f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
dewi sartika

Dewi Sartika, Sang Perintis Pendidikan ”Sakola Perempuan”

Dewi Sartika lahir di Bandung, 4 Desember 1884. Lahir dari kalangan keluarga priayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meskipun bertentangan dengan tradisi adat yang ada pada waktu itu, ayah-ibunya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah milik Belanda.

Sepeninggal ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya (kakak dari ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka. Ia mendapatkan pengetahuan serta wawasan mengenai kebudayaan Sunda, sementara pengetahuannya mengenai kebudayaan Barat ia dapatkan dari seorang nyonya asisten Residen berkebangsaan Belanda.

Sedari masa kanak-kanak, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakatnya sebagai seorang pendidik dengan semangat kegigihan untuk meraih kemajuan dalam hal pendidikan. Ketika bermain di belakang gedung kepatihan; beliau kerap kali memperagakan praktik di sekolah layaknya seorang guru; mengajarkan untuk membaca menulis, dan berbicara bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan dan juga anak-anak sekitar. Papan dari bilik kayu, arang, dan pecahan genting dijadikannya sebagai alat bantu belajar.

Pada waktu itu, Dewi Sartika berumur sekitar sepuluh tahun, ketika daerah Cicalengka dikagetkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa penggunaan bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan; sehingga membuat gempar karena waktu itu belum ada anak biasa dan bukan dari kalangan priyayi yang memiliki kemampuan tersebut; apalagi diajarkan oleh seorang anak perempuan.

Ada sebuah kejadian yang disebut sebagai “Prahara Kabupaten Bandoeng 1893”. Kejadian tersebut merebutkan jabatan Bupati Bandung setelah wafatnya Bupati RA Kusumadilaga dan menjadi titik balik bagi keluarga Dewi Sartika. Saat kejadian prahara itu, Raden Rangga Somanagara masih menjabat sebagai patih Bandung.

Pemerintah Belanda menuduh Raden Rangga Somanagara bersalah dan ikut berperan dalam pemberontakan. Orang tua Dewi Sartika dibuang ke Ternate. Harta kekayaan mereka disita secara paksa. Ia tidak ikut orang tuanya ke tempat pembuangan di Ternate.

Baca Juga  Khadijah: Istri dan Pahlawan bagi Rasulullah Saw serta Teladan Umat
***

Selama menjalani kehidupannya di Bandung, ia dicap sebagai anak pemberontak. Ia pun akhirnya putus sekolah dari Eerste Klasse School. Sejak saat itu ia menjalani hidup dengan penuh keprihatinan. Saat Dewi Sartika kecil ikut uwaknya Raden Demang Suriakarta Adiningrat yang menjadi Patih Afdeling Cicalengka.

Di pinggiran Kota Bandung itu, ia tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang gelisah dan was-was memikirkan masa depannya. Usianya semakin bertambah dan sudah menginjak 18 tahun.

Selama tinggal dengan uwaknya di Cicalengka, Dewi Sartika hidup jauh dari gaya menak. Ia merasakan betapa sulitnya menjadi perempuan yang bukan dari kalangan priyayi, mulai dari mencuci hingga memasak. Dengan kata lain, tugas seorang perempuan hanya menjadi penghias dan pelaksana di dalam rumah tangga.

Setelah masa remajanya berakhir, Dewi Sartika kembali kepada ibunya di Bandung. Jiwa pemikirannya yang telah matang dan dewasa semakin menjadikannya untuk mewujudkan cita-cita terbesarnya yaitu berkiprah dalam bidang pendidikan. Ia mendapat dukungan dari pamannya, yaitu Bupati Martanagara; yang memang memiliki keinginan yang sama dengan Dewi Sartika.

Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat tradisional masyarakat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami berbagai kesulitan dan khawatir akan nasib keponakannya. Namun, karena kegigihan dan semangatnya yang tak kunjung pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah pertamanya untuk kaum perempuan.

***

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata. Beliau memiliki visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, ia merupakan seorang guru di sekolah Karang Pamulang, yang saat itu merupakan sekolah Latihan Guru. Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan.

Baca Juga  Rasuna Said : Orator Perempuan dari Tanah Minang

Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya baru berjumlah tiga orang  antara lain; Dewi Sartika dibantu oleh dua saudaranya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.

Di sebuah ruangan kecil, di halaman belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Mengajarkan berbagai macam keterampilan seperti: merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan sebagainya, menjadi materi pelajaran pada saat itu yang nantinya dapat bermanfaat untuk keluarga dan sekitarnya.

Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1905, sekolahnya menambah beberapa ruang kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi yang baru dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta adanya pemberian bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung.

Lulusan pertama pada tahun 1909, telah membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak kalah dibanding dengan laki-laki. Tahun 1910, Dewi Sartika harus kembali menggunakan harta pribadinya untuk kepentingan administrasi dan pembangunan sekolah, sehingga sekolahnya dapat diperbaiki dan mememenuhi syarat kelengkapan sebagai sekolah formal.

***

Dia berusaha dengan keras dan tekun untuk mendidik anak-anak gadis sekitar agar kelak bisa menjadi istri sekaligus ibu rumah tangga yang baik, mandiri, tidak semua hal harus bergantung pada suami, dan mempunyai keahlian yang terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikan olehnya.

Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya sebagai beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya. Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga, materi maupun pemikiran.

Baca Juga  Siti Raham, Perempuan di Balik Keteguhan Buya Hamka

Pada tahun-tahun berikutnya, di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika.

Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten. Tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan).

Tepat pada bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi “Sakola Raden Déwi”. Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon, Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian, dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.

Bagikan
Post a Comment