f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
anak

Anak dan Edukasi Perdamaian Sejak Dini

“If we are to teach real peace in this world, and if we are to carry on a real war against war, we shall have to begin with the children,” Mahatma Gandhi. Kutipan pernyataan dari salah satu tokoh termasyhur penerima nobel perdamaian tersebut, mengingatkan kita pada pentingnya mengedukasi anak tentang perdamaian sejak dini. Tuhan telah menjadikan anak-anak terlahir suci dari seorang ibu yang kuat dan hebat.

Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabir. Al-Imam Muslim rahimahullah, Rasulullah bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah, kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”

Pada siklus kehidupan seorang anak, hakikatnya memang orang tua dan lingkungannya yang telah membentuk kepribadian dan pemikiran anak-anak. 

Terminologi Periode Emas Anak

Perjalanan tumbuh-kembang anak secara fisiologis, psikologis, dan sosiologis terjadi pada masa periode emas anak. Titik kritis tumbuh-kembang anak bermula sejak masa kandungan, 0-24 bulan atau 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Pada periode inilah organ-organ vital (otak, hati, jantung, ginjal, tulang, tangan atau lengan, kaki dan organ tubuh lainnya mulai terbentuk dan terus berkembang).

1000 HPK merupakan periode emas karena pada periode ini terjadi perkembangan yang sangat cepat. Perkembangan Sel-sel otak, terjadi pertumbuhan serabut-serabut saraf dan cabang-cabangnya sehingga terbentuk jaringan saraf dan otak yang kompleks. Perkembangan otak ini hampir sempurna yaitu mencapai 80%, sehingga akan menentukan kualitas manusia di masa depan.

***

Merangkum rilis dari Kementerian Kesehatan dan BKKBN, ada 4 hal yang patut mendapat perhatian untuk mengoptimalkan 1000 HPK ini. Pertama, Pemenuhan gizi yang seimbang dan aman baik secara kuantitas maupun kualitas pada ibu hamil dan anak hingga 2 tahun. Dengan Inisiasi Menyusui Dini (IMD). ASI Eksklusif hingga usia 6 bulan hingga usia anak 2 tahun. Makanan Pendamping ASI (MPASI) sejak bayi berusia 6 bulan dapat menentukan kesehatan seumur hidup seorang anak.

Baca Juga  Dukungan Sosial Keluarga dalam Merawat Kesehatan Mental Anak

Kedua, Stimulasi kepada anak oleh orang tua dan pengasuh secara terus-menerus. Stimulasi bisa berupa stimulasi visual (merangsang penglihatan anak dengan melakukan kontak mata. Bermain dengan mainan berbagai warna), auditory (merangsang pendengaran dan bahasa anak dengan mengajaknya bicara), taktil (merangsang sensor raba seperti dengan membelai anak) dan lainnya.

Ketiga, Pola pengasuhan yang baik maka kebutuhan kesehatan dan gizi, kebutuhan kasih sayang dan kebutuhan stimulasi anak akan terpenuhi. Keempat, Perawatan kesehatan anak agar anak tumbuh dan berkembang dengan optimal, serta tercegah dari berbagai infeksi penyakit. Selain dengan yang tersebut di atas juga harus ditunjang dengan imunisasi.

***

Selain itu, dari sumber literasi lainnya menyebutkan bahwa menurut teori Bloom, perkembangan intelektual anak terjadi sangat pesat pada tahun-tahun awal kehidupan anak. Sekitar 50% kapabilitas kecerdasan manusia terjadi ketika anak berumur 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berumur 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika anak berumur sekitar 18 tahun (Keith Osborn, Burton L. White dan Beyamin S. Bloom dalam Charlesworth, 2009).

Sementara itu, di dalam penelitian psikologi, fisiologi, dan gizi juga menyodorkan temuan yang memperkuat hasil riset di atas yang menunjukkan bahwa separuh dari perkembangan kognitif anak berlangsung dalam kurun waktu antara konsepsi dan umur 4 tahun. Sekitar 30 % dalam umur 4 – 8 tahun dan sisanya yaitu 20 % berlangsung dalam umur 8 – 17 tahun. Jika dalam periode ini tidak tersedia zat gizi yang memadai, maka kapasitas otak yang terbentuk tidak maksimum dan  mengakibatkan lemahnya kecerdasan intelektual anak (Trenggonowati dan Kulsum di dalam Journal Industrial Services Vol. 4 No. 1 Oktober 2018).

Hasil riset tersebut mengisyaratkan bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Sesudah masa itu perkembangan otak anak akan mengalami stagnasi. Itulah sebabnya mengapa masa ini mereka menyebutnya dengan masa emas (golden age). Setelah lewat masa ini, berapun kapabilitas kecerdasan masing-masing individu tidak akan mengalami peningkatan lagi.

Baca Juga  Menangkal Radikalisme Melalui Keluarga
Edukasi Dini kepada Anak Terkait Kebaikan dan Keberagaman

Semenjak usia balita di keluarga kami, seorang anak akan mendapatkan pendidikan dengan afirmasi-afirmasi positif. Seperti mengenal dirinya, keluarga, teman, tetangga, dan lingkungan. Memulai hari dari berdoa sebelum melakukan kegiatan, berbicara yang sopan dan santun, menyayangi sesama makhluk Tuhan lainnya. Tidak hanya itu, setiap anak akan mendapatkan edukasi seks mengenai alat genital, perbedaan laki-laki dan perempuan,. Edukasi dini tentang kebaikan dan keberagaman kiranya memang harus terjadi di dalam lingkungan keluarga terlebih dahulu.

Ayah dan ibu menjadi contoh hidup yang akan menjadi contoh untuk anak-anaknya. Dengan pemahaman dan kemampuan yang baik dan terus terasah, orang tua akan memprogram pendidikan kepada anak-anaknya semenjak mereka melaksanakan akad nikah. Ketika sah secara agama dan hukum negara, pasangan suami-istri (pasutri) biasanya mulai mendiskusikan bagaimana agar menjadi keluarga yang Samara (Sakinah, Mawaddah, wa Rahmah) hingga pola-pola parenting yang terbaik untuk keturunannya kelak.  

***

Dengan dukungan adanya literasi yang baik, diskusi pasutri tersebut akan semakin klop di dalam implementasinya. Seharusnya orang tua menjadi role model dan memberikan edukasi bagi keturunannya, akan tetapi malah merusak masa depan anak-anaknya. Peristiwa kelam beberapa tahun lalu telah mengusik memori kita bagaimana ulah orang tua yang terpengaruh komunitasnya telah menghantar nyawa dirinya dan anak-anak, juga menimbulkan korban jiwa lainnya dan kerusakan fasilitas umum.

Sebut saja aksi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya pada tahun 2018. Aksi teroris tersebut melibatkan satu keluarga termasuk anaknya-anaknya. Bom yang mereka tempelkan pada tubuh anak yang masih kecil yang selanjutnya mereka ledakkan (BBC News Indonesia, 16/5/2018).

Menyedihkan rasanya mengenang kejadian itu. Namun, begitulah yang terjadi. Pemerintahpun telah mengendus adanya kaderisasi teroris terhadap anak-anak yang berdampak pada tindakan aksi brutal intoleransi. Menurut psikolog Densus Mabes Polri, Iptu Sidik Laskar bahwa anak sebagai pelaku teroris adalah korban karena anak bukanlah pelaku intelektual terorisme, namun hanya menjadi korban janji dan iming-iming orang dewasa.

Baca Juga  Ayah Ibu, Hati-Hati dengan Doamu

“Secara psikososial anak itu bukanlah anak yang sehat dan cukup matang dalam menerima informasi baru, sebab kinerja otak mereka sudah terdoktrin dan terpapar oleh nilai-nilai pemahaman radikal,” kata dia (Jawa Pos, 17/2/2022).

Begitulah besarnya pengaruh penanaman nilai-nilai moral yang oleh keluarga dan lingkungan kepada anak-anaknya. Didikan orang tua pulalah yang akan menentukan masa depan anak-anaknya. Dan, jangan lupakan pula lingkungan pergaulan dan pesatnya arus informasi digital yang juga dapat mempengaruhi pemikiran dan perilaku anak sehingga orang tua perlu memposisikan dirinya dengan cermat dan tepat kepada anak-anaknya.

Editor : Siti Robikah

Bagikan
Post a Comment