f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
nabi isa

Ini yang Dilakukan Umat Nabi Isa ketika Sakit Hati karena Cinta

Fulan, sebut saja demikian, adalah salah satu orang yang hidup pada zaman Nabi Isa as. Ia memiliki istri yang sangat cantik (anggap saja bernama Fulanah). Bahkan, ia adalah wanita tercantik seantero negeri. Karenanya, wajar bila Fulan sangat mencintai.

Bagai peribahasa “malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih”, Fulan mendapat musibah besar. Karena satu alasan, istrinya meninggal dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Fulan tentu merasa begitu terpukul dan sangat kehilangan.

Kesedihan yang amat mendalam membuat Fulan sampai rela berhari-hari tanpa tidur berada di kuburan Fulanah. Satu ketika, Nabi Isa as lewat di komplek kuburan dan melihat Fulan sedang menangis. Nabi Isa pun bertanya dan Fulan pun blak-blakan menceritakan semua yang ia alami.

***

Nabi Isa as mencoba menawarkan bantuan, yakni dengan menghidupkan kembali sang istri, “Apakah kamu mau jika aku—dengan izin Allah—menghidupkan istrimu yang telah meninggal ini?”.

Tak mau menyia-nyiakan tawaran, Fulan langsung menyetujui. Nabi Isa as berdoa kepada Allah agar jasad yang berada di dalam kuburan itu hidup kembali. Tak butuh waktu lama, tiba-tiba kuburan terbuka dan seseorang berkulit hitam keluar. Tubuh orang ini penuh dengan api yang menjalar. Astagfirullah.

Ketika hidup, orang ini langsung mengucapkan dua kalimat syahadat, “Asyhadu an laa ilaaha illah. Wa asyhadu anna Isa Ruhullah” (Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah ruh Allah)

“Maaf, Nabi, bukan kuburan yang ini,” kata Fulan menegaskan bahwa kuburan yang dihidupkan itu bukan kuburan istrinya, Fulanah.

Saat itu, Fulan juga menunjukkan yang mana kuburan istrinya. Nabi Isa as pun menghidupkan Fulanah, setelah sebelumnya menyuruh orang berkulit hitam itu untuk kembali ke kuburannya (meninggal dunia).

Baca Juga  Baca Tulisan Ini jika Kamu Sedang Memiliki Kekasih
***

“Ini istri saya, wahai Nabi Isa a.s.,” kata Fulan bahagia.

“Bawalah dia pulang!” kata Nabi Isa mempersilakan.

Mereka pun akhirnya pulang ke rumah.

Karena tidak tidur selama berhari-hari, wajar bila ketika tiba di rumah, Fulan merasakan kantuk luar biasa. Ia berkata, “Wahai istriku, sungguh aku tak kuasa menahan rasa kantuk ini. Sekarang, izinkan aku tidur!”.

Fulanah mempersilakan dan Fulan tidur di pangkuan Fulanah.

Tak lama setelah itu, tiba-tiba ada seorang putra mahkoka (putra raja) menunggang kuda lewat depan rumah Fulan. Dari dalam rumah, Fulanah melihatnya. Ketampanan sang putra mahkota itu benar-benar membuat Fulanah jatuh hati.

Setelah meletakkan kepala Fulan dari pangkuannya, Fulanah pergi mendatangi lokasi di mana sang putra mahkota berada. Sang putra mahkota pun juga jatuh hati melihat kecantikan Fulanah.

“Bawalah aku pergi bersamamu,” kata Fulanah kepada sang putra mahkota.

Tak perlu waktu lama, dengan menunggang kuda, mereka pun akhirnya pergi berdua.

***

Di rumah, ketika bangun dari tidur, Fulan merasa ada hal yang aneh. Istrinya tak ada. Hal ini tentu membuatnya merasa cemas dan khawatir. Ia pun bergegas mencari sang istri, Fulanah.

Bekas tapal kuda yang ada di depan rumahnya itu Fulan gunakan sebagai isyarat utama dalam mencari Fulanah. Setelah mengikuti satu demi satu bekas kaki kuda itu, akhirnya Fulan menemukan jawaban: sang putra mahkota membawa istrinya.  

Singkat cerita, kini, Fulan sudah berada di depan putra mahkota.

“Wahai putra mahkota, lepaskan dia! Perempuan ini adalah istriku,” kata Fulan.

Tak mau ikut suaminya, Fulanah malah menyatakan bahwa ia adalah budak milik putra mahkota. Sang putra mahkota juga tak terima wanita yang ia cintai diambil orang. Ia berkata, “Apakah kamu mau mengambil budakku?”

Fulan tetap keukeuh dengan pendapatnya. Selain itu, Fulan juga mengatakan bahwa Fulanah sebenarnya telah meninggal dunia dan bisa hidup lagi berkat doa dari Nabi Isa as.

Baca Juga  Rabi’ah Al-Adawiyah, Pencapaian Cinta Ilahi (4)
***

Tak ada angin tak ada hujan, entah bagaimana ceritanya, secara tiba-tiba Nabi Isa berada di tengah-tengah mereka. Fulan langsung mencari pembelaan kepada sang Nabi terkait status Fulanah.

“Iya, benar. Ia adalah istri Fulan yang aku hidupkan tempo hari,” kata Nabi Isa as membenarkan.

Fulanah tak mengakui hal itu. Ia tetap mengaku sebagai budak sang putra mahkota. Setelah berdebat cukup lama dan Fulanah tetap ngeyel, Nabi isa as pun akhirnya mengucapkan kalimat pamungkas, “Kembalikan kepada kami apa yang kami berikan kepadamu”

(Maksudnya, Fulanah diminta untuk “mengembalikan” ruh yang telah Nabi Isa mintakan kepada Allah untuknya, pen.).

Tak lama setelah itu, Fulanah meninggal dunia untuk kedua kalinya dan selama-lamanya. Mengakhiri pertemuan itu, Nabi Isa as mengatakan, bahwa siapa yang ingin melihat orang yang mati dalam keadaan kafir, kemudian hidup lagi dan beriman, lantas mati lagi dalam keadaan iman, maka hendaknya ia melihat orang berkulit hitam kemarin itu.

“Juga, siapa yang ingin melihat orang yang mati dalam keadaan beriman, kemudian hidup lagi dan ia kafir, lantas mati lagi dalam keadaan kafir, maka lihatlah Fulanah ini,” kata Nabi Isa as.

Setelah kejadian itu, Fulan menyatakan diri dengan bersumpah untuk tidak menikah lagi selama-lamanya. Ia memilih hidup di hutan untuk mengabdikan dirinya kepada Allah SWT hingga ajal menjemput.

***                                                                                            

Kisah ini penulis sarikan dari kitab an-Nawadir karya Ahmad Syihabuddin al-Qalyubi.[1] Ada banyak hikmah yang bisa kita ambil darinya. Salah satunya adalah bagaimana Fulan menyikapi gejolak jiwanya yang sakit hati karena cinta, yakni memilih Tuhan sebagai tempat mengabdi.

Apa yang dilakukan Fulan bisa menjadi inspirasi bagi kita bersama bahwa putus cinta atau ditinggal pas sayang-sayange bukankah akhir dari segalanya. Tentu, dalam hal ini, kita tidak harus meniru Fulan secara total (tidak menikah lagi).

Baca Juga  Berhenti dengan Candaan Fisik!

Spirit ketuhanan yang dimiliki Fulan itu hendaknya menjadi spirit semua orang. Dikhianati seorang yang kita cintai memanglah menyedihkan, namun hendaknya tak membuat kita lupa daratan dan seakan tak memiliki Tuhan. Wallahu a’lam.


[1] Ahmad Shihabuddin bin Salamah al-Qalyubi, an-Nawadir (Kairo: Musthafa al-Babiy, 1955), 59-60.

Bagikan
Post a Comment