f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
joe

Joe, Teman di Perpustakaan

“Nah itu dia” kataku dalam hati. Benar saja tebakanku. Seorang anak kira-kira dua tahun lebih muda dariku. Kira-kira sembilan tahun usianya. Ia selalu duduk selonjor dengan buku tebal di tangan. Aku kagum dibuatnya. 

Hari-hari ini aku memang sedang suka ke perpustakaan umum kota. Letaknya tak jauh dari sekolahku.  Hanya dengan berjalan kaki saja aku bisa menjangkaunya.

“Aneh, kena gigitan serangga apa sih Nin kok kamu jadi demam ke perpustakaan?”  Begitu setiap hari komentar Zee teman sebangkuku. Aku tersenyum geli mendengarnya.

“Kutu loncat, ‘kali,” sekali-sekali aku menjawab sekenanya.

Sebenarnya aku sedang mengikuti saran Mr Dan, guru bahasa Inggrisku.

“Kalau kalian ingin cepat lancar berbahasa Inggris, kalian harus banyak latihan.  Banyak berlatih berbicara untuk memperlancar conversation. Banyak membaca cerita-cerita dalam bahasa Inggris untuk memperbanyak kosa kata,” demikian penjelasan Mr Dan panjang lebar.

“Bukan dengan menghafal kamus, Mister?” Alif temanku menyela. Kami semua tertawa.

“Cara yang paling mudah dengan banyak membaca cerita berbahasa Inggris,” lanjut Mr Dan.

***

Demikianlah ceritanya, aku jadi sering ke perpustakaan umum. Tidak setiap hari sih, tapi terbilang sering. Aku meminjam buku cerita berbahasa inggris. Baik komik, kumpulan cerita ataupun novel. Aku mulai dari yang tipis-tipis bukunya. Bukan apa-apa karena aku masih kesulitan memahaminya.  Kalau langsung baca yang tebal aku tidak mampu. 

Tapi aku kagum dengan gadis kecil itu. Ia selalu duduk di dekat rak buku cerita berbahasa inggris.  Dan hebatnya ia selalu membaca buku tebal.

“Pasti dia telah hebat bahasa Inggrisnya,” pikirku menyimpulkan.

Siang ini, seperti biasa, aku masuk ruang baca perpustakaan umum. Aku melihat ia duduk asyik membaca novel tebal berbahasa Inggris. Seperti tidak ada kesulitan.  Tanpa teman, tanpa kamus. Terus terang aku ingin sekali mengenalnya.

Baca Juga  Doa untuk Papa

“Nin,” aku mengulurkan tangan mengajaknya kenalan. “Joe,” jawabnya singkat.  Kembali ia menunduk menekuni bukunya.

“Kamu membaca buku setebal ini tanpa kamus?” tanyaku lebih lanjut.

“Ya,” jawabnya sambil mengangguk.

“Tidak ada kesulitan?” tanyaku lagi. Aku semakin penasaran.

“Tidak,” lagi-lagi ia menjawab dengan singkat.

Aduh kenapa dia enggan berbicara banyak. Padahal aku ingin sekali mencari tahu bagaimana caranya dia bisa begitu mahir berbahasa Inggris. Buktinya bisa membaca novel setebal itu tanpa kesulitan.

“Jangan-jangan memang dia lahir di Amerika. Yah pasti sejak lahir dia sudah mahir berbahasa Inggris” gurau Zee saat aku menceritakan tentang gadis kecil yang kutemui di perpustakaan.

“Uh kamu!” sungutku.

“Memang benar kan? Kamu juga sejak lahir sudah mahir berbahasa Sunda,” ledek  Zee.

“Eh, itu salah besar. Setelah lahir aku menangis, bukan langsung berbicara he he,”  jawabku tak kalah cerdik. Kami tertawa bersama.

***

Hari ini aku ke perpustakaan umum lagi.

“Kamu suka membaca sejak kecil?” tanyaku ketika hari ini aku bertemu lagi dengannya di perpustakaan.

“Tidak,” jawabnya.

“Kakak juga suka membaca buku, bukan?” katanya sambil menunjuk buku di tanganku.   Rupanya ia sudah mulai bisa akrab denganku.

“Itu buku ensiklopedia kan?” lanjutnya. Aku terkejut. Aku suka karena Joe sudah mulai mau berbicara banyak. Tapi aneh. Dia bilang yang aku bawa buku ensiklopedia.  Padahal jelas-jelas bertuliskan kamus.

“Eh, ini bukan ensiklopedi.  Ini kamus,”  jawabku mengoreksi.

“Ehm,” dia mendelik.

“Berapa buku yang sudah kamu baca?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Berapa ya, aku lupa,” jawabnya.

“Tentang apa saja?” tanyaku lagi.

“Tidak tahu,” jawabnya.

“Buku apa yang menurutmu paling menarik?” tanyaku.

“Semua,” jawabnya. Kali ini penyakit enggan bicaranya kambuh lagi. Mungkin karena aku terlalu banyak bertanya. Tiba-tiba ia menutup novel tebal di hadapannya. Buru-buru ia mengembalikannya ke rak. Lalu mengambil buku di rak lain. Kali ini ia mengambil buku-buku TK. Bergambar dan bertuliskan huruf besar-besar. Dengan ekor mata kulirik dia. Mencari tahu apa yang sedang dibacanya. Dia mendekatiku.

Baca Juga  Berkisah Pembelajaran Online

“Kakak mau mengajariku membaca?” katanya dengan suara berbisik. Duarrr!!! Aku seperti tersambar geledek. Apakah aku tidak salah dengar.

“Mengajari apa?” tanyaku dengan berbisik juga. Aku hanya ingin memastikan kalau pendengaranku tidak salah.

“Belajar membaca,” jawabnya.

“Lho bukannya…,” aku termangu.  Heran bercampur bingung. Bukannya Joe yang membuat aku terkagum-kagum.  Joe yang setiap hari kulihat asyik dengan novel tebal berbahasa inggris. Yang membacanya tanpa teman dan tanpa kamus.

“Sssst…,” ia menggandengku ke tempat yang agak sepi di sela-sela rak.

“Sebenarnya aku belum bisa membaca, Kak” akhirnya ia menjelaskan. Aku masih bingung.

***

“Setiap hari aku ikut ayah berjualan es campur di depan perpustakaan ini. Aku belum pernah bersekolah. Tapi aku ingin sekali bersekolah dan bisa membaca seperti anak lain. Setiap hari aku melihat orang-orang keluar masuk perpustakaan. Aku jadi ingin bisa membaca. Nah kalau sedang tidak banyak pembeli, ayah mengijinkan aku masuk ke perpustakaan. Bisa melihat-lihat buku dan sekalian beristirahat,” jelas Joe panjang lebar.

“Kok kamu bisa tahu kalau ini rak buku berbahasa inggris? Kamu juga tahu ensiklopedia? Siapa yang memberitahu?”  tanyaku memberondong.

“Aku mendengarnya dari petugas dan para pengunjung perpustakaan. Kalau mereka sedang berbicara aku menyimaknya baik-baik. Karena aku juga ingin seperti mereka,” jawabnya polos.

“Baik. Aku tidak keberatan untuk mengajari kamu membaca.  Mulai sekarang juga boleh” ajakku meski aku masih diliputi perasaan campur baur antara bingung dan terharu. Zee, aku ingin segera menceritakan kepadamu apa yang sedang aku alami saat ini, kataku dalam hati.

Bagikan
Post a Comment