f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
ibu membunuh anaknya

Kasus Ibu Membunuh Anaknya Bukan Hanya tentang “Kurang Iman”

Berita tentang pembunuhan anak oleh ibu kandung nampaknya bukan manjadi hal baru lagi di telinga kita. Apalagi setelah kasus ibu muda yang membunuh anaknya di Brebes pada Minggu 20 Maret 2022, menjadi viral. Rekaman video pengakuannya yang beredar di internet menuai bergam reaksi dari warganet. Ada yang mengecam dan menghakimi. Ada juga yang berempati terhadap beban penderitaan yang sang ibu alami. Bahkan ada juga diskusi tentang childfree.

Pembunuhan anak oleh seorang ibu kandung memang dirasa tidak masuk akal di nalar yang sehat. Bagaimana bisa seorang ibu yang harusnya menyayangi dan mengasihi anaknya, malah membunuhnya? Benarkah karena kurang iman?

Kemiskinan dan Ketimpangan Relasi Rumah Tangga Sebagai Pemicu

Kasus filisida alias orang tua membunuh anak kandung kerap dikaitkan dengan kemiskinan dan gangguan kejiwaan. Dilansir dari vice.com, belum ditemukan statistik yang menunjukkan suatu pola dalam kasus ini di Indonesia. Namun, di Rusia terdapat data bahwa ibu yang membunuh bayi mereka, sebanyak 80% pelaku berasal dari keluarga miskin dan yang 85% di antaranya juga berada dalam pernikahan tidak harmonis.

Lebih lanjut, tiga tahun lalu wakil ketua Komnas Perempuan, Budi Wahyuni mengatakan bahwa ibu pembunuh biasanya juga merupakan korban KDRT. Korban KDRT cenderung tidak bisa keluar dari trauma dan luka, sehingga di tengah kebuntuannya dia juga melampiaskannya kepada anak. Dari korban menjadi pelaku, pelaku menghasilkan korban yang berpotensi menjadi pelaku lagi. Begitu polanya terus-menerus.

Dari sini bisa kita lihat bahwa kasus ibu membunuh anak adalah permasalahan yang kompleks. Tidak bisa dilihat dengan pandangan sempit dan justifikasi saja. Ini masalah serius yang melibatkan antar individu, komunitas bahkan negara.

Baca Juga  Milenial dan Kebutuhan Keuangan Syariah; Edukasi Pasar Modal Syariah dengan Target Financial Freedom

Salah satu faktor pemicu ibu membunuh anak adalah kemiskinan. Ya, kemiskinan adalah dampak yang paling nyata akibat globalisasi di bidang ekonomi. Statistik dunia menunjukkan bahwa kelompok yang paling rentan mengalami penindasan, diskriminasi dan kekerasan akibat kemiskinan adalah perempuan.

Model pembangunan yang dianut negara atau ketidakadilan yang mengendap dalam sistem struktur dan kebijakan-kebijakan sosio-ekonomi-politik bisa menjadi faktor penyebab kemiskinan. Pada situasi tersebut, perempuan selalu dihadapkan pada posisi yang serba memilukan.

Dalam konteks keluarga miskin, di satu sisi perempuan dituntut untuk berperan dan menghasilkan uang, di sisi lain juga dituntut untuk tidak melupakan kodratnya sebagai perempuan. Tuntutan semacam ini tentu saja memberikan peran ganda yang sangat berat.

Sayangnya, dalam masyarakat kita kodrat masih mengalami distorsi makna. Hal-hal yang sebenarnya merupakan konstruksi sosial dan budaya masyarakat dianggap sebagai kodrat, seperti keharusan perempuan bekerja di ranah domestik atau rumah tangga, kalaupun bekerja di luar rumah, tidak boleh melupakan “kodrat”nya mengurus pekerjaan rumah.

Hal inilah yang kemudian menimbulkan tidak adanya kesalingan dalam rumah tangga. Ini tentu saja memperburuk ketimpangan relasi dalam rumah tangga yang berpengaruh pada keharmonisan keluarga. Bayangkan, di tengah himpitan ekonomi yang menyesakkan, perempuan juga dituntut bertanggungjawab pada pekerjaan rumah, termasuk pengasuhan anak yang hanya dibebankan kepadanya. Belum lagi stigma dan pelabelan yang kerap didapatkan dari masyarakat. Tentu hal ini bisa memicu stres dan depresi, yang berpotensi pada pembunuhan diri maupun orang lain.

Mental Health Issue

Data menunjukkan bahwa salah satu faktor pemicu filisida adalah gangguan kejiwaan. Gangguan kejiwaan erat kaitannya dengan isu kesehatan mental. Dalam konteks ini, seorang ibu adalah sosok yang paling rentan.

Baca Juga  Mortalitas Anak Indonesia Terpapar Covid-19 Tertinggi di Dunia!

Baby blues Syndrom yang biasanya dialami oleh ibu seusai melahirkan tidak boleh disepelekan. Biasanya, perubahan hormon dan rutinitas baru menjadi seorang ibu sering membuat sebagian wanita mengalami depresi. Meskipun baby blues hanya berlangsung 1-2 minggu pasca melahirkan, namun jika ini tidak tertangani dengan baik, akan berlanjut menjadi postpartum depression.

National Institute of Mental Health menyebutkan bahwa kesehatan mental meliputi emosional, psikologi serta hubungan sosial. Ketiga aspek itulah yang memengaruhi bagaimana kita berfikir, merasakan, bertindak dan membuat keputusan. Jadi, mental health erat kaitannya dengan penghayatan seseorang tentang konsep diri dan bagaimana dirinya memahami dirinya sendiri.

“Membunuh karena alasan ekonomi gak masuk akal, banyak kog yang tertekan oleh masalah ekonomi tapi gak membunuh, lantas kenapa?” Ya, karena penghayatan dia terhadap tekanan itu berbeda dari yang dipahami orang pada umumnya.

Anak Sebagai Generasi Penerus yang Harus Dilindungi

Ketika terjadi kasus ibu membunuh anak, seringkali yang menjadi fokus perhatian hanyalah pelakunya saja. Padahal kita juga perlu fokus terhadap anak-anak yang menjadi korban kekerasan orang tua, baik penganiayaan fisik maupun yang berujung kematian.

Memang, anak adalah titipan Tuhan yang menjadi tanggungjawab orang tuanya. Tetapi anak juga merupakan sumber daya manusia penerus cita-cita perjuangan bangsa. Bukan tidak mungkin anak yang saat ini menjadi korban KDRT kelak akan menjadi pelaku KDRT dikarenakan tidak tertangani dengan tuntas.

Karena itu saya rasa semua pihak di dalam struktur masyarakat punya tanggung jawab yang sama dalam menjaga amanah penerus bangsa ini. Diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak yang masing-masing ikut ambil peran.

Lembaga peradilan dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam konteks ini, tentu harus menindak tegas pelaku kekerasan dan juga pembunuhan anak. Apapun alasannya tindakan ini tidak dibenarkan. Bagaimanapun juga anak perlu dilindungi seperti yang telah dituliskan dalam aturan konstitusi. Ketegasan hukum tidak perlu berubah, orang-orangnya yang harus berubah.

Baca Juga  Passport Bros; Untuk Dia yang Tidak Percaya Diri

Lembaga pendidikan baik yang formal maupun nonformal harus terus mengambil perannya dalam mengedukasi masyarakat. Khususnya para calon orang tua, baik itu perempuan dan laki-laki. Edukasi bahwa mereka harus memiliki kesiapan dan kematangan dalam perencanaan pernikahan, baik dari segi finansial dan juga mental.

Para calon orang tua harus sudah mengerti tentang konsep kesalingan dan relasi yang setara dalam rumah tangga. Agar nantinya tercipta support system yang baik dalam pengasuhan anak.  Keduanya juga sudah harus selesai dengan dirinya sendiri. Sudah sembuh dari trauma dan luka masa lalu, agar kemudian siap memberikan cinta yang tak terbatas pada keluarganya nanti.

Mengutip satu kutipan penuh makna dari salah satu drama favorit saya,“Butuh satu kampung untuk membesarkan anak, dengan kata lain jika satu kampung acuh takacuh, seorang anak bisa hancur” kiranya ini bisa menjadi pengingat bahwa kita semua punya tanggung jawab menjadi support system yang baik bagi mereka yang rentan, yaitu perempuan dan anak-anak. Jika kita semua bisa ambil peran, semoga segala bahaya bisa kita cegah dan kemaslahatan di dunia bisa terus kita wujudkan.

Bagikan
Post a Comment