f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
orang tua itu kreatif

Kita Semua Salah Jurusan

Oleh: Brilliant Dwi Izzulhaq*

Pernah sesekali dalam kepala saya terbesit untuk pindah haluan. Banting setir dari yang dahulu anak IPA—yang entah kenapa stigma terhadapnya adalah anak rajin dan pintar—ke anak IPS. Pertimbangannya tentu rumit karena berkaitan dengan cita-cita. Jurusan IPA saat itu dianggap memiliki kelebihan dalam urusan profesi.

Mereka yang dulu katanya jurusan IPA, bisa mengambil pekerjaan orang IPS. Tapi, entah mengapa hal tersebut tidak bisa diberlakukan sebaliknya. Mereka yang menempuh disiplin ilmu dengan jurusan IPS belum tentu bisa mengambil pekerjaan orang IPA.

Sebagai salah satu dari remaja kebanyakan, saya termasuk orang yang plin-plan. Gemar mempertimbangkan, tapi mudah digoyahkan. Urusan pindah haluan menjadi anak IPS bukan kali pertama saya plin-plan dalam urusan pendidikan. Urusan memilih jurusan kuliah juga begitu.

Mimpi Buruk Masuk Kuliah

Hari itu hidung saya meler tiap ke kampus. Ber-rambut agak berantakan dengan setelan baju rapi, tas besar dan sweater lusuh. Mata saya merah dengan pandangan kosong karena menahan kantuk akibat laporan praktikum yang tiap minggu harus saya susun. Kurang lebih penampilan saya agak mirip kura-kura ninja. Tapi versi gelandangan.

Masa peralihan dari SMA ke kuliah adalah mimpi buruk tersendiri. Konsekuensi tugas yang nyata bagi saya adalah dunia baru sehingga tekanan yang timbul juga berbeda. Semasa sekolah, telat mengumpulkan tugas adalah hal yang biasa. Semasa kuliah sebenarnya juga mirip. Ia juga semacam kebiasaan. Tapi, kebiasaan mahasiswa yang mengulang dan tidak diluluskan.

Hampir selama satu semester saya habiskan untuk belajar menerima dan duduk dengan kenyataan bahwa saya adalah mahasiswa pendidikan. Perlahan-lahan saya mulai gelisah begitu tau ternyata, bukan cuman saya yang merasa gak nyaman. Saya mulai merasa terbebani dengan kuliah yang saya lakukan. Merasa bahwa otak saya gak cocok dengan ilmu keguruan. Pikir saya, “Barangkali saya salah passion”. Saya mulai khawatir dengan nilai saya ketika kebimbangan itu mulai melanda.

Baca Juga  Jangan Sampai Terkena Efek Dunning-Kruger!

Rayuan Maut untuk Menyerah

Teman saya pelan-pelan merayu supaya saya mengikuti ujian tes masuk kampus lagi. Namun kali ini, dengan jurusan yang lain.

Dialog-dialog aneh kadang sering muncul ditengah kebimbangan itu. Ada kata hati yang meminta supaya bertahan, ada kata hati lain yang mesuhi saya kalok pindah jurusan.

“Apa aku pindah jurusan saja ya? Hubungan internasional, mungkin.” kata saya dalam hati.

“Lho, bukannya mau mu sendiri kuliah pendidikan? Kok tetiba pingin pindah jurusan? Kamu sudah bukan anak-anak lho, Yan. Lagi pula jurusan itu gak cocok buat kamu. Terlalu bagus.” Jawab sisi lain hati saya.

“Ya, tapi memangnya salah? Wong aku ini kan juga kamu. Kok kamu gak percaya sama diri sendiri?!” ujar saya tegas.

“Ya, tapi kan kamu itu juga adalah aku. Jadi aku tanya balik. Kenapa kok kamu gak percaya sama aku, yang juga dirimu sendiri?” Percakapan saya dengan sisi lain hati saya mulai keruh. Ini tanda bahwa saya  harus segera tidur. Ini juga pertanda bahwa saya sudah semakin aneh. Untunglah hari itu saya gak berubah pikiran dan tetap percaya diri kuliah pendidikan. Kalau saya hari itu memutuskan pindah jurusan—anggap saja ke jurusan hubungan internasional—barangkali tulisan ini tidak akan pernah anda baca.

Keseimbangan adalah Proses

Perlahan saya mulai menyadari bahwa kebimbangan adalah proses yang biasa. Normalnya, itu terjadi ketika kita sudah berhadapan pada situasi yang minim harapan. Letih. Penuh Kekosongan. Kebimbangan hadir ketika kita mulai tergiur dengan sesuatu yang padahal belum tentu baik untuk kita.

Balik ke persoalan pindah jurusan, entah mengapa mengingat hal itu saya jadi cekikikan sendiri. Pasalnya pindah jurusan, hari itu cuman jadi dalih bahwa saya nyatanya kelelahan. Saya terus mencari-cari cara—baik rasional maupun tidak—agar saya tak lagi kelelahan. Begitu cara psikologis kita bekerja. Kita sering menjadikan pihak lain sebagai kambing hitam untuk melakukan sesuatu yang kita inginkan ketika sudah lesu dan kehabisan cara.

Baca Juga  Pendidikan Menurut Plato

Terlepas dari itu, menurut saya jurusan apapun pada akhirnya tidak begitu menentukan. Memang betul bahwa dalam dunia profesi, spesialisasi itu penting. Kita tidak bisa mengandalkan montir untuk melakukan operasi usus buntu. Tapi tentu bukan mereka yang menentukan bagaimana dunia berlangsung setelahnya.

Harus kita ingat bahwa dunia tetap butuh profesi dengan spesialisasi, tapi diluar itu, tidak penting kita dibentuk lewat mana. IPA atau IPS. Pendidikan kimia atau hubungan internasional. Sekolah negeri atau swasta, dan lain sebagainya.

Masa Depan Tak Ditentukan Jurusan Pendidikan yang Dipilih

Mark Zuckerberg bisa mendirikan Facebook tanpa menjadi handal dalam IT. Manajemen rumah sakit besar tak lagi dipegang oleh dokter, tapi oleh ekonom. Dan perlu kita ingat bahwa Pak Jokowi bisa jadi presiden, padahal berkuliah di jurusan kehutanan. Mereka yang bisa membangun dan mengubah negara adalah negarawan. Tidak peduli ia pernah jadi pengusaha meubel, pedagang, atau bahkan pemain film. Begitu pun dengan industri yang lain. Mereka yang bisa membangun bisnis bukan manajer, tapi enterpeneur, karena manajer itu teknisi sedangkan enterpreneur adalah core ideanya.

Pada akhirnya, yang menentukan kita dimasa depan gak melulu jurusan semasa kuliah atau SMA. Tapi kedewasaan, kecakapan, kemapanan, dan kematangan intelektual kita.

Dengan penjabaran panjang lebar barusan, maka artinya tentu pindah jurusan itu persoalan penting dan tidak penting. Penting karena kita tetap butuh profesi dengan spesialisasi, dan tidak penting karena wong pada kenyataannya, kita semua pasti salah jurusan. Karena dengan logika yang sama seperti penjabaran saya sebelumnya, ini artinya kuliah pendidikan belum tentu jadi guru.

Kuliah ilmu kebidanan belum tentu jadi bidan. Kuliah hubungan internasional belum tentu jadi diplomat. Yang terpenting adalah bukan IPA atau IPSnya. Fakultas pendidikan atau tidaknya. Tapi, kematangan personal—kecakapan keterampilan, dan kedewasaan intelektual—kita. (s)

Bagikan
Post a Comment