f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
air mata

Air Mata Luka

Hari itu, tepatnya Selasa 9 November 2010 merupakan momen yang bersejarah. Setidaknya, itu yang saya dan istri harapkan. Hari yang akan mengubah hidup kami berdua ke depan sebagai pasangan yang baru menikah. Sebagaimana tertera dalam jadwal, pada hari tersebut, menjelang sore, akan diumumkan kelulusan CPNS di LIPI.

Setidaknya ada sekitar 700 orang yang mengikuti (seleksi) sampai tahap wawancara, saya di antaranya. Sejak pagi hari, pikiran saya sebenarnya sangat tidak menentu dan campur aduk; kalut, gembira, dan sesekali sangat khawatir. Disebut kalut karena saya tidak tahu apa hasil dari pengumuman tersebut. Ada rasa gembira karena saya berharap tentu saja diterima. Ada perasaan khawatir, sebab jika gagal pasti saya kembalo bingung menatap masa depan setelah menikah.

Di ruang tengah, di rumah kontrakan yang kami tempati, sambil menonton televisi dan memegang telepon genggam, berselancar menjelajahi dunia internet terkait dengan informasi proses kehamilan, istri saya memanggil. Namun, panggilan itu tak saya hiraukan. Saya tetap mencoba teguh di depan laptop mengedit artikel untuk sebuah jurnal permintaan dari teman. Saat itu istri memang sedang hamil dengan usia kandungannya yang berjalan 6 bulan 3 minggu. Istri saya kemudian memanggil kembali dengan nada agak kencang.

”Ayah, ayah, ke sini pengumumannya sudah keluar nih, ujarnya antusias yang berusaha untuk membukanya.

Mendengarkan panggilannya berkali-kali, saya kemudian bergegas membuka langsung situs CPNS-LIPI di depan laptop dengan penuh rasa gugup.

***

Setelah mencari dalam waktu yang agak lama, saya membaca kembali daftar nama yang lulus dalam tes wawancara tersebut. Dari 700-an orang yang bertahan hingga tes wawancara tersebut, hanya sekitar 150-an orang yang lulus. Sayangnya, setelah mengecek lebih detail, saya tidak termasuk dari daftar nama yang sedikit tersebut. Betapa sedih hati saya melihat pengumuman tersebut. Roda waktu serasa berhenti dan dunia begitu sunyi sekali beberapa saat. Di ruang tengah, istri saya masih bersikeras memanggil dengan penuh antusias.

”Ayah lama banget sih. Itu pengumumannya sudah keluar, tegas istri saya meyakinkan.

Baca Juga  Menerima Takdir-Nya

Dengan wajah yang datar, saya mendatanginya dan memberitahu lirih, ”Iya, bunda, ayah sudah tahu. Tadi ayah sudah cek. Ayah tidak lulus. Nama ayah tidak tercantum di sana.

Mendengarkan penjelasan saya, ia begitu kaget dan seakan tak percaya. Ya, doa yang terus dipanjatkan dalam beberapa hari ini membuat harapannya yang tinggi membuncah, tiba-tiba sirna. Ia kemudian memegang kandungannya dan kemudian berusaha menguatkan saya.

“Ayah enggak apa-apa kan enggak lulus?” Tanyanya berusaha menguatkan saya, meskipun saya yakin ia sendiri sebenarnya tidaklah benar-benar kuat saat itu.

”Enggak apa-apa bunda, ungkap saya seraya menguatkan diri untuk tidak meneteskan air mata.

Saya melihat wajahnya kembali untuk mnatapnya. Ia tampak begitu tegar dan kuat. Tak ada air mata yang menetes di pipinya. Saya merasa takjub melihat kondisi istri dalam kondisi seperti ini. Saya menyimpulkan ia benar-benar kuat.

***

Setelah berbincang dengan istri terkait dengan kegagalan ini, saya menguatkan diri melanjutkan untuk mengedit artikel kembali yang sempat tertunda. Saya berusaha mencoba meyakinkan diri bahwa tidak terjadi apa-apa, meskipun saya sebenarnya sedang mengalami kegagalan dalam kompetisi mencari kerja.

Selang beberapa menit, di ruang depan, saat saya sedang mengedit artikel, sayup-sayup terdengar lantunan surat Mariam yang dinyalakan lewat telepon genggam isteri saya yang didekatkan ke perut kandungannya. Saat itulah saya melihat ia menangis tersedu. Saya meninggalkan ruang depan, menuju ruang tengah. Dengan refleks saya langsung memeluknya. Ia terus menangis dan mengeluarkan air mata. Sebagai suami saya tetap menguatkannya, meskipun saya juga merasa berat untuk menerimanya.

”Insyallah bunda, rejeki tidak ke mana. Allah sedang merencanakan sesuatu yang besar untuk keluarga kecil kita, tegas saya saya meyakinkannya.

Saya memeluknya lama, seakan tak mau melepaskannya. Saya berusaha terus meyakinkannya bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang sudah berikhtiar lewat doa dan usaha.

Sebagai laki-laki dan suami, saya belajar untuk tidak pernah patah arang dalam mencari pekerjaan. Saya selalu mengajukan lamaran ke pelbagai perusahaan dan instansi. Meskipun di dalam hati saya, ada perasan yang khawatir terus-menerus.

Baca Juga  Selipan Doa Suci dalam Sebungkus Gethuk Daun Jati
***

Sejak selesai kuliah magister di luar negeri, tepatnya University for Peace, Costa Rica, dalam beberapa bulan ini saya hanya mengandalkan dua pemasukan; tabungan beasiswa yang mungkin hanya cukup sampai bulan Desember dan gaji istri yang bekerja di sebuah perusahaan susu. Posisinya sebagai pekerja kontrak, ia harus bersiap mengundurkan diri dari perusahaan ketika sudah waktunya untuk melahirkan. Dua kondisi inilah yang membuatnya bertambah sedih dalam dalam menatap masa depan penghidupan kami.

Awalnya, pilihan untuk mendaftar CPNS ini tidak pernah terbesit dalam diri saya. Namun, ketika institusi tersebut sedang membuka lamaran dengan rasa penuh pasrah bakal tertolak, saya memberanikan diri untuk mendaftarkan diri. Tak disangka, berkas saya melaju sampai tahap wawancara. Saya bisa melewati tahapan administrasi yang melakukan pemeringkatan yang begitu ketat. Saya bisa mengikuti tahapan tes tulis dengan memperoleh nilai 67 dari total nilai 100. Nah, fase wawancara inilah yang diam-diam menumpulkan harapan saya dan istri terkait dengan diterima di LIPI, mengingat fase ini adalah langkah terakhir.

Saat mengikuti fase wawancara dengan bilingual (bahasa Inggris-Indonesia), saya merasa cukup kompeten dibanding peserta yang lain. Ini karena, saya rasa saya adalah calon CPNS yang paling banyak diajak untuk ngobrol dalam bahasa Inggris dengan penguji, dari awal hingga akhir wawancara. Namun, perasaan hanyalah perasaan, belum tentu menemukan kebenaran. Sebab hal itu bisa jadi titik kelemahan.

***

Saat itu (wawancara), saya tidak bisa mengungkapkan dengan leluasa gagasan yang ingin saya sampaikan. Hal itu membuat salah satu penguji berkali-kali bertanya terkait dengan penjelasan saya. Di sisi lain, karena formasi yang diminta adalah peneliti saat sesi wawancara itu saya memberikan dua karya hasil riset saya yang sudah dipublikasikan. Dengan harapan, hal itu sebagai bahan pertimbangan sebagai calon peneliti.

Namun, betapa kagetnya saya ketika melihat pengumuman kemarin, bahwa salah satu calon yang diterima adalah seseorang yang tak diperhitungkan. Padahal, sebagaimana ia cerita, bahasa Inggris adalah sisi dan faktor paling lemah yang ia miliki. Selain itu, ia tak bisa menjawab satu pertanyaan sederhana tapi sangat krusial.

Baca Juga  Memaknai Hari Pahlawan ala Perempuan Milenial

Saat itu saya mengira bahwa yang diterima adalah ia yang memiliki IPK tertinggi dan dari kampus negeri yang sangat ternama di Yogyakarta. Pada titik ini kegelisahan saya semakin membuncah dan bertanya, sebenarnya mereka mencari sosok peneliti yang seperti apa dan bagaimana standar kualitas orang untuk diterima bekerja di sana. Beragam pertanyaan ini saya simpan saja dan dijadikan bahan renungan.

Meskipun demikian, saya harus tetap optimis menatap ke depan untuk menghidupi keluarga kecil saya. Saya harus memulai strategi baru untuk menghadapi dunia Jakarta yang begitu keras. Saya tak boleh diam dan mengutuki nasib yang baru saja berlalu. Lilin harus tetap saya nyalakan walaupun sulit. Saya harus berhenti untuk mengutuk gelap. Saya harus terus meyakinkan diri bahwasanya lumbung rejeki bukan hanya di sana. Peristiwa ini cukup saya jadikan pelajaran untuk terus memperbaiki diri dan kualitas terutama dalam dunia menulis dan melakukan riset-riset kualitatif. Saya harus memulai kembali menyibukkan para redaktur media massa untuk sekadar menolak tulisan saya, saya harus ”ngamen” kembali lewat proposal-proposal riset yang mumpuni.

Saya tak boleh menyerah, saya harus tahan banting. Menyerah bukan bagian dari kamus saya. Sebaliknya, kata tahan banting sebagai doktrin yang harus saya tanamkan terus-menerus. Sebab saya yakin, Allah tak akan menyia-nyiakan umat-Nya yang terus berikhtiar, apalagi untuk keluarganya. Semoga ikhtiar ini bisa membasuh wajah istri yang sedih dan menyeka air matanya yang terjatuh kemarin. Semoga proses ikhtiar ini tidak terus menjadi air mata luka untuk istri di tengah kandungannya yang terus membesar. Tentu saja, proses ikhtiar ini adalah untuk buah hati kami tercinta yang berada dalam kandungan istriku.

Bagikan
Post a Comment