f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kesalehan digital

Perempuan, Hijrah dan Kesalehan Digital

Kesalehan digital sering kita temui pada beragam aktivitas media sosial. Menampilkan kesalehan digital bagi orang yang baru hijrah boleh saja. Akan tetapi perlu ada orang yang merangkul serta membimbing mereka agar amalannya tidak terhenti sebatas kasat mata saja. Buang jauh-jauh anggapan setelah berpenampilan baik, kemudian dengan mudah mengklaim sepihak bahwa dirinya sudah utuh mengikuti sunah Nabi. Selain lewat penampilan, bentuk kesalehan digital juga kadang diukur dari rutinitas kesehariannya, seperti penggunaan siwak, kemudian tidak setuju dengan praktik riba pada bank konvensional hingga berujung pada anti demokratic government.

Fenomena di Twitter

Kesalehan digital tidak selamanya negatif. Terlepas bagaimana kita menyikapinya, ada beberapa fenomena kesalehan digital. Misalnya soal fashion, pernah beredar suatu cuitan di twitter berupa gambar berisi pesan ajakan hijrah. Secara pragmatis menyebutkan kesalehan perempuan hanya dari segi penggunaan hijabnya saja. Uniknya, gambar tersebut terdapat caption dengan pertanyaan, “Sekarang sudah sampai proses nomor berapa?” Pada gambar itu tampak nomor satu belum memakai hijab, kemudian nomor dua pakai hijab tapi belum sempurna, lalu nomor tiga sudah pakai tetapi masih kelihatan pundaknya, nomor empat sudah mulai tertutup namun masih ada saja yang kurang, hingga nomor lima tertutup semua. Postingan itu seolah membangun konstruksi pemikiran pada perempuan bahwa standarisasi hijablah yang menjadi satu-satunya tolok ukur tingkat kesalehan perempuan.

Ketika hendak mengutarakan pendapat di media sosial yang perlu menjadi catatan adalah bagaimana sebisa mungkin memitigasi penyakit hati, seperti: riya’, sum’ah, dan ‘ujub. Hal semacam ini menjadi tantangan kita saat menuju saleh ataupun ketika terjun di dunia digital. Lima level kesalehahan perempuan tadi mengisyaratkan, bahwa semakin tinggi angkanya semakin tinggi pula kesempurnaan dalam hijrahnya. Tanggapan netizen pun beragam, tidak sedikit juga yang kritis dengan konten ini. Sebetulnya percakapan hijrah sudah cukup cair, tidak dimonopoli oleh satu kelompok saja; akan tetapi terkadang diperpanjang dengan orang yang ‘baru’ hijrah kemudian karena saking semangatnya mereka alhasil dihajar langsung oleh pihak kontra dengan cara mengkritik. Artinya, selain harus ada konsistensi, orang yang baru hijrah perlu ada approach atau pendekatan dengan cara merangkul.

Baca Juga  Pernikahan Berbasis Ilmu, Solusi Ketahanan Keluarga
Fenomena di Instagram

Big data dari drone emprit menyebutkan, hubungan antara kesalehan digital dengan ekonomi cukup dominan. Menurutnya, makna esensi hijrah di instagram telah bergeser. Terlihat ada upaya dakwah berupa ajakan hijrah namun terselip unsur ekonomi yang terselubung. Terlepas baik tidaknya, fenomena itu kalau diteruskan bisa saja kemudian hijrahnya hanya terbawa di permukaan saja. Berawal dari membanding-bandingkan produk, pada akhirnya membeli produk tersebut. Ismail Fahmi dalam Kajian Ramadan bersama Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah menyebutkan, “Yang ada di timeline instagram memang seperti itu. Ketika melihat tentang hijrah, jadinya yang muncul adalah ekonomi, ada yang jualan, ada yang menawarkan produk.”

Petunjuk Berkomunikasi di Dunia Digital

Menghadapi gejolak kesalehan digital, ada beberapa petunjuk tata cara berkomunikasi online di dunia maya.

Pertama, remember the human, ingat bahwa pengguna media sosial adalah manusia. Sadar bahwa setiap pemilik akun itu adalah manusia, maka perlakuan kita sama seperti berinteraksi kepada manusia umumnya. Hadis riwayat Bukhari Muslim menyebutkan,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidak beriman di antara kamu sekalian sampai kamu mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.”

Kedua, ketahui bahwa setiap akan terjun di media sosial sebenarnya kita sedang berada di cyber space. Cyber space tidak memiliki pembatasan tempat baik suku, ras, atau budaya tertentu. Seluruh aktivitas media sosial berlaku universal. Apa yang kita sampaikan di cyber space berprinsip pada kehati-hatian. Kita bukan berada di satu tempat, seperti: Sunda, Jawa, atau Timur yang punya karakteristik masing-masing.

Ketiga, online behavior, perilaku kita di dunia online sama saja dengan di dunia nyata. Hukum yang ada di dunia nyata berlaku juga di dunia online. Misalnya, kalau kita di dunia nyata tidak ingin jadi musuh masyarakat, di dunia online juga kira-kira sama seperti itu.

Baca Juga  Perempuan Berpendidikan Tinggi dan Segala Dramanya

Keempat, privasi, jangan sampai privasi orang lain diumbar. Seperti kemarin privasi pelaku pengeroyokan Ade Armando, kalau kita perhatikan seksama, nama dan alamat rumah pelaku pengeroyokan tersebar luas di media digital, namun hasilnya ternyata salah. Lalu abuse power, kalau kita merasa sudah punya ilmu dan kedudukan tinggi jangan seolah-olah punya hak untuk berbicara dan mengintimidasi orang lain di media sosial.

Yang terakhir dan yang paling susah adalah memberikan maaf. Sejatinya, memberi maaf kepada siapapun adalah perbuatan mulia seorang ksatria.  

Bagikan
Post a Comment