib illa bihi fahuwa wajib. Yaitu kaidah yang menyatakan bahwa “sesuatu hal yang wajib ditegakkan, dan tanpa ditunjang oleh faktor penunjang lainnya tidak dapat dibangun, maka menegakkan faktor penunjang tersebut menjadi waib hukumnya”.

Berdasarkan ayat, hadis dan kaidah-kaidah fikih tersebut, maka sudah menjadi kewajiban dan wewenang negara untuk berlaku bijak dan adil dalam menelorkan kebijakan.

Bagikan
Exit mobile version