f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
negosiasi konflik

Perempuan dan Peran Sentralnya dalam Negosiasi Konflik

Sebuah paham yang meyakini bahwa aspirasi perempuan sangat bernilai dan aspirasi itu wajib diperankan juga oleh perempuan merupakan bagian dari rangkaian pemikiran feminisme. Pembagian yang cukup kontras antara peran laki-laki dan perempuan disadari oleh feminisme sebagai bagian konstruksi dari masyarakat yang tidak bersifat kodrati (alami atau bawaan) (Azizah, 2017).

Sebagai upaya untuk memunculkan peran perempuan dalam ranah publik; maka perempuan diharuskan berani turut aktif mengambil bagian pada aspek-aspek yang dampaknya secara langsung melibatkan kaum perempuan; misalnya dalam konteks penyelesaian konflik.

Tidak sedikit kaum perempuan baik secara langsung atau tidak, menerima dampak buruk dari adanya konflik; maka wajar jika peran perempuan juga perlu dilibatkan sebagai aktor-aktor penting yang secara resmi turut serta dalam negosiasi konflik; sekaligus berkontribusi langsung dalam aktifitas-aktifitas mempertahankan dan menjaga perdamaian.

Adanya keyakinan bahwa peran perempuan sangat diperlukan dalam negosiasi konflik sebab pertama, secara kodrati sifat bawaan mendamaikan dan mencintai kedamaian memang telah ada dan melekat pada setiap perempuan. Kedua, jika dibandingkan dengan laki-laki, karakter biologis laki-laki membuat mereka cenderung lebih bersifat agresif, dan berambisi untuk mendominasi pihak lain. Kecenderungan karakter seperti itu mendekatkan laki-laki pada opsi-opsi berkonflik dibandingkan dengan opsi berdamai.

Namun sejauh ini belum ada penelitian yang signifikan bahwa struktur anatomi dan struktur genetika laki-laki menjadi faktor utama laki-laki memiliki kecenderungan berkonflik; hanya saja kekuatan fisik yang dimiliki lak-laki berpotensi mendorong mereka untuk memilih berkonflik secara fisik; jika dibandingkan dengan perempuan yang akan berpikir berulang-ulang sebelum memutuskan untuk itu; mengingat kekuatan fisik perempuan yang terbatas.

Itulah alasan yang kemudian dianggap mengapa dalam negosiasi bagi perempuan cenderung aktif menawarkan jalur perdamaian dan menjauhi kemungkinan berkonflik. Sebagian ahli berpendapat perbedaan fungsi gender di atas dipengaruhi oleh pengalaman pertumbuhan di usia anak-anak di mana perkembangan karakter anak mulai terbentuk (Palmer, 2008).

Baca Juga  Romantisme Tradisi Jenang Dodol dalam Pernikahan

Bagaimana seharusnya bersikap, anak perempuan akan dominan berkaca pada ibunya. Sebaliknya, bagi anak laki-laki menjadi karakter yang tangguh dan bertanggungjawab, adalah hasil berkaca dari sifat dan karakter ayah yang memberikan contoh sebagai seorang pemimpin yang tangguh bagi keluarga.

Selanjutnya pada paragraf ini perlu dipertegas tentang pentingnya kesadaran akan nilai-nilai feminisme, terlebih bagi kaum perempuan. Karena dengan begitu harapannya mereka akan cenderung kritis dan lebih ingin melibatkan diri dalam proses penciptaan perdamaian. Di Indonesia sendiri sudah cukup banyak individu perempuan maupun kelompok yang digerakkan oleh kaum perempuan yang bergerak di bidang perdamaian untuk memerangi kekerasan; intoleransi; anti-kemajemukan; dan kejahatan kemanusiaan. Cara yang mereka lakukan juga cukup variatif.

Dulu, ketika konflik Ambon atau Maluku memanas, sejumlah aktivis, praktisi, akademisi, atau tokoh agama perempuan juga terlibat aktif dalam aksi-aksi rekonsiliasi dan upaya mewujudkan perdamaian; baik dilakukan secara formal maupun informal. Bahkan dari mereka juga ada beberapa (Sr. Brigitta Renyaan atau Pdt. Etha Hendriks) yang ikut menandatangani Perjanjian Damai Malino II yang dimediasi oleh pemerintah. Dalam model negosiasi, perempuan dinilai lebih kopertif sedangkan laki-laki lebih kompetitif. Namun pada dasarnya, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi gaya negosiasi setiap orang, di antaranya karakter, budaya, dan gender.

Apa yang tertulis di atas hanyalah sekelumit contoh.  Sebenarnya masih banyak individu dan kelompok perempuan di berbagai daerah yang memiliki semangat dan komitmen kuat untuk mewujudkan nilai-nilai toleransi; pasifisme (perdamaian); dan pluralisme di masyarakat kita. Saat banyak kelompok intoleran yang anti-pluralisme serta pelaku kekerasan dan terorisme bertebaran di berbagai kawasan di Indonesia; maka di situlah perlu adanya peran proaktif dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk kaum perempuan.

Baca Juga  Canggihnya Otak Manusia dan Memori yang Kita Simpan

Partisipasi perempuan ini juga sejalan dengan pertumbuhan doktrin feminisme yang muncul dan berkembang setelah perang dunia kedua. Doktrin feminisme yang secara umum mengajak perempuan untuk turut aktif baik dalam sektor publik maupun aspek-aspek lain selain pada sektor domestik (rumah dan keluarga) seharusnya menjadi tambahan alasan dan motivasi bagi kaum perempuan untuk mengekplorasi potensi dan kemampuannya untuk mengambil bagian dari penciptaan dan penjagaan perdamian.

Sisi emosional perempuan yang sering dipandang sebagai sisi lemah sesungguhnya dapat menjadi potensi yang dapat mempengaruhi kesuksesan sebuah negosiasi damai. Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya sama-sama berbakat dalam negosiasi sesuai dengan karakteristik gender masing-masing, laki-laki dengan kemaskulinannya sedangkan perempuan dengan kefemininannya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa perempuan dengan segala keterbatasan yang dikonstruksikan agar melekat pada mereka ternyata memiliki potensi yang luar biasa; salah satunya adalah menjadi negosiator dalam konflik-konflik sosial atau bahkan konflik antar negara.

Terkahir, tak kalah penting juga untuk kita catat, bahwa dalam mewujudkan perdamaian dan toleransi bukan hanya tanggung jawab negara atau pemerintah beserta aparat dan jajarannya saja tetapi juga semua elemen masyarakat; termasuk di dalamnya adalah komunitas perempuan. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat (state-society sinergy) adalah kunci bagi terwujudnya perdamaian dan lenyapnya kekerasan dari muka bumi kita.

Bagikan
Post a Comment