f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
minat bakat

Suami : Sumber Stress di Masa Kehamilan ?

Oleh : Lya Fahmi*

Bulan September 2012, aku menyusul Pak Luqman ke Kalimantan Tengah. Itu pertama kalinya kami tinggal bareng setelah setahun menikah. Iya, sebelumnya kami LDR-an setahun lamanya.

Sebelum sampai di Kalimantan, kami berdua sudah bersepakat bahwa inilah saatnya untuk memiliki anak. Saat itu, sudah 6 bulan lebih aku lepas dari obat (obat yang sama dengan yang aku konsumsi sekarang). Secara teori, sudah aman bagi janin apa bila ia hadir di tubuhku.

Kehamilan Pertama yang Diinginkan

Tak menunggu lama, aku hamil pada bulan itu juga. Apakah ini kehamilan yang diinginkan? Tentu saja, kan sudah direncanakan juga. Apakah aku bahagia? Ya, pada awalnya. Dan, menjadi tidak bahagia pada hari-hari berikutnya.

Awal-awal kehamilan, aku mengalami hiperemesis. Ini kondisi yang lazim dialami oleh para ibu hamil. Lazim bukan berarti rasanya biasa aja, ya. Rasanya sangat berat. Pusing, mual, dan muntah setiap hari. Lemes, gengs.

Aku mengalami perubahan emosi yang drastis. Ucapan dan perilaku senetral apa pun dari Pak Luqman bisa kumaknai secara negatif, apalagi yang jelas-jelas kami bertengkar. Selama masa kehamilan itu berkali-kali aku berpikir, “Kok aku kawin dengan orang kayak gini, sih?”

Selain persoalan fisik dan emosi, aku juga menghadapi persoalan sosial. Aku hamil pertama di negeri orang, sesaat setelah menapakkan kaki di sana. Tak ada kenalan, tak ada kerabat, dan tak ada keluarga. Meski para tetangga begitu baik, namun tetaplah segalanya serba asing. Aku merasa sendirian dan kesepian. Ini membuatku merasa menjalani kehamilan tanpa support lingkungan.

Tiga Tugas Kehamilanku

Jika kupetakan sekarang, ada tiga masalah yang kuhadapi pada saat kehamilan pertama. Eh, bukan masalah, tapi lebih tepat disebut dengan “tugas.”

Baca Juga  Keinginanku Menikah Tanpa Anak dan Kehamilan yang Diinginkan

Pertama, tugas untuk beradaptasi dengan kondisi tubuhku yang hamil. Beradaptasi dengan berbagai perubahan fisik dan emosi yang diakibatkan oleh kehamilan.

Kedua, tugas untuk beradaptasi dengan kehidupan baru sebagai pasangan. Itu pertama kali kami tinggal bersama, sudah tentu terjadi banyak penyesuaian. Proses penyesuaian itu tidak mudah, dihiasi dengan banyak pertengkaran.

Ketiga, tugas untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Site perkebunan di hutan kalimantan jelas berbeda dengan kehidupanku sebelumnya yang setiap hari membelah padatnya Jalan Kaliurang. Perubahan yang signifikan membuatku tertekan.

Ketiga tugas di atas sebenarnya adalah hal yang wajar dan bagian dari proses kehidupan. Tapi, ketika ia harus diselesaikan dalam waktu yang bersamaan, babak belur juga jiwa dan raga ini.

Sudah berat dengan ketiga tugas itu, aku masih ketambahan satu persoalan. Pada bulan kedua kehamilan, aku harus menghadapi kenyataan bahwa kulitku kembali ditumbuhi ruam-ruam merah dan bernanah. Penyakitku kambuh. Aku kecewa luar biasa. Masak iya aku baru aja sembuh udah harus kambuh lagi?

Aku belum pernah kambuh parah tanpa didampingi ibu. Ini membuatku mau tak mau juga harus beradaptasi dengan bagaimana menghadapi kekambuhan tanpa sosok signifikan yang selama ini membantu. Memang ada suami, tapi dia bingung mau ngapain. Ada juga tetangga yang datang, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Sakit sendirian itu rasanya sedih luar biasa.

Semakin tua usia kehamilan, psoriasis yang kualami semakin parah. Pada bulan kelima, aku akhirnya dievakuasi ke Jogja. Fasilitas kesehatan di Pangkalan Bun tak memadai untuk menangani ibu hamil dengan psoriasis. Setibanya di Jogja, aku dilarikan ke RS Sardjito dan diputuskan dokter untuk rawat inap.

Tak Selamanya Pengalaman Hamil itu Menyenangkan

Aku tak bisa mengatakan pengalaman hamil adalah pengalaman yang menyenangkan. Terus terang saja, pengalaman hamil pertama yang penuh tekanan itu membuatku mengasosiasikan kehamilan dengan penderitaan. Hamil sama dengan menderita. Iya, seekstrim itu.

Baca Juga  Sebelum Menikah, Yakinkan Diri Anda pada Hal-Hal Ini

Aku bukan satu-satunya perempuan yang memandang kehamilan sebagai suatu kejadian yang traumatis. Dalam statusku yang sebelumnya, ada banyak ibu-ibu lain yang berbagi pengalaman hamilnya. Sebagian besar dari ibu-ibu itu bercerita tentang betapa beratnya pengalaman hamil yang pernah mereka jalani. Beberapa orang bahkan menyebut trauma untuk hamil lagi.

Apakah ibu-ibu yang berkeluh kesah begitu aneh? Tidak, sama sekali tidak.

Yang aneh adalah bapak-bapak yang tak mau mengakui dan memahami pengalaman subjektif ibu-ibu dengan mengandung dan melahirkan. Yang aneh adalah bapak-bapak yang menganggap kehamilan sebagai hal sepele dan hanya perlu dilalui begitu saja. Yang aneh adalah bapak-bapak yang buta dengan peran dan fungsinya selama istri menjalani kehamilan. Yang aneh adalah bapak-bapak yang tak berempati pada guncangan psikologis isteri ktika kehamilan terjadi tanpa direncanakan.

Faktanya, bagi sebagian besar ibu, menjalani kehamilan memang begitu berat. Alih-alih mempertanyakan sikap ibu-ibu yang berkeluh kesah tentang kehamilannya, lebih baik tanyakan pada diri sendiri, support apa yang sudah diberikan saat istri menjalani kehamilan?

Oh ya, satu lagi yang paling penting. Wahai bapak-bapak, sudahkah Anda yakin tidak menjadi sumber stress bagi isteri Anda yang sedang hamil??? #Covid19diaries #psikologdipuskesmas

*) Lya Fahmi; penulis, psikolog, dan influencer

Bagikan
Post a Comment