f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
hangat

Keluarga Hangat yang Menghangatkan

Jika muncul pertanyaan, bagaimana menciptakan sebuah perdamaian di masa depan? Maka, mulailah menciptakan keluarga hangat yang menghangatkan.

Keluarga menjadi pondasi dasar pendidikan toleransi. Dari keluarga yang harmonis, humanis, dan toleran, generasi muda berkualitas akan tercipta. Pintu masuk pengetahuan paling utama bagi sebuah generasi adalah keluarga.

Di dalam lingkungan keluarga, anak belajar berbicara, mengenal warna, merasakan kasih sayang dan pelukan hangat, mengenal pelafalan kata, mengenal hewan dan tumbuhan di sekitar rumah, mengenal huruf, belajar membaca, menghitung, menggambar, dan bahkan menuliskan sebuah angka dan huruf secara sederhana. Lingkungan keluarga juga sekaligus lingkungan pertama yang dijumpai oleh setiap manusia. Jadi, sepenting itulah pengandaian sebuah keluarga.

Namun, di era modern seperti saat ini, keberadaan keluarga mulai menggetirkan. Keluarga dianggap menjadi sebuah entitas yang hampa. Tidak sedikit yang menganggap keluarga sebagai tempat merebahkan badan saja dari lelahnya kehidupan di luar sana. Banyak juga yang menganggap keluarga sebagai beban. Lebih mengenaskan lagi, keluarga justru menjadi ladang permusuhan dan persaingan dingin.

Keluarga yang Membeku

Banyak ditemui di kehidupan sehari-hari orang dewasa yang memperlihatkan bekunya interaksi antar anggota keluarga. Adik dan kakak tidak berbicara. Bahkan, ibu dan anak ada juga yang sampai bermusuhan. Beberapa hal tersebut terlihat begitu mencolok pada masyarakat perkotaan, sebuah tatanan masyarakat yang katanya paling modern. Namun, kemodernannya itu justru menggerus fungsi keluarga yang bersifat afektual (kasih sayang) menjadi instrumental dan transaksional.

Contoh konkret justru terlihat jelas di negara paling maju, yaitu Amerika Serikat. Kabarnya, anak usia 18 tahun di sana sudah harus tinggal terpisah dengan orang tuanya. Jika orang tuanya adalah orang penting dan sibuk, untuk makan malam bersama keluarga kecil (ayah, ibu, dan anak) saja harus mengatur jadwal yang begitu sulit. Bagi mereka (orang Amerika) itu adalah kemodernan. Namun, bagi orang Indonesia yang tinggal di desa, fenomena itu sungguh memprihatinkan.

Baca Juga  Siasat Suci dari Ruang Hati

Dinginnya interaksi antar keluarga ini menghadirkan sebuah konsekuensi yang begitu panjang. Salah satunya adalah pada generasi yang dingin, individualis, dan bahkan intoleran. Pendidikan karakter, moral, dan afektual harusnya dipupuk sejak dini di lingkungan keluarga. Sehingga, pribadi setiap individu hadir sebagai manusia yang hangat dan berjiwa sosial tinggi. Akan tetapi, di keluarga yang dingin dan cenderung transaksional, justru menghasilkan individu yang beku dan tidak berperasaan.

Faktor Matinya Kehidupan Sosial Keluarga

Setidaknya ada 2(dua) faktor yang mendasari kehidupan suatu keluarga menjadi dingin dan membeku. Bahkan cenderung tidak ada interaksi dan hilangnya kehidupan sosial di dalamnya. Pertama, keluarga yang tidak ingin mengambil peran. Faktor ini terletak pada batang tubuh keluarga itu sendiri.

Keluarga yang menganggap bahwa interaksi dan kehidupan di sebuah rumah tidaklah berarti di era modern. Seluruh anggota keluarga sudah seharusnya keluar dari rumah dan menempuh sukses di luar sana agar saat berkumpul keluarga besar dapat saling bertransaksi (baca: pamer) kesuksesan masing-masing. Hal ini ditunjukkan secara jelas dan gamblang dalam proses pengalihan peran pendidik dari orang tua ke lembaga pendidikan formal (sekolah) secara total, karena orangtua sibuk bekerja hingga lupa pada perannya sebagai penggerak keluarga kecilnya.

Kedua, peran keluarga yang dikerdilkan. Faktor kedua ini merupakan respon yang bersifat timbal balik dari faktor pertama. Secara khusus, faktor kedua merujuk pada sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Sekolah seakan menerima sekaligus mengambil alih keseluruhan mandat dari orangtua untuk mendidik anak-anaknya. Sehingga, sekolah berupaya menggerus seluruh waktu anak dalam berbagai kegiatan di sekolah, seperti ekstrakurikuler, bimbel tambahan, oraganisasi intra sekolah, dan juga berwisata di akhir semester pembelajaran.

Baca Juga  Menciptakan Keluarga Harmonis dengan Menerima Perbedaan

Alhasil, anak-anak tidak memiliki waktu yang cukup bersama keluarga dan orang tuanya untuk berbagi kisah dan membangun harmoni yang serasi. Maka, tidak heran jika semakin modern kehidupan, justru makin merenggangkan hubungan personal tiap-tiap manusia, bahkan dengan keluarganya sendiri.

Padahal, perjalanan hidup sebuah keluarga ibarat sepeda yang harus terus dikayuh. Harus terus dijalankan dengan semangat kemanusiaan, moral, dan toleran. Dengan begitu, gerak keluarga akan seimbang dan ikut andil dalam gerak roda kehidupan sosial bermasyarakat yang harmonis.

***

Jika dengan keluarga sendiri bersikap dingin, tidak saling menyapa, dan berbagi cerita bahagia bersama, lalu di mana letak kemanusiaan manusia yang hidup? Jika manusia menjadi dingin bahkan dengan keluarganya sendiri, di mana letak perbedaannya dengan para zombie? Zombie merupakan sebuah makhluk menyerupai manusia yang hidup sekaligus tidak hidup. Mungkinkah manusia modern adalah representasi zombie di kehidupan nyata? Entahlah.

Keluaga, Komunitas, dan Toleransi yang Menghangatkan

Etzioni (2000) mengungkapkan bahwa keluarga bukanlah sebuah organisasi, melainkan komunitas. Organisasi adalah produk langsung modernisasi yang syarat birokrasi teknis dengan tangan-tangan dinginnya. Sedangkan, komunitas mengikat anggotanya dengan suara moral kemanusiaan yang luhur, tulus, dan penuh kehangatan. Itulah keluarga, sebuah komunitas hangat yang menghidupi kehidupan masing-masing anggotanya. Sehingga, setiap manusia yang hidup dalam keluarga yang hangat, akan bersikap toleran dengan manusia hidup lainnya.

Pendidikan toleransi dalam keluarga tidak mungkin berjalan dan berhasil jika kondisi sebuah keluarga tidak hangat dan menghangatkan. Semangat toleransi adalah semangat kehangatan antar manusia, antar keluarga, antar kelompok, dan bahkan negara. Keluarga yang hangat dengan sendirinya mengaktifkan jiwa toleransi pada masing-masing anggota keluarganya. Sehingga, sikap toleransi itu akan memeluk komunitas keluarga dalam nyenyaknya perdamaian.

Baca Juga  Dicari Masjid Sayang Anak

Dalam prinsip keluarga hangat yang toleran, tidak terlalu penting pembagian teknis peran siapa yang memasak, bekerja, membersihkan rumah, melipat baju, menjemur, mendidik anak, dsb. Namun, tentu saja itu bukan hanya peran seorang ibu, tapi seluruh anggota keluarga ikut andil dalam peran-peran tersebut.

Keluarga yang hangat dan saling berinteraksi secara intens memiliki panggilan moral sendiri untuk menjalankan kesibukan-kesibukan keluarganya, tanpa paksaan dan pembagian tugas yang terlalu baku dan beku. Keluarga yang hangat akan menemukan cara terbaiknya sendiri tanpa mengorbankan kehangatan dalam kehidupan keluarganya. Dari situlah toleransi menjadi bagian dari proses pendidikan sekaligus pendidikan sebagai proses dalam kehidupan keluarga. Toleransi mampu menghangatkan sebuah keluarga, keluarga yang hangat akan menghasilkan perdamaian, dan perdamaian ditandai dengan pelukan yang menghangatkan.

Bagikan
Post a Comment