f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kurban

Yang Perlu Diketahui tentang Fikih Kurban

Sebentar lagi umat Islam di seluruh dunia akan merayakan hari raya Iduladha atau orang Indonesia sering menyebutnya Hari Raya Kurban. Disebut demikian sebab akan ada prosesi ritual penyembelihan hewan ternak yang secara simbolik sebagai pengganti Nabi Ismail ketika hendak disembelih oleh bapaknya Nabi Ibrahim. Secara sosial tentu saja sebagai bentuk kesalehan sosial atau kepedulian untuk saling berbagi dengan orang lain.

Konsep berkurban dalam Syariat Muhammadiyyah bermula dari ayat ke-2 surat al-Kautsar “Sembahyanglah untuk tuhanmu dan berkorbanlah”. Ayat lain yang membahas adalah surat al-Hajj ayat ke-36 yang artinya “Telah kami jadikan untuk kamu unta-unta sebagian syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya“.

Berangkat dari kedua petikan ayat tersebut muncul konsep al-udhhiyyah (الأضحيّة). Al-udhhiyyah adalah penyembelihan binatang ternak pada hari raya haji (Iduladha) dan beberapa hari tasyriq (11,12,13 Dzulhijjah. Hewannya yang disembelih disebut dengan ad-dhahiyyah. Selain istilah al-Udhhiyyah juga dikenal adanya istilah adz-Dzabihah (الذبيحة) yang berarti binatang sembelihan, maksudnya binatang yang disembelih sesuai dengan tata aturan syariat Islam.

Setidaknya terdapat tiga macam at-tadzkiyyah (التذكيّة) atau penyembelihan:

Pertama, an-nahr (النحر), yaitu memotong pangkal leher binatang. Cara an-nahr inilah yang disunnahkan dalam menyembelih unta, dalam konteks ayat ke-2 surat al-Kautsar di atas. Sebab unta memiliki leher yang panjang, maka dengan menyembelih pangkal lehernya diharapkan bisa mempercepat lepasnya ruh dari jasad.

Kedua, adz-dzabh (الذبح), berarti memotong ujung leher binatang dengan syarat tertentu. Secara prinsip an-nahr dan adz-dzabh memiliki kesamaan kedudukan. Keterangannya sabda Nabi Muhammad Saw. Yaitu khabar:

أَلَا إِنَّ الذَّكَاةَ فِي الْحَلْقِ وَاللَّبَّةِ.

Ketahuilah bahwa penyembelihan itu (dilakukan)pada ujung atau pangkal leher“.

Baca Juga  Falsafah Ibadah Kurban

Hadis tersebut bersumber dari ad-Daruquthni 4/283, dan al-Bukhari secara mu’allaq dalam Kitab adz-Dzaba’ih wash Shaid Bab an-Nahru wadz Dzaba’ih dari Ibnu Abbas.

Ketiga, al-‘aqr (العقر), yaitu penyembelihan darurat, berupa melukai binatang yang dapat melepaskan nyawanya pada bagian manapun dari tubuhnya. Hendaknya dipilih yang sekiranya dapat mempercepat kematian. Biasanya dilakukan pada hewan yang sulit dikendalikan oleh pemiliknya atau ketika berburu. Riwayat tentang al-‘aqr adalah:

إِنَّ لِهَذِهِ البَهَائِمِ أَوَابِدَ كَأَوَابِدِ الوَحْشِ، فَمَا غَلَبَكُمْ مِنْهَا فَاصْنَعُوا بِهِ هَكَذَا.

Sesungguhnya diantara binatang-binatang ini ada beberapa yang binal seperti binatang-binatang liar. Maka apabila ada seekor diantara yang sulit kamu kuasai, lakukanlah seperti itu“.

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Kitab adz-Dzaba’ih was Shaid: bab at-Tasmiyyah ala adz-Dzabihah No. 5498 dan Imam Muslim dalam Kitab al-Adhahi: bab Jawazudz Dzabhi bi Kulli ma Anharad Dam No. 1968 dari Rafi’ bin Khadij Ra.

Riwayat tentang praktik al-‘aqr muncul berkenaan dengan persoalan sahabat nabi tentang adanya seekor unta yang lari ketakutan, lalu dilempar dengan anak panah hingga mati.

Bagaimana hukumnya berkurban?

Berkurban atau menyembeli hewan ternak memiliki 2 hukum:

Pertama, wajib hukumnya. Hukum wajib ini didasarkan pada nash al-Quran surat al-Kautsar ayat ke-2 dengan shighat amar. Sebab terjadinya terbagi menjadi tiga macam:

1- Sebagai denda (dam) karena melakukan haji tamattu’.

Sebagaimana diketahui bahwa haji tamattu’ adalah praktik yang mendahulukan umrah daripada ibadah haji. Dasar dari denda ini adalah ayat:

فَمَن تَمَتَّعَ بِٱلْعُمْرَةِ إِلَى ٱلْحَجِّ فَمَا ٱسْتَيْسَرَ مِنَ ٱلْهَدْىِ.

 “…Barang siapa yang melakukan umrah sebelum haji, maka dia wajib menyembelih hewan kurban yang mudah didapat (al-Baqarah: 196).

Baca Juga  Suci dan Bersih dengan Thaharah

2- Menyembelih kurban sebagai denda karena mengerjakan larangan.

Firman Allah tentang hal ini adalah surat al-Maidah ayat ke-95:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ.

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu membunuh hewan buruan, ketika kamu sedang ihram (haji atau umrah). Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan hewan ternak yang sepadan dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang adil di antara kamu sebagai hadyu yang dibawa ke Ka’bah, atau kaffarat (membayar tebusan) dengan memberi makan kepada orang-orang miskin, atau berpuasa, seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, agar dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Mahaperkasa lagi memiliki (kekuasaan untuk) menyiksa” (al-Maidah: 95).

3-Menyembelih hewan kurban karena terhalang (al-ihshar)

Praktik ini seperti tersiratkan pada surat al-Baqarah ayat ke-196 pada petikan:

وَأَتِمُّوا۟ ٱلْحَجَّ وَٱلْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا ٱسْتَيْسَرَ مِنَ ٱلْهَدْىِ ۖ

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat…” (al-Baqarah: 196).

Kedua, Mustahab / dianjurkan.

Menurut mayoritas ulama hukum mustahab berlaku pada udhiyyah, kecuali oleh madzab Hanafi dan Hambali yang memahami perintah pada surat al-Kautsar sebagai mutlaq al-amri (perintah yang mutlak).  Sedangkan hukum menyembelih hewan kurban bagi selain orang yang berhaji sebagai berikut:

Baca Juga  Tiga Sunnah dalam Kehidupan

– Pendapat pertama Kurban itu hukumnya sunnah muakkad sebagai bentuk syiar agama. oleh karena itu bagi yang mampu hendaknya mengerjakan. Keyakinan ini dipegang oleh syafi’iyyah, Hanabilah dan Syiah Imamiyah.

– Pendapat kedua, Menurut madzab Maliki dan Hanafi menyembelih kurban adalah wajib bagi setiap penghuni rumah dalam setiap tahun. dalam kitab Kifayatul Akhyar diterangkan kewajiban tersebut bagi orang yang bermukim di negara kaya sekaligus telah memiliki harta satu nisab.

Hukum sunnah dianggap lebih kuat berdasarkan:

  • Riwayat Daruquthni dari Ibnu Abbas:

كُتِبَ عَلَىَّ النَّحْرُ وَلَمْ يُكْتَبْ عَلَيْكُمْ .

“Kurban diwajibkan atasku dan tidak pada kalian…”.

  • Hadis sahih muslim dari ummu salamah

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ.

“Apakah kamu melihat bulan tsabit di bulan Dzulhijjah dan salah seorang dari kamu ingin berkurban maka hendaklah ia menahan diri agar tidak memeotong rambut dan kukunya”.

Berkurban dianjurkan bagi orang yang memiliki kelapangan rizki. Al-Mawardi menyebutkan “Penguasa boleh berkurban untuk kaum muslimin dengan mengambil harta baitul mal”. Dalam konteks hari ini boleh berkurban dengan anggaran yang dibebankan pada kas negara.

Menurut pendapat yang ashah (paling unggul) tidak boleh berkurban untuk orang yang telah mati, kecuali si mayyit telah berwasiat untuk berkorban. Bilamana mayyit telah bernadzar maka diperbolehkan berkurban atas nama mayit (Kifayat al-Akhyar, Vol. 3: 239).

Bagikan
Post a Comment