f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
nikah aja

Kala Anak Muda Berkata: Mending Nikah Aja!

Teringat sewaktu masa kuliah dulu, penulis beserta rekan seperjuangan seringkali merasa jenuh. Hingga ketika sedang lelah-lelahnya dan ruwet dengan tugas perkuliahan yang menumpuk, celetukan-celetukan yang selalu spontan  terlontar adalah: “Mending nikah aja!” “Coba kalau nikah!” “Pengen nikah ih!” Dan lain sebagainya.

Entah itu sebuah candaan atau memang sudah ada keinginan menikah, tetapi kata-kata itu semacam hal yang lumrah di antara kami. Dan sepertinya, tidak jauh berbeda dengan perempuan milenial saat ini.

Apa yang ada di kepala mereka pasti adalah bayangan-bayangan indah, hati mereka begitu menggebu karena selalu menjadi objek yang diundang, kapan saatnya giliran aku yang mengundang nikah?

Tulisan ini pun tidak bermaksud untuk memanasi-manasi maupun menakut-nakuti yang belum menikah. Sesungguhnya kita akan mengurai perlahan sebuah pemikiran yang harus diberi pemahaman bahwa menikah memang indah, sangat indah. Namun bukan indah yang dipersepsikan sempurna.

Tidak Ada Pasangan yang Sempurna

Hanya karena sebelum menikah, kita tidak mengetahui seluruh aib pasangan kita lantas kita kaget, benci, dan kecewa.

Ini baru permulaan, jika di tahap ini saja kita sudah lembek, bagaimana dengan ujian berumah tangga ke depan yang mungkin lebih keras lagi badainya.

Bahwa menikah bukan sekedar mengagumi pasangan, tapi juga menerima kekurangannya, bahkan mencintai kekurangan itu. Apalagi, bila landasan cinta itu adalah karena Allah. Allah menjanjikan kita dan pasangan kita kelak akan mendapat naungan saat tak ada lagi naungan sebagaimana hadits berikut:

“Ada tujuh golongan yang Allah akan naungi pada hari di mana tidak ada naungan selain naungan-Nya: Imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah, seorang laki-laki yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah yang mereka berkumpul karena-Nya dan juga berpisah,…. dst.” (H.R. Bukhari Muslim)

Baca Juga  Tidak Adanya Komitmen dalam Pernikahan Berujung Perceraian

Itulah hadiah dari Allah bagi orang-orang yang saling mencintai karenaNya.

Mencintai karena Allah berarti cinta dalam takwa. Masing-masing pasangan harus saling mengingatkan dalam kebaikan dan kebenaran, inilah makna cinta yang indah di dunia hingga Akhirat.

Ingatlah selalu dengan doa yang bertebaran saat kita dan pasangan kita menikah, agar menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Bahagia di dunia dan akhirat.

Lantas apa arti kebahagiaan itu? Bahagia bukanlah menuntut kesempurnaan pasangan. Kesempurnaan bukanlah milik kita, pun pasangan kita. Tapi kita tetap bisa menciptakan kebahagiaan dengan cara saling melengkapi kekurangan masing-masing.

Jika sebelumnya kita sempat membayangkan bahwa menikah itu indah seindah-indahnya, atau membayangkan bahwa menikah itu solusi yang dapat menyelesaikan masalah. Tapi sesungguhnya setelah menikah, bukan berarti masalah selesai. Tapi muncul masalah lain yang berbeda jenis, bukan lagi dengan beban masalah kuliah seperti dulu misalnya.

Selama kita hidup, masalah akan selalu ada. Dan setelah kita menikah, itu artinya bukan hanya kita sendiri, ada pasangan kita yang bisa membantu melewati segalanya. Meskipun dalam beberapa keadaan, pasangan kita terkadang menjadi sumber masalah itu sendiri.

Kembali lagi kepada pemaknaan yang harus bijaksana, menuntut kesempurnaan (dalam hal ini kesempurnaan pasangan) hanyalah menambah beban kekecewaan yang tak pernah bisa kita dapatkan dan kita raih seumur hidup.

Allah berfirman:

هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ

Artinya: Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.(QS. Al-baqarah: 187)

Perhatikanlah, Allah mengibaratkan pasangan suami istri sebagai pakaian. Justru dengan mengetahui aib pasangan, maka kita terlarang untuk mengumbarnya. Tak hanya itu, suami istri juga harus saling menjaga kehormatan pasangannya.

Berjuang Bersama-sama dalam Pernikahan

Menikah bukan hanya soal bahagia bersama, tapi juga terluka bersama-sama. Inilah realita pernikahan yang tidak bisa kita bayangkan mulus dan sempurna.

Baca Juga  Menyusupi Kubangan Perbedaan Menuju Kemaslahatan Pernikahan

Saat menikah, kita tak lagi berjuang sendiri, tapi ditemani pasangan.

Namun kenyataannya, menikah tak selamanya dalam hal-hal yang manis dan menyenangkan. Semisal ada saja pertengkaran kecil yang menjadi bumbu-bumbunya.

Sungguh, itupun dialami dalam rumah tangga Rasulullah. Sampai-sampai Rasulullah hapal dengan gejala kemarahan istrinya. Salah satunya dalam hadits berikut:

Dari Aisyah ra., ia berkata; Rasulullah SAW pernah bersabda kepadaku, “Sesungguhnya aku benar-benar tahu saat kamu senang padaku dan saat kamu marah padaku.” Aisyah berkata; Aku bertanya, “Dari mana Engkau mengetahui hal itu?” maka Nabi pun menjawab, “Jika kamu senang padaku maka kamu berkata, ‘Demi Tuhan Muhammad.’ Namun bila kamu sedang marah padaku, maka kamu berkata, ‘Tidak. Demi Tuhan Ibrahim.’” Aku pun berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak menyebut namamu (saat marah).” (H.R. Bukhari Muslim)

Itu artinya, memang selalu ada bumbu-bumbu tak menyenangkan dalam pernikahan. Namun teruslah berjuang dalam pelayaran, teruslah menahkodai ibadah terpanjang ini.

Menikah artinya merasakan sakinah (ketenangan) bersama pasangan baik di masa-masa sulit maupun senang.

Menikah pun juga mawaddah (cinta) dan rahmatan (kasih sayang).

Mengutip Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar:

“..Hidup berkeluarga itu bukan semata mawaddatan, bertambah mereka tua, bertambah dalam dan mesra kasih sayang keduanya, itulah rahmatan, yang kita artikan kasih sayang. Kasih sayang lebih mendalam dari cinta. Bertambah tua, bertambah mendalam kasih sayangnya.”

Itulah makna pernikahan. Menikah hingga menua bersama.

Allah berfirman:

الأَخِلاَّء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلاَّ الْمُتَّقِينَ

“Orang-orang yang (semasa di dunia) saling mencintai pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S. Az-Zukhruf: 67)

Itu artinya, pernikahan bukan sekadar di dunia semata. Karena bisa jadi pasangan kita di dunia justru menjadi musuh di Akhirat kelak.

Baca Juga  Perang Khaibar dan Kisah Pernikahan Nabi dengan Shafiyah

Kita butuh bekal saat berjuang dalam pernikahan, bukan sekadar bekal materi, tapi juga ilmu. Dan satu lagi, ketakwaan, itulah hakikat cinta yang menjadi penyelamat dunia akhirat.

Editor: Martina Mulia Dewi

Bagikan
Post a Comment