f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
Beasiswa

Beasiswa S3 dan Rasa Bersalah

Ada perasaan bersalah setiap kali saya membaca tulisannya, sekaligus saat ia mendapatkan gelar Profesor. Rasa bersalah ini memang tidak menghantui, tetapi hal itu mengganjal saja dalam pikiran saya. Catatan singkat saya ini akan menjelaskan hal tersebut dan bagaimana akhirnya saya meminta maaf kepada Profesor tersebut. Kalau teman-teman mengikuti cerita saya bagaimana saya akhirnya mendapatkan IELTS akan mengetahui betapa perjuangan saya untuk mendapatkan nilai yang diinginkan oleh nilai standar kampus luar negeri tidak mudah.

Namun, ketika nilai IELTS akhirnya sudah didapatkan sesuai yang diinginkan oleh standar tersebut, perjuangan lain menanti, yaitu menyiapkan aplikasi untuk mendaftarkan beasiswa. Saat IELTS sudah cukup, saya menyiapkan aplikasi tersebut saat itu, ada empat aplikasi yang saya buat. Beasiswa NUS (National University of Singapore), beasiswa UBD (University of Brunnei Darussalam), beasiswa Hongkong, dan Aminef. Di antara keempat beasiswa itu hanya dua yang akhirnya bisa saya selesaikan; UBD dan NUS (kedua beasiswa tersebut hampir bersamaan waktunya.

NUS sebagai pilihan pertama ternyata hanya memberikan saya beasiswa SPP. Sementara biaya kehidupan sehari-hari sekaligus akomodasi untuk tempat tinggal harus saya tanggung sendiri. Tentu saja itu sangat memberatkan saya. Di tengah beasiswa yang hanya setengah tersebut, saya dapat panggilan wawancara untuk beasiswa UBD. Ada dua orang yang mewawancarai. Salah satu orang yang mewawancarai tersebut adalah Profesor Hoong Chan Yau.

Dalam proses wawancara, ada banyak hal yang kami bicarakan. Namun satu kesimpulan yang saya dapatkan, mereka berdua tertarik dengan aplikasi saya. Ini terlihat dengan akhir wawancara beasiswa, ia sudah memberikan tangan terbuka kepada saya. Meskipun keputusan akhir ada di tangan kampus. Ia memberitahu saya, “jika kamu dapat beasiswa lain, mohon kabarin saya”. Kalimat ini sebenarnya menunjukkan, di antara beasiswa yang lain, tampaknya, dengan pengalaman saya dalam dunia akademik yang dicatatkan melalui CV, saya bisa mendapatkan beasiswa lain.

Baca Juga  Kartini dan Korona

Saat menunggu pengumuman beasiswa UBD, sebulan kemudian, saya mendapatkan tawaran kembali oleh beasiswa NUS untuk mendapatkan beasiswa penuh. Tanpa pikir panjang, beasiswa ini pun saya ambil. Namun, tiga minggu kemudian pengumuman beasiswa UBD telah sampai ke surat elektronik saya, di mana saya harus mengisi aplikasi apakah akan mengambilnya atau tidak dalam tautan yang dibagikan untuk mengisi dalam sistem. Dengan berat hati, beasiswa UBD pun tidak jadi saya ambil dengan alasan karena telah menerima beasiswa lain. Meskipun ada banyak variabel lain, salah satu alasan saya kemudian memilih NUS adalah; mobilitas. Karena saya tahu beasiswa ini tidak cukup membawa keluarga, pertimbangan ini sangat penting untuk saya.

Dibandingkan Jakarta-Brunei, transportasi dengan pesawat terbang dari Jakarta ke Singapura jauh lebih murah. Dalam keadaan normal, misalnya, perjalanan satu kali penerbangan Jakarta-Brunei, tiket paling murah adalah 2-3 juta. Jika dihitung perjalanan pulang-pergi ini bisa menghabiskan uang sekitar 4-5 juta. Sementara untuk Jakarta-Singapura, perjalanan Jakarta-Singapura dengan pulang-pergi, saya bisa menghabiskan uang sekitar 1,5-2 juta, baik dengan bagasi atau tanpa bagasi. Tentu saja, ini sekali lagi dalam keadaan normal. Jikalau dalam situasi Covid-19 kemarin, perjalanan menuju kedua negara di Asia Tenggara tersebut sama-sama mahal. Mengingat ada tahapan pengecekan dan pengkondisian kesehatan sebelum, saat, dan sesudah naik pesawat.

Karena sudah bekerja sebagai peneliti di LIPI (sekarang BRIN) dan telah menghasilkan sejumlah publikasi ilmiah, saya sebenarnya tidak terlalu memilih kampus di luar negeri. Imajinasi saya saat itu adalah bagaimana caranya bisa kuliah S3 di luar negeri saja. Dengan pertimbangan ini, saya pernah memilih untuk kuliah S3 di Taiwan. Mengingat ada satu jurusan bagus yang saya suka, yaitu Institute of Social Research and Cultural Studies di National Chiao Tung University. Di jurusan ini, dedengkot Inter-Asia Cultural Studies mengajar; Kuan-Hsing Chen. Sayangnya saat diterima oleh jurusan tersebut, beasiswa saya yang didanai oleh institusi dalam negeri dihentikan programnya. Alhasil, saya tidak jadi berangkat.

Baca Juga  Tak Pandang Kursi, Belajar ke Luar Negeri Tak Lagi Ilusi

Sementara itu, pertimbangan saya memilih UBD, mereka memiliki satu jurusan dan institusi yang bagus, yaitu The Institute of Asian Studies (IAS). Untuk menggenjot peringkat dunia kampus, UBD menginvestasikan uangnya dengan mengundang para pakar yang studi di Asia terkait dengan Ilmu Sosial dan Humaniora. Melalui sarjana terbaik yang ahli di bidangnya inilah mereka akan mempublikasikan sejumlah karya internasional, yang dapat mengangkat reputasi UBD secara ranking. Tidak hanya itu, para sarjana ini akan mengundang jaringannya masuk ke IAS ini. Salah satu program publikasi IAS yang saya amati adalah mereka memiliki proyek buku tahunan dengan bekerjasama dengan Springer di bawah tema Asia in Transition.

Melalui proyek ini, para sarjana yang tergabung di IAS sekaligus mengundang sarjana lain, menulis bagian buku (Book Chapter) melalui proyek ini. Yang jauh lebih menarik, terbitan dalam seri Asia in Transition ini bisa diunduh secara gratis. Jika menelusuri ke belakang, IAS ini tampaknya semacam proyek seperti Asia Research Institute (ARI) di NUS, di mana pola kerjanya mirip sekali. Proyek buku ini membuat saya tertarik. Setidaknya, suatu saat saya bermimpi bisa menerbitkan karya saya dalam edisi seri penerbitan itu.

Kembali dengan penjelasan beasiswa UBD yang saya tidak ambil. Pertemuan di ISEAS-Yusof Ishak Insitute, di Singapura pada 24 Agustus 2023 ini dengan Profesor Hoong Chan Yau menjadi momen permintaan maaf terkait dengan tidak memberitahu beliau kalau saya tidak jadi mengambil beasiswa tersebut. Permintaan maaf ini diterima oleh beliau. Di balik itu, ia sebenarnya memiliki cerita lain. Menurutnya, mengapa saya tidak mengabarkan dirinya itu karena saya tidak diterima beasiswa. Ini karena, isu yang saya angkat dalam konteks masyarakat Brunei adalah sensitif, terkait dengan otoritas keagamaan di platform digital.

Baca Juga  Menghadapi Masa Berduka dalam Kacamata Islam

Meskipun demikian, sebagaimana ia bercerita kepada saya, ia berusaha keras kepada pihak kampus agar saya bisa diterima. Selain reputasi akademik yang saya miliki, riset proposal saya dianggap bagus olehnya. Namun, karena usia saya saat itu sudah melampaui 35 tahun, di mana itu batas maksimal untuk orang yang mendapatkan beasiswa, pihak kampus memberikan alasan bahwasanya saya tidak memenuhi kriteria

Melalui cerita ini ia justru tertawa dan balik memberikan komentar, “saya pikir kami (pihak UBD) yang tidak menerima kamu. Ternyata kamu yang menolak kami”. Mendengar komentar itu, saya hanya nyengir saja. Untungnya, dalam momen itu rasa bersalah ini jadi berkurang dan lebih rileks karena ada Profesor Mujiburrahman sebagai sahabat beliau, yang dahulu sama-sama menempuh PhD di kampus yang berbeda, tapi dipertemukan dalam forum-forum akademik, yaitu konferensi.

Pertemuan ini membuat rasa bersalah saya kini hilang. Saya bisa menyambung silaturahmi lagi dengannya. Saya tahu, beliau adalah sarjana yang sangat produktif. Karier akademiknya melesat cepat dengan publikasi yang dimiliki. Dengan usia yang cukup muda, ia sudah mendapatkan gelar Profesor di UBD. Karena itu, ada banyak hal yang saya ingin belajar darinya. Melalui pertemuan ini, semoga ke depan saya bisa kolaborasi menulis dengan beliau yang ahli dalam studi Tionghoa di Indonesia dalam lensa antropologi.

Bagikan
Post tags:
Post a Comment