f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
Fatimah D A

Fatimah D A; Sebuah Kisah

Saya tahu tidak akan ada yang mengenal sosok bernama Fatimah D.A. Ya, maklum saja, dia bukan influencer, atau selebgram, atau pemenang olimpiade. Sederhana saja, dia adik saya yang sudah wisuda dua tahun lalu.

Butuh waktu lama untuk menguatkan diri menuliskan ini. Butuh waktu lama juga untuk menimbang dan memutuskan saya akan menuliskan hal ini. Tentang Fatimah si kecil yang lulus dengan baik di mata saya.

Sekira akhir tahun 2019, saat saya menyadari Fatimah sakit leukemia. Melalui perundingan yang alot dengan keluarga besar, apakah akan menempuh kemoterapi atau tidak. Fatimah yang tubuhnya kian lemah memberanikan diri untuk mengambil resiko kemoterapi. Kemoterapi suatu prosedur yang mengerikan bagi orang awam begitu pula bagi saya.

Saya kira leukemia hanyalah hal yang simpel seperti penjelasan sederhana di pelajaran biologi SMA. Kebanyakan sel darah putih alias leukosit dalam darah. Kenyataannya, saya berusaha dengan sekuat tenaga dengan bantuan tenaga medis untuk menyeimbangkan komponen darah Fatimah. Melalui transfusi darah bolak balik dan suntikan obat tertentu.

Tidak cukup dengan itu, saya juga berpacu dengan keadaan. Leukemi yang saya kira jinak, membuat limfa bengkak, Fatimah beberapa kali kesulitan makan karena lambungnya terdesak. Sariawan yang silih berganti datang, syaraf kejepit hingga beberapa kali Fatimah kehilangan penglihatannya.

Ah, saya hanya bisa bernafas saat menjadi saksi bisu perjuangannya. Fatimah yang saat itu masih mengajar. Dia tertolong dengan adanya wabah covid. Sesi belajar mengajar yang bisa dilakukan jarak jauh membuat Fatimah masih bisa beberapa kali mengajar dan mempersiapkan soal ujian. Saya yang bertugas menemani Fatimah selama di rumah sakit hanya bisa memandangnya dengan iba.

Baca Juga  Menyelami Figur Bapak: Pahlawan dalam Kesunyian

Sempat membaik ditengah-tengah sesi, saya optimis saya bisa membuat leukemia pergi dengan damai. Namun, saya salah dia kembali dengan gejala yang lebih dahsyat. Meski begitu Fatimah tetap tabah dan bersabar meski berkali-kali harus berkonsultasi dengan psikiater.

Ya, gempuran sakit mengguncang Fatimah dan keluarga saya. Saya sempat merasa bahwa Allah memberikan cobaan yang begitu berat untuk kami. Mengapa harus keluarga kami, apa salah dan dosa kami sehingga harus menghadapi hal ini.

Namun, Allah memang memberikan cobaan sesuai dengan kekuatan hambaNya. Melalui kuasaNya, saya menemukan banyak mukjizat. Di kala saya putus asa mencari pendonor,  Allah menggerakkan hamba-hambanya untuk berdonor. Saat saya lelah, Allah menjadikan salat sebagai momen terindah bagi saya.

Meski tubuh sakit, secara rohani Fatimah sangat sehat. Fatimah rajin mengaji dan  melantunkan zikir pagi petang disela-sela waktu saat di rumah sakit.  Salat menjadi penanda waktu yang selalu dinanti. Beberapa kali Fatimah sering menanyakan apakah sudah masuk waktu salat.

Fatimah bolak-balik rumah sakit. Fase kemoterapi yang panjang dan beberapa kali Fatimah ngedrop membuat Fatimah harus dirawat. Dia melewati hari demi hari berteman dengan infus. Lorong-lorong rumah sakit menjadi tempat bermain. Bahkan Fatimah sampai mengenal setiap perawat yang merawat dan menyemangati di saat melakukan ikhtiar.

Saya kira Allah akan memberikan kesembuhan dalam bentuk Fatimah masih bisa membersamai saya. Tetapi, Allah ternyata ingin meluluskan dia terlebih dahulu dari dunia.

Maka tepat ditanggal 10 November 2021 Fatimah berpulang. Setelah selama seminggu pandangan matanya gelap dan limfa membengkak besar sekali. Menjelang zuhur dia berpulang masih dalam keadaan menunggu waktu salat.

Saya merasa begitu kehilangan. Senyumannya dan semua celotehnya berputar di kepala. Ada rasa sesak dan sebak kembali menghantui. Rasa tidak terima dan tidak percaya menggedor perasaan saya.

Baca Juga  Perempuan di Tengah Badai (3): Kesalahan

Namun, sebagai insan beriman saya mengikhlaskan kepulangannya menuju Rabbnya. Di hari yang cerah matahari bersinar. Saya mengantarkannya ke peristirahatan. Setelah melalui proses demi proses yang menguji kesabaran saya dan dia sebagai hamba.

Saya menyadari saya tidak memiliki apapun di dunia ini. Saya juga sadar saya tidak memiliki hak terhadap Fatimah. Maka di hari itu saat dia pulang saya menyadari bahwa kematian itu haq. Saya tidak bisa menolak kematian itu.

Kematian sebagai pintu pertemuan hamba dan Rabbnya. Mungkin Allah sudah rindu dengan Fatimah, atau mungkin Allah ingin menunjukkan pada saya. Bahwa Allah meridhoi adik saya, dan semoga dia menjadikan Fatimah salah satu penghuni surga.

Bagikan
Comments
  • Anita

    We love you ♡

    April 1, 2023
Post a Comment