f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
membaca

Membaca Pangkal Kebodohan

Dalam satu percakapan di LIPI (sekarang Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN), seorang teman memberikan masukan kepada saya. “Mas Yudi, aku lihat tulisanmu sudah kuat secara data, tapi sangat lemah untuk persoalan teori dan perspektif”, ujarnya. Ia memberikan masukan itu pada tahun 2012. Alih-alih membantah dan marah, saya hanya diam dan kemudian mengangguk tanda setuju. Saya kemudian menguatkan bahasa tubuh saya tersebut dengan mengatakan, “Terima kasih masukannya ya. Ini saya akan pegang”. Setelah percakapan tersebut, saya berusaha keras untuk terus membaca, membaca, dan membaca. Prosesnya saya lakukan hingga saat ini

Harus diakui, kebanyakan teori-teori ilmu sosial terbaru itu kebanyakan berbahasa Inggris. Terkait dengan membaca Bahasa Asing tersebut, jangan dibayangkan saya lancar dan kemudian mengerti untuk membacanya. Karena sejak kecil tidak terpapar dengan Bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari, kemampuan merupakan satu hal yang asing untuk saya. Ini berakibat kepada ketidakmampuan saya dalam membaca teks Inggris. Ketidakmampuan ini terlihat dengan jelas saat saya kuliah di S1.

Karena ingin bisa membaca Bahasa Inggris, saya memberanikan diri untuk ke Perpustakan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga saat itu. Saya mencoba membaca buku teks berbahasa Inggris dengan dibantu oleh kamus. Satu persatu saya mencari kosa kata asing tersebut untuk mengetahui daftar isi dalam buku tersebut. Setidaknya, saya membutuhkan waktu setengah hari untuk mengetahui arti dalam daftar isi tersebut. Bolak-balik dengan melihat kamus, saya merasakan betul betapa tidak enaknya menjadi orang bodoh yang tidak bisa berbahasa Inggris. Meskipun demikian, saya tahu bahwasanya saya tidak bisa mengutuki masa lalu, khususnya hasil dari proses pendidikan orangtua saya.  Ini karena, setiap orang memiliki jalan kehidupan dan proses pendidikan yang berbeda.

Baca Juga  Berawal dari Membaca Cerita Sederhana

Layaknya orang belajar dengan sungguh-sungguh, semakin saya berusaha untukt terus membuka kamus, semakin sering pula saya tahu kosa kata yang cukup asing yang saya dapatkan. Semakin kemari, saya semakin mengerti sejumlah kosa kata asing. Kehadiran kamus online mempermudah aktivitas saya untuk melihat kosa kata sulit yang tidak memerlukan membuka buku kamus kembali. Saat memegang telepon genggam, saya bisa mengecek langsung ketika ingin tahu kosa kata sulit saat membaca buku. Kebiasaan melihat kamus ini ternyata sangat berguna. Setidaknya, saya jadi tahu sejumlah perbendarahaan kata yang digunakan dengan macam variasinya. Saya jadi mulai mengerti bagaimana menggunakan satu kata dalam kalimat tertentu agar terlihat lebih pas.

Dengan begitu, target memaksakan diri untuk membaca buku, bagian buku, artikel jurnal, ataupun opini setiap hari pun saya tingkatkan. Sebelumnya, saya bisa memberikan target untuk diri sendiri membaca satu artikel jurnal dalam satu hari. Jika sedang membikin makalah, saya menargetkan diri untuk membaca 50 halaman perhari. Namun, karena ada tiga aktivitas yang berjalan seiring terkait dengan kerja kepenulisan, saya menaikkan level kemampuan untuk membaca perhari, dari 50 halaman menjadi 200 halaman. Alasan sederhana, selain membaca sebagai tuntutan diri saya sebagai seorang santri untuk belajar ilmu sosial, saya sedang mengerjakan makalah yang sedang proses revisi. Selain itu, membaca juga bagian dari hobi.

Dengan meningkatkan durasi waktu membaca yang ditandai dengan halaman bacaan, ada banyak gizi pengetahuan yang dapatkan sekaligus juga perspektif. Meskipun demikian, efeknya, jika tidak hati-hati, saya bisa jatuh sakit. Saya pernah beberapa hari terkena  MENWA (Mencret Wae) selama beberapa hari. Saya tidak tahu penyebabnya apa.  Karena kondisi itu, durasi dan target halaman membaca pun saya kurangi setengahnya setiap hari menjadi 100 halaman. Target ini yang saya kira realistis di tengah membantu anak-anak belajar dari rumah. Meskipun harus diakui, target 100 halaman yang realistis itu tidak cukup sebenarnya di tengah kemunculan artikel jurnal baru yang memberikan pembaharuan perspektif dan buku baru dengan gagasan yang segar sekaligus book chapter baru yang membuat saya merenung.

Baca Juga  Menulislah!

Ya, setiap hari saya mengecek sejumlah jurnal artikel jurnal, terbitan buku, sekaligus juga situs-situs yang relevan dengan isu saya di bidang ilmu sosial dan humaniora. Setiap mengetahui itu, hati saya jadi ciut, merasa apa yang saya pikirkan sudah ditulis oleh orang lain. Ya, membaca adalah pekerjaan menjemukan dan sangat melelahkan. Semua orang sadar akan hal ini. Namun, ini satu-satunya cara untuk mengucapkan kebodohan diri terus-menerus ketika melihat sebuah tulisan yang sangat bagus, sambil mengutuk dan mempertanyakan diri, “Ya Allah, ini kok orang nulisnya jadi keren gini? Gimana caranya ya kok dia bisa menulis seperti ini? Anjay, yang gue pikirin udah ditulis”.

Respon itu bagian dari bentuk sadar diri bahwasanya kebodohan diri itu justru tidak kita temukaan saat kita bicara, apalagi menulis, tapi saat kita membaca karya-karya orang lain. Saya percaya pernyataan baru bahwasanya membaca tidak membuat seseorang pintar. Sebaliknya membaca adalah bagian dari pangkal kebodohan! Semakin banyak membaca, semakin orang itu akan semakin mengetahui tingkat kebodohannya. Pangkal kebodohan ini yang dialami oleh Bill Gates, di mana dalam sebulan ia menyisihkan waktu untuk menyepi di pinggiran danau dengan membaca buku-buku yang relevan untuk dirinya. Ini level Bill Gates yang sudah kaya melintir bin tajir, bagaimana saya yang kelas prekariat?.

Bagikan
Post a Comment