f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
perempuan dissabilitas

Bagaimana Caranya Meretas Diskriminasi terhadap Perempuan Disabilitas?

“The iron lady of Pakistan”. Begitulah julukan dari Muniba Mazari, gadis hebat yang harus berkursi roda akibat kecelakaan mobil  yang dialaminya pada tahun 2008 silam. Cerita ini diangkat  oleh perhimpunan pelajar Indonesia cabang Universitas Kebangsaan Malaysia. Dalam postingan instagramnya tepat pada hari perempuan internasional sebagai kisah perempuan inspiratif.

Bagi saya, apa yang telah dilakukan oleh PPI UKM dalam hal ini cukup menarik; karena bertindak sebagai pembeda yang bisa mengingatkan kita semua terhadap nasib perempuan disabilitas di luar sana yang mungkin ingin menjadi muniba-muniba berikutnya. Namun akhirnya redup dan harus mati sebelum waktunya akibat berbagai penindasan yang mereka alami.

Berdasarkan kondisi objektif terhadap Glorifikasi akan gambaran ideal yang terkait dengan  kesempuraan perempuan menurut versi dan gaya tertentu sesuai dengan trend kekinian, memang  seringkali dan selalunya menimbulkan dampak psikologis terhadap perempuan yang memiliki kekurangan fisik maupun mental.

Saya memiliki banyak sekali teman-temen perempuan yang disabilitas, mayoritas dari mereka berkursi roda dan tunarunggu. Mereka merasa hidupnya tidak berguna. Bahkan ada dua orang dari mereka yang berkisah; jika ada pria yang hendak menikahi ataupun baru sekedar mendekati mereka maka pria itu dianggap gagal atau salah pilih oleh keluarga mereka maupun lingkungan sosial mereka. Padahal seyogyanya setiap orang memiliki hak untuk menikahi siapapun sesuai dengan panggilan hati dan tentu takdirnya.

Lalu, muncul sebuah tanya did alam diri saya, kenapa  penindasan ini bisa terjadi ?

Konstruksi Sosial yang Salah

Kesalahan dalam memperlakukan perempuan disabilitas kalau kita cermati adalah karena kontruksi sosial yang salah. Konstruksi sosial ini yang memberikan masyarakat mindset seakan-akan perempuan-perempuan dissabilitas adalah produk yang gagal; yang secara potensi lebih rendah daripada perempuan yang lengkap fisiknya.

Baca Juga  Perempuan dan Teori Konspirasi: Hasil Sekolah Bertahun-Tahun

Apalagi dalam alam pikiran patriarki yang menempatkan tubuh perempuan sebagai sarana konsumtif dalam pandangan “ada bagi diri yang lain”. Dari sinilah kemudian, budaya mendiskriminasi perempuan disabilitas tetap terawat karena kontruski sosial yang salah. Kekurangan pada diri perempuan baik dari segi fisik maupun mental akan dianggap sebagai ketidakgunaan.

Apalagi kalau kita membaca dalam pengertiannya yang lebih luas dari literatur yang terkait dengan  Dissability studies(sub-bidang ilmu sosial yang menganalisa kontruksi sosial terhadap kecatatan di ranah sosial); maka kita akan mendapati stigma terhadap mereka yang disabilitas. Dalam hal ini perempuan terbentuk dari diskursus yang kita  bangun secara kolektif; melalui bahasa, nilai, dan kegunaan dalam hal ini terhadap perempuan itu sendiri.

Sehingga kemudian, kita melihat perempuan dengan disabilitas sebagai sebuah beban atau kegagalan yang harus kita singkirkan secara halus; bahkan ada juga penyingkiran secara kasar terjadi. Maka kemudian tantangan yang mereka hadapi selanjutnya akan jauh lebih berat. Katakanlah  berupa kemiskinan, kurangnya kesempatan, bahkan kekerasan dan pelecehan  belum lagi ditambah kondisi fisik dan mental mereka yang berbeda dari kita. Namun tetap saja  saya meyakini mereka memiliki potensi yang sama dengan kita atau bahkan lebih dari kita.

Lalu bagaimana caranya kita merubah keadaan ini?

Pendekatan Tiga Penjuru

Dalam kasus diskriminasi terhadap perempuan disabilitas, wacana perempuan mendukung perempuan tidaklah cukup. Tapi bukan berarti wacana tersebut salah; karena dia berguna sebagai daya dorong yang perlu  terus dilakukan. Selain itu perlu adanya pendekatan lain juga  sebagai penguat yang saya sebut sebagai pendekatan di tiga penjuru. Sebenarnya pendekatan ini ,bisa juga digunakan secara luas terhadap kaum disabilitas lainnya terlepas dari apapun preferensi gender dan sex  mereka.

Baca Juga  Kreativitas Milenial untuk Ekonomi Bangsa

Pertama, penjuru kognitif  yang berkaitan dengan pengetahuan seseorang tentang disabilitas. Di sini proses perubahan dapat dicapai dengan baik kalau kita dari yang paling mungkin kita lakukan, bisa  menyebarkan secara akurat  informasi yang relevan tentang situasi penyandang disabilitas secara fisik maupun mental  pada umumnya dan perempuan khususnya sebanyak mungkin ke setiap orang. Dan jelaskan kepada mereka dari sudut ilmiah maupun agama, tentang  kenapa kita harus menghapus diskriminasi apapun bentuknya terhadap mereka.

Kedua, penjuru perilaku tentang bagaimana seseorang berperilaku terhadap perempuan yang mengalami disabilitas. Di sini perilaku yang mengasihi perlu diubah dalam bentuk perilaku yang menyemangati; perilaku yang menganggap mereka beban perlu diubah ke perilaku yang meanggap mereka setara; dan perilaku yang menganggap mereka kurang cantik perlu diubah ke perilaku menghargai sekaligus memahami cantik yang berbeda menurut definisi orang lain.

Ketiga, penjuru  pfektif yang berkaitan terhadap  bagaimana perasaan seseorang  secara emosionalnya ketika berinteraksi dengan perempuan dissabilitas. Apakah dia masih terjebak pada ke-irrasionalitas-annya? Jika sekiranya, dia masih terjebak pada kondisi yang  tidak rasional maka kita perlahan-lahan ubah menuju tahapan yang lebih rasional. Lewat perjumpaan dalam kegiataan yang melibatkan para perempuan disabilitas jika memungkinkan. Di sini perlu adanya  dialog yang membangun dan kerja-kerja kemanusiaan bersama sehingga outputnya  akan  membuat cara kita merasa akan berbeda dari sebelumnya.

,

Bagikan
Post a Comment