f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
fast fashion

Fast Fashion: Jebakan Nyata Eksploitasi Perempuan

Benarkah perempuan lebih suka belanja dibandingkan laki-laki? Pertanyaan ini terbantahkan lewat riset tahun 2022 yang dirilis oleh Kredivo dan Katadata Insight Center bahwa laki-laki lebih mendominasi transaksi e-commerce di Indonesia. Persentase jumlah transaksi belanja online yang dilakukan oleh laki-laki mencapai 62 persen, sementara perempuan berada di angka 38 persen. Dominasi laki-laki di transaksi e-commerce juga terjadi di negara-negara lain, seperti Amerika Serikat.

Sedangkan produk yang paling banyak dibeli sepanjang tahun 2019 adalah produk fashion dan kecantikan, di mana dalam setahun, perempuan bertransaksi dua kali lipat lebih sering dibandingkan laki-laki untuk fashion dan aksesorisnya. Tidak dapat dipungkiri, perempuan memiliki tren fashion beserta aksesoris yang silih berganti dengan cepat. Beberapa dari mereka tidak ingin terlewat tren begitu saja, karena menganggap bahwa fashion style dapat meningkatkan rasa percaya diri.

Stigma Kalau Perempuan Doyan Belanja

Pada beberapa kasus, perempuan masih dianggap doyan belanja. Misal, “kalau istri ngambek, ajak aja ke mall, pasti sembuh.” Anggapan ini tidak sedikit membuat perempuan yang awalnya tidak hobi berbelanja menjadi terdorong untuk belanja karena menilai berbelanja dapat meningkatkan mood. Walaupun memang ada pula perempuan (maupun laki-laki) yang sengaja berbelanja baju banyak-banyak, setiap bulan bajunya baru terus. Alasannya beragam, ada yang mau pamer, adapula karena merasa malu kalau bajunya itu-tu saja tiap kali posting Instagram.

Selain karena sifat tertentu pada pribadi seorang perempuan, namun stigma masyarakat yang bilang kalau perempuan doyan belanja inilah yang berakibat pada merebaknya industri fesyen. Produsen mana yang tidak memanfaatkan peluang pasar seperti ini. Maka terjadilah produksi besar-besaran super cepat dan mode yang selalu up-to-date dengan bahan berkualitas rendah. Fenomena ini biasa kita kenal dengan sebutan fast fashion.

Dampak Fast Fashion

Kemunculan fast fashion tidak hanya berdampak buruk untuk lingkungan yang dalam setahun telah menyumbang emisi Karbon hingga 1.715 juta ton, 72 juta ton limbah dan sampah, dan menghabiskan hingga 79 miliar kubik air bersih. Namun juga berdampak pada eksploitasi jutaan buruh dan pekerja di bawah umur. Misalnya, pabrik yang membuat pakaian untuk Zara di Myanmar mempekerjakan pekerja yang harus bekerja 66 jam seminggu. Pekerja H&M di India dan Sri Lanka, buruh perempuannya selain tertekan oleh jam lembur tanpa upah, juga ancaman kekerasan seksual di tempat kerja.

Baca Juga  Tren Mode Cepat yang Merusak Lingkungan

Buruh perempuan (lagi-lagi) menjadi sasaran empuk untuk dieksploitasi. Selain itu, buruh perempuan yang bekerja di industri fast fashion juga tidak terlindungi kesehatannya. Buruh perempuan kembali mendapat ancaman penyakit akibat penggunaan bahan kimia yang sama sekali tidak ramah lingkungan. Perempuan yang setiap bulannya harus menanggung dismenore, perempuan pula yang mengandung, melahirkan, dan menyusui. Namun, tubuhnya yang terus menerus kuat bertahan akan gempuran alamiah, juga harus berjuang pada masalah sistematik di lingkungan kerja.

Pun, keberadaan pimpinan perempuan di perusahaan fesyen terkemuka masih terbilang kecil, hanya 25% saja. Padahal, kehadiran perempuan sebagai pemimpin untuk buruh perempuan itu sendiri tidaklah kalah pentingnya untuk menyuarakan pendapat berdasarkan kedekatan gender.

Buruh Perempuan di Indonesia

Di Indonesia, meskipun terdapat undang-undang yang mengatur pekerja perempuan, seperti : istirahat/cuti haid, istirahat/cuti hamil dan melahirkan, istirahat/cuti keguguran, kesempatan menyusui dan fasilitas menyusui; larangan mempekerjakan pekerja perempuan hamil pada kondisi berbahaya; larangan phk karena hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui; ketentuan mempekerjakan pekerja perempuan di malam hari; kekerasan berbasis gender (perlindungan dari kekerasan, pelecehan dan diskriminasi). Namun, realita berkata lain.

Menurut Mirah Sumirat, Presiden Asosiasi Pekerja (Aspek) Indonesia, selama ini pekerja perempuan di Indonesia telah menjalankan tugas ganda, yaitu sebagai pekerja dan juga sebagai perempuan yang menjalankan aktivitas rumah tangga. Pekerja perempuan banyak yang mengalami diskriminasi upah, dilarang menikah, larangan hamil, dan tidak mendapatkan hak cuti haid.

Masih banyak perempuan di daerah rural Indonesia bekerja sebagai buruh jahit yang hanya digaji 500 ribu rupiah per bulan, di bawah rata-rata upah buruh lepas sekitar 1,4 juta rupiah per bulan. Alih-alih memikirkan pendidikan dirinya dan anak-anaknya (jika sudah berkeluarga), buruh perempuan juga harus terbebani ketimpangan pendapatan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016 jumlah tenaga kerja perempuan di Indonesia mencapai 45,5 juta jiwa, dan industri manufaktur menempati posisi ketiga, sebagai sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja perempuan yang mencapai 6,9 juta jiwa. Angka ini diperkirankan terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan maraknya tren fesyen dan fast fashion.

Tidak terbayangkan berapa banyak buruh perempuan yang menanggung beban akibat eksploitasi besar-besaran ini. Meskipun isu perempuan masuk ke dalam SDG’s, di mana setiap negara sedang berusaha mencapainya sebelum 2030 mendatang, sayangnya pemerintah seolah tutup mata, sekalinya membuka mata, hanya melirik sedikit saja pada kenyataan miris di atas. Masyarakat, khususnya perempuan, dibuat bingung seperti apa harus berbuat. Diam saja, sedangkan kebutuhan harian harus terpenuhi. Bergerak, namun tereksploitasi.

Bagikan
Post a Comment