f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
Dunning-Kruger

Jangan Sampai Terkena Efek Dunning-Kruger!

Sofia (6 thn): “Kakak, ini kertas tulisannya apa?”(sambil melihat selembar kertas di meja belajar sang kakak sepupunya)

Kakak (18 thn, berkuliah di Dept Matematika): “Oh itu catatan sekolah Kakak, catatan matematika.”

Sophia: “Ah, masa sih ini matematika, kan tidak ada angkanya, tidak ada tanda tambah, tanda kurang, tidak ada angkanya. Kok ini dibilang tugas matematika. Bukan lah!”

Kakak: (tertawa kecil tanpa bisa membalasnya)

Kertas latihan yang dilihat oleh Sophia berupa catatan Sang Kakak yang menuliskan teori matematika yang sedang dipelajarinya. Pada saat itu, Sang Kakak sedang mempelajari teori Logika dan Himpunan. Dan menuliskannya seperti A U B atau A Ç B.

Di catatannya tersebut, memang sama sekali tidak ada tanda tambah, tanda kurang, atau angka apapun. Hal itulah yang membuat Sophia berkesimpulan bahwa itu bukanlah matematika seperti yang ia pelajari di sekolahnya.

Merasa familiar dengan tipe orang dewasa yang sikapnya seperti Sofia, keponakan saya itu? Saya iya. Berhubung Sofia masih berumur 6 tahun, kami yang mendengarnya hanya tersenyum simpul, sangat memakluminya dan tidak menilainya dengan negatif. Namanya juga anak-anak.

Namun beda halnya apabila yang bersikap seperti itu adalah orang dewasa. Ketika seseorang merasa dirinya banyak tahu, padahal nyatanya hal yang diketahuinya masih sedikit, maka ia akan mengambil kesimpulan yang salah, bahkan berani menyimpulkan sesuatu yang benar menjadi salah hanya karena kekurangan ilmu. Itulah yang dinamakan Efek Dunning-Krugger (Dunning-Kruger Effect).

Teori Dunning-Kruger Effect ini diungkapkan oleh dua orang psikolog, yaitu David Dunning dan Justin Kruger dari Cornell University, Amerika. Dunning dan Kruger menuangkan eksperimennya pada tahun 1999 dan menuliskannya di jurnal psikologi dengan judul “”Unskilled and Unaware of It: How Difficulties in Recognizing One’s Own Incompetence Lead to Inflated Self-Assessments“. Bila Anda ingin membaca lebih detail, bisa dicari di Mbah Google dengan kata kunci ‘Dunning-Kruger Effect’

Secara singkat Dunning-Kruger Effect adalah suatu tipe bias kognitif ketika seseorang memiliki keyakinan bahwa dirinya pintar dan memiliki kemampuan lebih daripada yang sebenarnya. Selain itu, orang tersebut juga memiliki kemampuan yang rendah untuk bisa mengenali kompetensi  dirinya sendiri secara realistis. Kombinasi dari minimnya tingkat pengenalan terhadap kemampuannya secara nyata, serta rendahnya  kemampuan kognitif membuat seseorang akan menilai kemampuannya sendiri terlalu tinggi, bahkan melebihi kemampuan aslinya.

Baca Juga  Dakwah dalam Perkembangan Dunia Digital

Akhir-akhir ini saya semakin sering menemui orang dewasa seperti ini. Sikapnya hampir mirip dengan keponakan saya yang berusia 6 tahun itu. Baru tahu sedikit, sudah berlagak dia tahu banyak. Baru mulai belajar, sudah bisa menyalahkan dan meremehkan orang lain yang pemikirannya berbeda dengannya. Padahal, bisa jadi orang lain yang berbeda pendapat itu juga memiliki dasar pengetahuan sendiri, hanya beda sumbernya, beda titik pandangnya.

Kita semua bisa mempunyai kecenderungan untuk bersikap demikian. Menilai kemampuan kita sendiri tinggi, padahal sebenarnya rendah. Menilai kita memiliki ilmu yang sudah mencakup banyak hal, padahal itu  tidak ubahnya seperti setetes air di luasnya samudera.

Sikap ini bisa membahayakan diri sendiri. Seseorang dengan Efek Dunning-Kruger tidak sadar bahwa ia tidak memiliki pengetahuan yang cukup terhadap suatu hal. Karenanya, ia dapat mengambil langkah dan keputusan yang salah dan berdampak besar bagi hidupnya.

Lalu, bagaimana mengatasinya?

Berfikir kritis terhadap asumsi kita sendiri

Kita pasti memiliki asumsi terhadap suatu hal berdasarkan informasi yang kita peroleh. Cobalah untuk melakukan pertanyaan kritis terhadap asumsi kita sendiri, terutama asumsi tentang kejadian sehari-hari yang bisa dinilai tidak hanya secara hitam putih.

Contoh, ada orang yang terbiasa berterus terang dalam mengungkapkan pendapat, ada yang samar-samar mengungkapkannya. Dua gaya berpendapat tadi tentulah dipengaruhi lingkungan di mana seseorang itu berkembang.

Tidak bisa kita memberi asumsi negatif terhadap salah satu gaya berpendapat tersebut. Bila kita tipe berterus terang, maka kritislah terhadap ketidaksukaan kita terhadap gaya yang samar. Bisa jadi lingkungannya yang membentuk bahwa kalau terus terang bukan merupakan sikap yang sopan.

Sebaliknya, bila kita tipe yang samar, kritislah terhadap pemahaman kita yang mengganggap bahwa gaya berterus terang itu tidak sopan. Lihatlah lawan bicara berasal dari mana, pahami bahwa lawan bicara kita bukan bermaksud tidak sopan, tapi memang tidak bisa mengungkapkannya dengan bahasa tersamarkan. Dengan saling memahami seperti itu, kita akan lebih mudah menyesuaikan diri di situasi apapun.

Baca Juga  Santri, Literasi, dan Arus Deras Media Informasi
Tidak mengambil keputusan secara terburu-buru

Sesuatu yang dikerjakan dengan terburu-buru kemungkinan besar akan menghasilkan suatu masalah baru. Sebelum kita ambil keputusan, luangkan waktu yang cukup untuk memikirkan berbagai kemungkinan dari berbagai titik pandang, sehingga keputusan yang kita ambil akan meminimalisir efek negatif.

Luangkan waktu untuk merefleksikan kemampuan atau kompetensi diri kita secara obyektif

Apa saja yang kita kuasai dan apa saja yang belum kita kuasai. Untuk mengetahui secara obyektif tentang kompetensi kita, bisa dengan cara banyak membaca, banyak mendengar, banyak menyimak dari berbagai sumber, tidak hanya dari satu sumber.

Dalam kehidupan sehari-hari yang pada dasarnya kita adalah umat beragama, sudah pasti ajaran agama tidak mengajarkan kita untuk bersikap bahwa kita adalah manusia super. Sadarlah bahwa kita tidak mungkin menguasai tentang semua hal. Memandang diri sendiri secara berlebih dan dengan meremehkan orang lain dan mudah menyalahkan pendapat orang lain yang berbeda tanpa kita cerna terlebih dahulu, tentu saja tidak sesuai dengan nilai agama.

Di Islam, sesuai dengan keyakinan yang saya anut, perintah pertama dari Allah Swt adalah perintah membaca. Bukan hanya secara harfiah membaca buku, tapi juga membaca banyak ayat-ayat Allah yang bertebaran di muka bumi dalam bentuk berbagai kejadian.

Dalam perintah membaca, ada makna bahwa kita juga harus memahami hal-hal yang tidak hanya bisa dinilai oleh indra kita secara lahiriah, karena tentu saja penilaian indra kita terbatas. Makna memahami bisa cukup mendalam, bahwa banyak hal yang kita tidak tahu karena keterbatasan kita tadi, maka bukan ranah kita untuk menilai sesuatu secara absolut, kecuali memang di agama sudah ditetapkan, ataupun bisa dibuktikan secara ilmiah.

Baca Juga  Pahami Literasi Keuangan, Agar Terhindar dari Quarter Life Crisis

Semakin banyak membaca kejadian, merenunginya, memahaminya, maka kita akan bisa menghindari dari sikap-sikap Efek Dunning-Kruger ini. Cukuplah anak yang berusia 6 tahun seperti cerita di atas itu yang menyalahkan sesuatu hal hanya karena pengetahuannya masih terbatas.

Bagikan
Comments
  • Ifat

    Bravo….keren mba Fit…topiknya bagus

    Desember 18, 2020
  • pretiprasanthi

    ya ya ya poyyy!!! 😍😍😍

    Desember 19, 2020
Post a Comment