f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
mbah yem

Kado untuk Mbah Yem dan Mbah Inah

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”

Ungkapan Pramoedya Ananta Toer tersebut pasti cukup populer di kalangan pegiat literasi. Kalimat itu pula yang memunculkan inspirasi untuk mengabadikan kisah kedua nenek saya. Tulisan ini saya buat tepat satu malam sebelum upacara wisuda sarjana yang akan dilangsungkan esok hari. Setelah penantian dan usaha yang panjang, mungkin gelar sarjana adalah kado pertama yang bisa saya persembahkan buat nenek sebelum nanti ditagih kado yang lain : menikah dan punya anak.

Kedua nenek saya, sebut saja Mbah Yem dan Mbah Inah, beliau berdua adalah ibu kandung Bapak dan Ibu. Keduanya berstatus janda karena kedua kakek saya sudah wafat bertahun-tahun yang lalu. Usia Mbah Yem sudan 80-an dan Mbah Inah 70-an. Meskipun Mbah Yem sudah mulai berkurang pendengarannya dan Mbah Inah sudah mulai bungkuk jalannya; tapi keduanya masih sehat banget, ditandai dengan tingkat cerewetnya yang masih tinggi hehehe. Yaa tipikal mbah-mbah pada umumnya.

Saya merasa perlu untuk mengirim tulisan sederhana seperti ini; karena di masa depan nanti mungkin bisa dijadikan bukti untuk anak dan cucu saya kalau saya pernah punya dua perempuan hebat tapi memiliki keterbatasan untuk mengabadikan dirinya dalam tulisan. Saya ngeri sekali membayangkan kisah Mbah Yem, Mbah Inah, dan banyak mbah-mbah seusia mereka yang hilang dimakan zaman hanya karena mereka tidak berkesempatan untuk bisa menuliskan kisahnya. Jangankan belajar komputer dan internet, memakai handphone jadul pun mereka masih kesulitan. Maka di kesempatan ini, saya persembahkan kado untuk beliau berdua dalam bentuk cerita yang bisa dinikmati oleh Rahmania. 

Baca Juga  Ketika Memutuskan Menitipkan Cucu Kepada Kakek Nenek
Belajar Tidak Mengenal Usia

Ada istilah yang disebut schoolism, yang menempatkan sekolah sebagai satu-satunya tempat belajar. Sebagai seorang sarjana pendidikan, ternyata saya akhirnya menyadari bahwa proses belajar itu tidak hanya berlaku di bangku sekolah saja. Bahkan di usia senjanya, Mbah Yem dan Mbah Inah tetap menjadi seorang pembelajar walaupun sebagian besar hidupnya dihabiskan dengan tidak sekolah.

Pada suatu hari, karena harus tinggal berjauhan dengan anak-anaknya, Mbah Inah harus belajar mengoperasikan telepon genggam agar tetap bisa melakukan komunikasi. Saya masih ingat sekali saat itu Mbah Inah kemana-mana harus membawa kertas yang isinya panduan untuk mengirim dan membalas pesan, menerima telepon, serta melakukan panggilan. Sekarang Mbah Inah sudah nggak perlu lagi kertas panduan. Sudah hafal katanya. Update terbaru : Mendengarkan radio pakai hp jadi skill barunya Mbah Inah. Keren kan?

Kalau cerita Mbah Yem beda lagi. Setahun terakhir Mbah Yem tinggal serumah dengan saya dan orang tua saya. Pindah tempat tinggal memaksa Mbah Yem untuk beradaptasi lagi. Mulai dari suhu kota yang lebih panas, sampai kehadiran tukang sayur yang lebih sulit dicari kalau dibandingkan dengan di desa tempat Mbah Yem sebelumnya tinggal. Selain belajar menyesuaikan diri dengan suhu dan jam dinas tukang sayur; Mbah Yem juga harus menghafalkan ulang letak peralatan dapur yang jelas berbeda dengan tempat tinggal sebelumnya. Sepele banget ya? Tapi jadi keren karena yang melakukan adalah mbah-mbah usia 80 tahun.

Belajar dari Nenek

Pelajaran penting pertama yang aku dapatkan dari Mbah Yem dan Mbah Inah adalah pertanyaan tentang masa tua seperti apakah yang ingin aku rasakan di masa depan nanti? Kalau boleh jujur, saya agak takut kalau nanti harus sendirian dan nggak punya teman saat tua. Maka ikut organisasi jadi jembatan silaturahmi dan memperbanyak relasi untuk bekal di masa tua nanti. Dari beberapa cerita, saya bisa menyimpulkan kalau Mbah Yem dan Mbah Inah punya kehidupan sosial yang sama sekali berbeda. Tanpa bermaksud menilai baik dan buruknya, Mbah Inah yang bertani dan juga aktif di ‘Aisyiyah punya masa tua yang lebih “ramai” dibandingkan Mbah Yem yang hanya bertani saja.

Baca Juga  Ketika Tuhan Selalu Salah

Pelajaran penting kedua, menurunnya kemampuan fisik tidak seharusnya menurunkan keinginan untuk terus belajar dan keberanian untuk menghadapi hal yang baru. You are born to learn. Secara alamiah sebetulnya kita sudah punya kemampuan belajar seperti teori biologi yang pertama kali dibahas di sekolah dasar : ciri-ciri makhluk hidup adalah memiliki kemampuan beradaptasi. Tapi learnability ternyata bisa dipercepat prosesnya. Salah satu cara mengasahnya adalah dengan berani bertanya dan berani minta bantuan. Seperti kedua nenek saya yang sampai sekarang sama sekali tidak malu untuk menanyakan hal sesederhana “Cek pulsa gimana ya caranya?” atau sekadar “Tolong pasangkan tabung gasnya, Mbah mau rebus air gasnya habis.”

Sebagai penutup, saya ingin memberikan ucapan terima kasih karena Mbah Yem dan Mbah Inah sudah merawat Bapak dan Ibu dengan baik di masa lalu, sehingga saya bisa hadir dan menuliskan cerita sederhana di hari ini. Sekian.

Bagikan
Post a Comment