f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
skincare

Antara Aku, Kau, dan Skincare

Jika ada yang bertanya, apa yang membuat saya jengah pada bisnis skincare di Indonesia. Mungkin tiga hal ini penyebabnya. Pertama, tentu soal standar kecantikan. Bisnis ini menuntun pada standar kecantikan yang membuat setiap perempuan ingin putih dalam waktu singkat. Padahal kalau di jembrengin dari ujung ke ujung, Indonesia punya berbagai warna yang tidak mampu disederhanakan dengan satu warna : putih.

Kedua, iklan skincare ini melibatkan brand ambasador yang sudah tentu berkulit mulus bukan karena produk mereka ansih. Tapi berbagai perawatan penunjang lain yang harganya berkali lipat dari produk skincare yang dipromokan. Ketiga, ini yang paling menyebalkan dan membutuhkan banyak kalimat untuk menjelaskannya sehingga saya memohon kebijaksanaan waktu dan kesabaran dari pada pembaca yang budiman.

Jadi gini, saya sedang bengong sampai kemudian lewatlah vt tiktok yang curhat. Pada suatu malam, pengguna tiktok ini melihat brand A melaukan penjualan langsung saat sesi live berlangsung. Produk yang biasanya dijual perbiji 1000 rupiah, malam itu kena harga murah meriah. 1000 rupiah untuk 2 produk. Otak bisnisnya merespon ini dengan cepat. Ia mencek out banyak sekali produk untuk dijual kembali.

Betul, mungkin ia membeli sekitar 10 paket. Sehingga ia punya 20 produk di rumah. Sejak awal ia tahu bahwa produk dijual dengan sistem Pre order, cek out hari ini baru dikirim sekian lama kemudian. Singkat kata, produk yang ia pesan baru sampai sebulan setelahnya. Saat ia siap menjual produk ini, si brand kemudian menyelenggarakan live kembali. Celakanya, live kali ini menjual item yang sama dengan harga yang jauh lebih murah, yakni 1000 rupiah mendapatkan 4 biji.

Akhirnya pengguna ini kecewa. Di saat ia memiliki stok banyak, ia malah bersaing dengan pemilik brand dalam penjualan. Tentu kita bisa berkomentar : salah sendiri, siapa suruh ngide jadi reseller? Tapi tunggu dulu, saat saya membuka kolom komentar hal yang mengejutkan saya dapati di sana. Para komentator beberapa curhat, sebagian kecil dari mereka bahkan melakukan kemitraan dengan brand macam ini.

Baca Juga  Bisakah Perempuan sebagai Aktor Resolusi Konflik ?

Kelompok ini bahkan jauh merasa dirugikan sebab biaya kemitraan yang tidak murah, kemudian harga produk yang ia jual tentu berdasarkan harga awal yang selisihnya jauh dengan harga yang brand tawarkan secara langsung pada konsumen. Harganya bisa dua kali lipat dari harga yang reseller beli lewat live tiktok. Dalam tahap ini, para kemitraan merasa mereka bersaing dengan pemilik brand langsung.

Kita sering mendengar bagaimana kapitalisme bekerja. Tapi kali ini, saya agak geram sebab para perempuanlah yang terdampak langsung. Para perempuan pengguna, yang bahkan kulitnya tak membaik setelah menggunakan skincare brand tersebut, misal keluhan terhadap produk ini juga beragam — mulai dari kulit yang bermasalah padahal tadinya kulit normal. Kedua, perempuan yang bahkan berdaya secara ekonomi sebab akhirnya mereka kembali terjerembab dalam pusaran penjualan yang mandeg.

Tapi bisnis ini memang menjanjikan banyak hal dengan pola yang sama. Para pemilik brand skincare ini biasanya menjadi mudah menginformasikan kekayaan mereka. Private jet, rumah mewah, bahkan outfit dari atas ke bawah yang tak mungkin seharga ratusan ribu menjadi gaya hidup yang mafhum dikenalkan pada kita masyarakat awam. Kita diberi ilusi bahwa menjual skincare adalah jalan tol menuju kaya raya. Lalu dari sinilah para pemirsa menyetujuinya, mengajukan kemitraan, menjadi reseller, lalu kemudian terjerembab dalam kenyataan pahit : produk muspro yang tak bisa dijual lagi, bukan hanya karena harga yang terlalu mahal, tapi juga kualitas produk yang tak terjamin.

Saya bahkan berkali kali mencari bagaimana kerugian ini berlangsung.  Tapi setiap kali saya mencari berita ini di mesin pencari, berita yang muncul hanya soal brand, pendaftaran BPOM, dan seterusnya. Sedikit sekali yang membicarakan bagaimana cara mereka merugikan penjual dan pembelinya secara simultan dan repetitive. Sungguh relasi antara brand besar dengan niaga elektronik yang menguntungkan mereka, namun membunuh para pelaku bisnis kecil dengan mudah dan penuh kesadaran.

Bagikan
Comments
  • Adhin

    Kesekian kalinya, saya harus mengantri untuk mnjadi penggemar ide dan gagasanmu mba..go go go mba dee…!!!!

    Oktober 15, 2024
Post a Comment