f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
alam dan perempuan

Alam dan Perempuan yang Dianggap Lemah

Pada awal bulan Juni ini tepatnya pada tanggal 5 Juni lalu kita baru saja sama-sama memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Ini sebenarnya merupakan momen yang dirasa tepat untuk mengembalikan kesadaran setiap orang agar tidak luput perhatiannya terhadap alam. Alam yang merupakan sebuah kesatuan ekosistem amat sangatlah berarti bagi kehidupan manusia. Walaupun kita sedang berada pada era industri dan post-modern di mana segala sesuatu serba teknologi; namun keberadaan alam di sekitar kita tak kan pernah menjadi sesuatu yang tak dibutuhkan oleh manusia.

Istilah-istilah seperti reboisasi, reforest, rewilding, sustainability, merupakan beberapa kata yang merujuk pada keberlangsungan lingkungan hidup. Latar belakang di balik istilah-istilah tersebut tentunya selain daripada bentuk sikap yang semestinya dilakukan oleh manusia; namun juga akibat dari ulah manusia itu sendiri yang kian tak mempedulikan perihal lingkungan hidup. Padahal mereka sadar kehadiran alam di sekitarnya sangatlah penting dan juga memberikan wisdom (hikmah) tersirat bagi kehidupan.

Alam, sebagai wujud yang senantiasa memberikan kebermanfaatannya pada manusia tanpa pamrih serta bisa sewaktu-waktu menyebabkan bencana, disebut sama halnya dengan seorang Ibu yang senantiasa memberikan segalanya pada anak-anaknya namun sesekali bisa murka. Maka kemudian muncullah istilah “Ibu Bumi” yang menjadi metafora istilah untuk menggantikan alam. Seperti contohnya Deklarasi Hak Ibu Bumi yang dinyatakan di Colombia pada 2010, munculnya beberapa organisasi non-pemerintah yang mengampanyekan kesadaran lingkungan dengan imbuhan “Ibu Bumi”, dan juga metafora Ibu Bumi yang di Indonesia dikenal dengan istilah “Ibu Pertiwi”.

Dualisme Hierarkis yang Menindas Alam dan Perempuan

Mungkin secara sekilas metafora Ibu Bumi sebagai suatu hal yang menyamakan alam dengan perempuan; seorang ibu, seharusnya menjadi faktor yang semakin membuat manusia sadar akan pentingnya menjaga serta menyayangi alam–sebagaimana sikap kita terhadap seorang Ibu. Namun, itu berbanding terbalik dalam budaya patriarki. Karena feminisasi alam dalam budaya patriarki mengandaikan alam harus tunduk kepada kehendak manusia sebagai penguasa; sebagaimana perempuan harus tunduk pada kepada kehendak laki-laki.

Baca Juga  Menyoal Pembangunan di Indonesia

Patriarki di sini menurut Janis Birkeland memisahkan budaya maskulin yang terdapat pada laki-laki (yang kuat) dari alam yang feminim yang terdapat pada perempuan yang lemah. Menurutnya, sejarah mengenai hubungan antara perempuan, alam dan bumi menunjukkan bahwa ketiganya diidentifkasi sebagai feminim sehingga keberadaannya dipandang sebagai instrumen guna melengkapi kebutuhan manusia, dalam hal ini laki-laki. Dan sifat feminim yang dianggap oleh laki-laki sebagai suatu hal yang lemah tersebut dipandang sebagai sesuatu yang berhak dikuasai.

Sejalan dengan pandagan Janis Birkeland, Val Plumwood dalam lensa kacamatanya pun memandang budaya Barat terpecah dalam struktur hierarkis; Perempuan-Laki laki, Alam-Kebudayaan, Dikuasai-Menguasai, Emosi/Erotis-Akal.

Kemunculan dualisme hierarkis di atas secara ringkas menunjukkan bahwa terdapat pihak yang menguasai dan dikuasai. Greta Gaard (seorang ekofeminis) melihat hal tersebut sebagai suatu bahaya. Karena menurutnya, jika itu dibiarkan dalam jangka waktu yang tak sebentar; maka dampak yang akan terlihat adalah ekologi yang rusak dan perempuan yang semakin menderita. Feminisasi alam pun kemudian menjadi sebuah permasalahan karena membuat kekeliruan manusia khususnya laki-laki dalam mengenali perbedaan dengan orang lain.

Kajian Karen J. Warren memperlihatkan cara berpikir patriarki yang hierarkis, dualistik, dan berdasarkan logika dominasi telah merugikan alam dan perempuan. Karenanya “perempuan dialamkan”, dan “alam diperempuankan”.

Contoh dari perempuan yang telah dialamkan adalah adanya istilah-istilah seperti “lingkungan diperkosa”, “hutan perawan”, dan “Ibu Bumi”. Sedangkan contoh dari perempuan yang dialamkan seperti istilah “bitch” yang dalam bahasa Inggris berarti anjing betina maupun perempuan pekerja seksual; istilah “ayam kampus”, atau “jinak-jinak merpati” yang merujuk pada perempuan yang tampak tenang namun sesungguhnya liar.

Hal yang diutarakan di atas memang nampak sebagai sesuatu yang biasa saja, namun jika ditilik kembali muncul anggapan bahwa feminisasi alam ataupun perempuan yang dialamkan dapat menjadi klaim bahwa perempuan, melalui analogi, menjadi satu kategori dengan alam sebagai pihak yang dapat dikuasai. Sederhananya apa yang boleh dilakukan pada alam, boleh juga dilakukan terhadap perempuan.

Baca Juga  Spirit Agama di Masa Adaptasi Pandemi
Ekofeminisme: Dekonstruksi atas Budaya Patriarki

Terlepas daripada realitas sosial yang khususnya dalam budaya patriarki menganggap alam dan perempuan sebagai pihak yang dapat seenaknya dikuasai dan dieksploitasi; muncullah kritik dari salah satu pemikiran dan gerakan bernama “Ekofeminisme”. Sebuah aliran pemikiran dan gerakan feminisme yang menunjukkan hubungan antara semua bentuk penindasan manusia, khususnya perempuan, dan alam dengan menghubungkan masalah ekologi dengan perempuan.

Pada mulanya ekofeminisme diperkenalkan ke permukaan oleh Francoide d’Eaubonne melalui buku Le Feminisme ou la Mart, (1974). Yang mana dalam bukunya tersebut dikemukakan bahwa ada hubungan antara penindasan yang dilakukan terhadap perempuan dan alam. Setelah sepuluh tahun berikutnya istilah ekofeminisme yang diperkenalkan d’Eaubonne dipopulerkan oleh Karen J. Warren melalui tulisannya yang berjudul Feminis and Ecology.

Sebagai bagian dari aliran pemikiran dan gerakan feminisme, maka ekofeminisme seperti halnya feminisme yang pada dasarnya hadir untuk melakukan dekonstruksi terhadap pemikiran dan gerakan sebelumnya yang bersifat patriarkis. Namun, berbeda dengan aliran feminisme pada umumnya, ekofeminisme menawarkan konsep yang paling luas dan paling menuntut atas hubungan diri (manusia) dengan yang lain (binatang, tumbuhan).

Walau pemikirannya bermuara di prancis, ekofeminisme nyatanya lebih berkembang di Amerika Serikat dan juga India. Sebagai contoh kita akan sedikit melirik jejak-jejak ekofeminisme di India yang muncul pada tahun 1974.

Pada tahun tersebut terdapat gerakan yang dilakukan oleh dua puluh tujuh perempuan yang melakukan aksi memeluk pohon untuk menghentikan aksi penebangan hutan di India Utara. Gerakan ini dimaksudkan sebagai bentuk protes terhadap otoritas setempat dan merupakan gerakan melawan patriarki kapitalis yang berniat menghancurkan hutan dan mengubah tempat tersebut menjadi bernilai jual lebih tinggi dibanding hutan itu sendiri.

Baca Juga  Ziauddin Sardar: Hirarki Kesadaran dan Etika Pelestarian Alam dalam Islam

Bentuk gerakan penolakan yang dilakukan oleh kaum perempuan tersebut bukanlah tanpa sebab, karena bagi perempuan-perempuan ini hutan tersebut sangat terikat erat dengan ekonomi desa. Maka dengan penggusuran atau pembabatan hutan tersebut, sama saja dengan mengurung dan menggusur hak-hak perempuan di daerah tersebut. Tokoh di balik gerakan tersebut ialah Vandana Shiva, yang juga salah satu tokoh yang mempunyai pengaruh besar dalam ekofeminisme di India.

Dari sini secara garis besar, ekofeminisme sebagai aliran pemikiran dan gerakan mengidealkan adanya sikap dan tindakan manusia yang memberikan perhatian secara khusus pada alam dan perempuan. Alam, seperti halnya perempuan, bukanlah benda mati ataupun objek yang dapat dieksploitasi dan didominasi sekehendak hati. Oleh karenanya, dalam hal berinteraksi dengan alam dan perempuan kita harus bisa menjaga harmonisasi, dan tidak menganggapnya inferior dan subordinatif.

Referensi:

Ponda, Aurora. 2021. Ekofeminisme: Budaya Patriarki dan Sejarah Feminisasi Alam. Yogyakarta: Cantrik Pustaka.

Bagikan
Post a Comment