f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
agen perdamaian

Dulu Perempuan sebagai Korban, Kini sebagai Agen Perdamaian

Sudah sejak lama, perempuan selalu ditempatkan sebagai korban ketika dihadapkan dengan sebuah permasalahan. Masih hangat di dalam ingatan tentang seorang perempuan di Aceh, Ibu Saudah yang mendapatkan perlakuan kasar dari sang suami akibat konflik di Aceh. Si suami kerap memukuli Ibu Saudah gegara trauma dan kondisi kesehatan mental yang buruk. Senada dengan nasib Ibu Saudah, perempuan-perempuan di Timor Leste juga dipaksa kuat dalam menghadapi tekanan psikologis sebab konflik pada rentang tahun 1975 hingga 1999. Karena konflik tersebut, beberapa perempuan terpaksa menelan pil pahit, yakni mengandung cum melahirkan anak hasil perkosaan. Mirisnya lagi, anak-anak tersebut hingga saat ini kerap kali mendapatkan perlakuan diskriminatif.

Rangkaian fakta di atas, secara garis besar membentuk sebuah pola bahwa perempuan sejak dulu selalu berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Namun di masa yang sudah mengarusutamakan kesetaraan gender seperti saat ini; pola tersebut sudah seharusnya ‘dibakar’ hingga menyisakan abu yang hilang tersapu angin. Dengan segala keistimewaan yang perempuan miliki, sudah saatnya perempuan tak lagi menjadi korban, tetapi menjadi agen perdamaian. Pernyataan ini bukanlah sekadar kata-kata yang bersifat wacana, sebab beberapa tokoh perempuan telah membuktikannya.

Tak Lagi Terobosan, namun Telah Menjadi Kebiasaan

Satu hal yang perlu ditegaskan adalah perempuan sebagai agen perdamaian bukanlah sebuah terobosan baru, sebab sudah sejak dulu perempuan mampu dan berhasil menjadi agen perdamaian. Sejarah telah mencatat bahwa Lian Gogali (Poso, Sulawesi) telah mendirikan sekolah khusus untuk anak-anak yang menjadi korban kekerasan komunal antara Kristen dan Muslim. Beberapa perempuan dari 80 desa di Poso diorganisir untuk berperan aktif dalam mewujudkan perdamaian dan toleransi lewat pendidikan. Fakta lainnya adalah organisasi Srikandi Lintas Iman yang ada di Yogyakarta. Organisasi ini digawangi oleh kaum perempuan dari lintas agama; profesi; dan pendidikan yang memiliki niat; komitmen; dan semangat yang sama untuk membangun iklim perdamaian di tengah masyarakat.

Baca Juga  Pahit Manisnya “People Come and Go” saat Beranjak Dewasa

Sementara secara personal, tokoh perempuan yang telah membuktikan mampu menjadi agen perdamaian adalah Letnan Kolonel Ratih Pusporini sebagai seorang militer observer di daerah konflik (Kongo) pada tahun 2008. Hal ini sekaligus menetapkannya sebagai perempuan pertama asal Indonesia yang mengemban tugas sebagai penjaga perdamaian di daerah konflik. Dikutip dari situs resmi Kemlu.go.id, dikisahkan saat LetKol. Ratih mengenang tentang keberhasilannya dalam mengamankan akses jalan di Kongo agar anak-anak tetap bisa berangkat ke sekolah. Kala itu, LetKol. Ratih dihampiri oleh seorang anak yang berkata, “Bu, suatu hari nanti aku ingin menjadi sepertimu. Karena engkau, kami tetap bisa pergi ke sekolah.” Melalui kisah singkat ini, ada satu hal yang perlu kita garisbawahi, yakni sudah sejak lama perempuan menjadi sosok yang menjadi cita-cita anak. Tak hanya ayah atau laki-laki saja.

Perempuan Memberikan Rasa Aman dan Nyaman

Dalam konstruksi sosial dan aspek psiko-sosial di masyarakat, perempuan memiliki banyak kelebihan dalam menuntaskan misi-misi kemanusiaan. Perempuan memiliki tingkat kepekaan yang tinggi, sehingga memudahkan penerimaan masyarakat sekitar. Kepekaan ini juga yang mampu memberikan rasa aman sekaligus nyaman bagi sesama perempuan dan anak-anak yang rentan menjadi korban dalam sebuah daerah yang sedang mengalami konflik. Kepekaan perempuan ini didasari atas hasil penelitian seorang peneliti dari University of Basel di Switzerland[1] yang mengungkapkan bahwa perempuan memang lebih peka terhadap perasaan dan emosi daripada laki-laki.

Perbedaan tingkat sensitivitas tersebut disebabkan oleh perbedaan struktur otak. Struktur otak yang anak laki-laki miliki adalah volume insula anterior yang lebih besar, sehingga membuat anak laki-laki kurang peka terhadap perasaan maupun emosi. Insula anterior merupakan merupakan daerah di otak manusia yang berfungsi untuk pengenalan empati dan emosi pada orang lain. Sementara peneliti tidak menemukan ciri yang sama dalam otak anak perempuan. Atas dasar inilah, perempuan menjadi sosok yang pas dalam menjaga perdamaian di daerah-daerah yang rawan terjadi konflik. Karena lebih peka terhadap perasaan dan emosi orang lain, perempuan lebih bisa memahami dan mengerti keinginan serta kebutuhan orang-orang di sekitarnya. Hal inilah yang sering diabaikan dalam penyelesaian konflik karena sibuk menjalankan misi; padahal orang-orang di daerah terdampak konflik lebih ingin dipahami dan dimengerti tentang keinginan sekaligus kebutuhan mereka.

Baca Juga  Rumah Tangga Masa Depan yang Setara

Akhir kata, kembali pada pernyataan saat tulisan ini dimulai, yakni pandangan perempuan sebagai korban harus beralih ke pandangan perempuan sebagai agen perdamaian. Perempuan sudah ditakdirkan lebih peka terhadap perasaan dan emosi orang lain, sehingga hanya memposisikannya secara pasif adalah sebuah kerugian besar. Keistimewaan yang perempuan miliki sudah seyogianya termanifestasikan ke dalam pelbagai aspek kehidupan; khususnya untuk mewujudkan negara yang damai dan sejahtera sebagai satu di antara tolok ukur kemajuan bangsa.


[1] https://nationalgeographic.grid.id/read/13909727/penelitian-mengungkap-bahwa-perempuan-lebih-emosional-daripada-lelaki?page=all

Bagikan
Post a Comment