f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
ikhlas

Beneran Ikhlas atau Biar Dibilang Ikhlas?

Sebagaimana kita ketahui dalam kitab-kitab hadis, para ulama memulai tulisan mereka dengan hadis tentang ikhlas. Tentunya mereka tidak secara langsung bersepakat, namun dengan kedalaman ilmu mereka secara otomatis mereka memahami bahwa penting sekali untuk meletakkan ikhlas sebagai landasan pacu sebelum memulai aktivitas apapun; karena amalan akan diterima bila ikhlas dan benar sesuai tuntunan Rasulullah Saw.

Pada tulisan ini saya ingin membahas tentang ilmu ikhlas. Karena saya temui beberapa orang yang sering memberi pengingatan tentang ikhlas; justru tidak memahami konsep yang benar dalam Islam. Ikhlas itu tidak sekadar menunjukkan ketulusan lho. Yuk kupas.

1. Konsep ikhlas tidak ada sangkutannya dengan ambisi harta

Menurut anda, apakah orang yang mengharapkan imbalan dari yang dia kerjakan itu berarti tidak ikhlas? Nah, banyak orang mengira bahwa ikhlas itu tidak mengharapkan imbalan; atau mungkin secara kasar berarti mengejar dunia. Padahal dalam konsep ikhlas itu tidak menafikan imbalan dunia.

Saat membangun semangat berperang, Rasulullah Saw tidak jarang menyemangati sahabatnya dengan imbalan dunia. Dalam sebuah hadis, Amru bin Ash pernah diminta Rasulullah Saw untuk turut berperang agar dapat banyak harta. Amru pun menjelaskan kepada Rasulullah Saw bahwa dia masuk islam secara tulus, tidak mencari harta. Namun Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Amru, sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki oleh hamba yang Shalih.” (HR. Ahmad 4/197)

Jadi di sini Rasulullah Saw justru memperjelas bahwa semangat untuk mengumpulkan harta dalam peperangan bukanlah tanda tidak ikhlas. Karena Rasulullah Saw percaya bahwa jika harta berada di tangan muslim pasti ia akan menggunakannya untuk kebaikan dan kebermanfaatan.

Kisah lain adalah Qotzman, seorang penduduk Madinah yang ikut berperang dengan Rasulullah Saw. Kematiannya mendapat pujian karena terlihat gagah dengan banyaknya luka perang. Namun Rasulullah Saw justru mengatakan bahwa dia penghuni neraka. Rasulullah Saw menjelaskan bahwa dia semangat berperang untuk kemuliaan kaumnya dan dia mati karena bunuh diri tak tahan rasa sakit luka di tubuhnya.

Baca Juga  Pentingnya Melindungi Data-data Pribadi

Bahkan dalam hadis riwayat Muslim dan Ahmad, Rasulullah Saw mengabarkan bahwa orang yang pertama akan diputus perkaranya di hari kiamat adalah syuhada. Namun justru ada sebagian syuhada ini masuk neraka. Karena niat berperangnya ingin disebut sebagai pahlawan. Jadi yang menggugurkan keikhlasan itu bukanlah ambisi pada harta, tapi riya’ ingin disebut sebagai pahlawan.

2. Ikhlas itu seperti QS Al-Ikhlas

Pernah mendengar pernyataan ini? Kedengarannya bijak sekali ya, lengkapnya seperti ini. Ikhlas itu seperti QS Al-Ikhlas, tidak ada kata ikhlas di dalamnya. Bagi pelajar sekolah seharusnya sudah bisa merasa ganjil dengan pernyataan ini. Nama surat bagi kumpulan ayat di dalamnya tentunya seperti judul bagi sebuah paragraf. Bagaimana mungkin sebuah judul tulisan tidak mewakili tulisan tersebut.

Ternyata konsep ini hanyalah otak atik gatuk. Ikhlas itu dari kata kholasho yang berarti suci atau murni. Jadi makna asli kata ikhlas itu justru lebih dekat kepada penggunaan nama surat ke 112 dari pada makna ikhlas yang kita kenal sehari-hari bisa menjadi ketulusan atau kerelaan.

Jadi, secara makna dalam surat ke 112 itu setiap ayatnya sudah membahas apa yang seperti tersingkap dalam nama surat tersebut. Meskipun penggunaan kata dalam ayatnya tidak lagi menggunakan kata ikhlas. Karena makna ikhlas di sana adalah memurnikan ketauhidan bukan kerelaan.

3.  Mengingatkan pemimpin yang melenceng dari syariat bukan berarti tidak ikhlas

Dalam Islam, ini bagian dari amar makruf nahi munkar meski sangat sensitif. Jika ada pemimpin yang entah karena ketidaktahuannya atau karena adanya tekanan dari pihak lain; dia melakukan hal yang melanggar syariat maka kita wajib untuk menegurnya. Dan pemimpin yang baik seharusnya terbuka pada masukan orang karena memang tugasnya untuk mendengarkan.

Dalam hal ini, Rasulullah Saw dan sahabatnya telah menjadi teladan kita tentang bagaimana pemimpin mendengarkan kritik rakyatnya; bahkan tanpa malu meralat kebijakannya. Kisah tentang Rasulullah Saw bisa kita dapati dalam banyak hadis. Dalam tulisan ini saya ambilkan salah satu dari sahabat Umar bin khatthab. Orang yang sangat galak dan sangar namun siap mendengar kritikan wanita di depan umum dan kemudian meralat kebijakannya segera.

Baca Juga  Terrible Two atau Adorable Two?

Dalam kejadian itu, Umar baru saja naik mimbar dan melarang para lelaki untuk memberikan mahar yang banyak dengan mencontohkan Rasulullah Saw saja memberikan mahar kepada istrinya hanya 400 dirham. Seketika itu juga, ada wanita yang menyampaikan interupsi dan meminta Umar membaca kembali QS An-Nisa: 20. Umar tentu hafal ayat itu sehingga dia berkomentar, ”semua orang lebih tahu dari Umar”. Kemudian kembali naik mimbar untuk meralat kebijakannya.

Kisah semacamnya cukup banyak bagaimana seorang Umar yang mantan preman kekar. Ketika sampai kepadanya kritik tentang syariat bahkan di depan umum, maka dia langsung tunduk dan tak menunggu waktu untuk meralat kebijakannya.

Hal ini bisa menjadi teladan bagi para pemimpin muslim bahwa berhentilah menyebar doktrin tentang ketaatan kepada pemimpin itu mutlak. Tidak manut maka dicap tidak ikhlas. Padahal bisa jadi justru yang manut saja itu karena mau menjilat dan yang mengkritik justru tanda kasih sayang yang tulus kepada pemimpinnya agar tidak terjerumus dalam kesalahan.

4. Tidak pilih-pilih amanah

Dalam keseharian kita beramal jamai, tentunya kita akan diberikan tanggung jawab yang tidak sedikit. Tentang pembagiannya itu teknis saja terserah kepada prosedural organisasi itu. Pun dalam menjalankan amanah ini harus berimbang ataupun apabila perlu membuat prioritas maka prioritas ini harus dibuat dengan skala tanggung jawabnya.

Namun saya tak jarang melihat ada orang-orang yang memilih amanah pada hal-hal yang secara kalkulasi dapat memberikan dampak lebih signifikan. Dan tak banyak kondisi ini adalah untuk kepentingannya sendiri. Hal yang paling sering nampak adalah saat ada amanah yang bersifat rutin dengan yang insidental. Tidak sedikit yang saya perhatikan lebih memilih untuk bisa tampil di insidental dengan secara sengaja meninggalkan yang rutin. Ya biar lebih “dapat dinilai”.

Baca Juga  Ujian untuk Belajar Ikhlas

Kita harusnya belajar dari turunnya QS ‘Abasa. Bagaimana Rasulullah Saw mendapat teguran dari Allah karena mengesampingkan seorang yang buta demi melayani para pemuka Quraisy. Kemudian, Allah menegur Rasulullah dengan turunnya ayat. Tentu kita pun harus belajar dari kejadian ini untuk adil dalam menjalankan amanah. Atau komunikasikan sejak awal jika tidak bersedia dengan amanah tersebut sehingga bisa orang lain jalankan.

***

Dalam logika awam, kita mungkin sejalan dengan Rasulullah Saw. Prioritas dakwah kepada para pemuka kaum, kalau mereka beriman maka akan memberikan pengaruh luas. Dari pada seorang yang buta dan tak berpengaruh, paling hanya untuk dirinya sendiri. Namun Allah memiliki cara penilaian yang berbeda sehingga turunlah ayat ini sebagai peringatan untuk tidak boleh pilih-pilih amanah ikuti kalkulasi.

Dengan tulisan ini, saya hendak mengingatkan semuanya termasuk diri sendiri bahwa syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan benar sesuai Rasulullah Saw. Padahal konsep ikhlas sendiri juga harus sesuai Rasulullah Saw. Jika tidak, ya bagaimana kita menjamin amalan kita diterima.

Maka dalam beramal hendaknya bersandar pada pendapat ahli ilmu, jangan hanya gembor-gembor semangat. Sebagaimana kita tahu bahwa setan saja lebih takut pada tidurnya ahi ilmu dari pada semangat beramalnya ahli ibadah. Karena ahli ilmu tahu cara membuat tidurnya sekalipun bernilai ibadah. Namun ahli ibadah tidak bisa menjamin amalannya diterima karena kurang ilmunya. Wallohu’alam.

Bagikan
Post a Comment