f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
tiktok

TikTok dan Ketakutan Masyarakat Terdidik

Aplikasi TikTok sudah mulai merambah sejak tahun 2016 lalu. Diawali dengan artis TikTok, Bowo Alpenliebe. Dirinya mengunggah video joget di depan kamera disertai dengan musik yang mengiringi. Aksinya tersebut mendapatkan respon yang negatif dari netizen Indonesia. Hujatan yang menyatakan dia alay, tidak berpendidikan dan lain sebagainya menempel di dirinya.

Lalu artis Marshanda yang diduga memiliki dua kepribadian. Marshanda juga sempat mengunggah video dirinya joget dan dituduh bahwa memiliki dua kepribadian adalah aib yang perlu disembunyikan.

Kegandrungan akan aplikasi ini diperkuat dengan data yang diluncurkan dari sensortower yang dipublikasikan katadata.co.id menyatakan aplikasi TikTok semakin merajai dengan jumlah pengunduh 614 juta unduhan per November 2019. Jumlah tersebut lebih tinggi 6% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Hanya dalam waktu 4 tahun kurang, TikTok sudah dapat menggaet banyak pengguna baru. Fenomena awal berkembangnya TikTok ini memang dinilai oleh sebagian orang sebagai aplikasi yang mengandung konotasi negatif. Berbagai ungkapan negatif melekat pada aplikasi ini. Seiring berjalannya waktu, tanpa disadari banyak orang yang kemudian mendiskreditkan aplikasi tersebut hanya dengan melihat luarnya saja.

Konotasi Kaum Terdidik pada TikTok

Penulis beberapa kali berinteraksi dengan sejawat, teman yang memiliki latar belakang pendidikan bagus bahkan menjadi seorang pengajar hingga saat ini. Ketika didengarkan kata TikTok, maka yang dibenaknya adalah seluruh konotasi negatif yang disematkan oleh orang lain pada aplikasi tersebut. “Astagfirullah itu mah aplikasi yang bikin lalai” begitu kira-kira salah satu tanggapannya.

Setelah ditelusuri secara langsung, penilaian tersebut perlu ditinjau ulang. Berbagai informasi juga menyebar dengan bebas melalui aplikasi tersebut dikemas dengan lagu dan efek yang menarik. Mulai dari informasi memasak, tips & trick, nasehat keagamaan, review film, bahkan menjelaskan tentang sejarah negara atau semacamnya.

Baca Juga  Pendidikan Cinta Ala Finlandia: Refleksi atas Buku Sistem Pendidikan Finlandia Karya Ratih D. Adiputri
Bukan Aplikasi tapi Penggunanya Harus Cerdas

Jika dilihat secara langsung maka akan didapatkan bahwa aplikasi ini bukan aplikasi negatif. Banyak hal baru yang bisa didapatkan dengan aplikasi tersebut. Keunikan dari aplikasi itu sendiri ternyata membawa keuntungan bagi influencer. Beberapa brand sengaja meng-endorse influencer melalui akun TikTok nya untuk mempromosikan produk terbarunya.

Dengan berkembang pesatnya hal itu, TikTok seakan-akan menarik seluruh masyarakat untuk mengikuti arus yang dibuatnya. Dilansir oleh katadata.co.id, TikTok meraup keuntungan pada kuartal keempat 2019 diangka 700 miliar. Pendapatan ini naik 310% dibandingkan periode sebelumnya di tahun 2018.

Data ini menunjukkan peningkatan yang sangat fantastis karena kenaikan pengguna yang juga semakin tajam. Seperti contoh, dalam suatu video memasak, merk alat masaknya akan ditunjukkan sebagai salah satu bukti bahwa yang memasak sedang dalam masa kontrak dengan mitra berbayar.

Akun TikTok yang menyebarkan konten positif dan juga mengedukasi juga berseliweran. Sebagai contoh, akun yang isinya tentang konsultasi karir yaitu Eza Hazami dengan nama akun @Ezash. Di akunnya Ia dengan sukarela menyampaikan beberapa tips dan trick bagaimana melalui interview kerja.

Dalam  dunia investasi ada Felicia Putri Tjiasaka (@feliciaputritjiasaka) memberikan banyak pengertian serta penjelasan bagaimana mengelola keuangan melalui metode investasi. Serta beberapa akun lainnya, Niaghania (@niaghania) dengan 832K pengikut  yang menjelaskan tentang self development, Bu Yo (@yova.beltz) dengan 353,2K pengikut yang memberikan konten tentang dunia karir.

Guna memberikan apresiasi pada kreator-kreatornya, TikTok mengadakan malam penganugerahan bagi kategori-kategori yang telah ditentukan. Hal ini menandakan bahwa aplikasi tersebut semakin serius untuk mengatasi isu akan negatifnya akun TikTok itu.

Ketakutan Kaum Terdidik

Ketakutan kaum terdidik akan melesatnya informasi ini tidak bisa dielakkan. Bahkan pemerintah pada 2018 sempat memblokir aplikasi ini lantaran diduga dapat menggangu perkembangan anak. Pemerintah menyatakan bahwa TikTok aplikasi yang penuh dengan konten negatif, jika ditilik lebih dalam hal itu tidak benar adanya karena masih banyak konten positif lainnya yang bisa diakses.

Baca Juga  Ketika Pandemi, Benarkah Guru Memakan Gaji Buta?

Dalam algoritma sosial media, beranda di aplikasi tersebut akan mengikuti trend pencarian penggunanya. Jika yang sering dibuka atau dicari adalah tentang tips memasak, maka akan muncul juga di berandanya banyak tips memasak. Dengan begitu, yang menjadi pertanyaan adalah bukan tools yang disalahkan hingga di blokir. Tapi justru penggunanya yang perlu diedukasi supaya mau menjadi pengguna yang cerdas.

Meskipun hanya memblokir sementara, namun kebijakan memblokir TikTok ini semakin menunjukkan kurangnya kemampuan pemerintah untuk mempengaruhi masyarakat berperilaku cerdas.

Selain itu, bahkan sampai tahun 2021, masih adanya kelompok masyarakat yang mengajukan petisi untuk memblokir TikTok. Paparan bahwa adanya indikasi propaganda politik dan sebagainya menjadi alasan pengajuan petisi tersebut. Hal ini semakin menunjukkan bahwa masyarakat dan juga pengambil kebijakan belum bisa memanfaatkan apa yang ada untuk kebaikan masyarakat secara umum.

Pemerintah sebagai pemangku kebijakan dan juga memiliki akses dalam mengatur sosial media yang ada di Indonesia bisa memberikan banyak edukasi bagaimana membuat konten yang baik. Kampanye semacam ini pantas untuk digalakan dengan masif hingga tataran akar rumput terdukasi dengan baik.

Pemerintah bisa bekerjasama dengan konten kreator ternama untuk saling mengajak masyarakat lainnya membuat konten edukatif atau paling tidak informatif. Bukan hanya berisi prank atau tipuan-tipuan saja.

Jika berbicara tentang konten negatif, hal itu juga terdapat di Instagram, twitter, facebook dan aplikasi lainnya. Maka tools buka menjadi hal yang bisa dipersalahkan jika pengguna social media tersebut tidak cukup cerdas untuk menggunakannya. Bukankah mengedukasi masyarakat Indonesia untuk bertindak cerdas dalam bersosial media  juga sebuah prioritas?

Bagikan
Post a Comment