f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
toleransi

Pendidikan Toleransi Anak Perempuan dan Laki-Laki dalam Keluarga

Berbicara soal toleransi, Kamus Besar Bahasa Indonesia V (KBBI V) mendefinisikan toleransi sebagai batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang boleh. Makna toleransi secara garis besar berarti sifat memaklumi suatu keadaan karena alasan tertentu. Jika kita hubungkan dengan keluarga, bentuk toleransi bisa menjadi banyak macam. Misalnya, toleransi seorang ayah terhadap ibu yang bekerja sekaligus mengasuh anak atau toleransi kakak yang mengalah banyak hal terhadap adiknya.

Keluarga merupakan hubungan antarmanusia terdekat yang berarti toleransi semakin besar pula. Orang tua seringkali memberikan toleransi bagi anak-anaknya terhadap segala macam keinginan. Namun, ada sebuah pertanyaan yang layak kepada setiap keluarga, khususnya mengenai toleransi bagi perempuan dalam keluarga di Indonesia. Benarkah setiap keluarga sudah memberikan pendidikan toleransi yang sesuai kepada anak-anaknya? Atau justru pendidikan toleransi dalam keluarga terlalu banyak terbebankan kepada anak perempuan dan menjadikan anak laki-laki selalu layak untuk memperoleh toleransi?

Fenomena masyarakat menunjukkan, bahwa perempuan lebih sering memberikan toleransi bahkan pada ukuran yang sudah melebihi batas. Perempuan masa kini, menanggung semua beban pekerjaan rumah bahkan sejak masih kecil. Para anak perempuan yang memiliki saudara laki-laki banyak yang mengalami ketidakadilan melalui pengukuhan adanya “pekerjaan perempuan” dan “pekerjaan laki-laki”.

***

Banyak keluarga di Indonesia menumpahkan semua urusan pekerjaan rumah kepada anak perempuan sejak mereka masih kecil. Tetapi tidak mengajarkan hal yang sama kepada anak laki-laki. Hasilnya, hingga dewasa perempuan menanggung beban tersebut bahkan menjadi beban ganda. Yaitu bekerja untuk mencari nafkah sekaligus mengurus semua keperluan rumah. Sebaliknya, laki-laki selalu bebas dari pekerjaan rumah yang membuat mereka nyaris tidak memiliki kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Hal ini membuat perempuan terus menerus memberikan toleransi kepada laki-laki dengan dalih, “Laki-laki tidak bisa melakukan pekerjaan rumah tangga” atau, “Bocah lanang ngga becus kalau mendapat amanah pekerjaan rumah”.

Baca Juga  Merenungkan Kembali Makna Keseimbangan dalam Rumah Tangga

Pendidikan toleransi dalam keluarga, khususnya untuk anak perempuan, sudah terlalu banyak sehingga akhirnya menjadi tradisi atau budaya. Seakan-akan jika tidak membiarkan anak laki-laki terlepas dari kegiatan tersebut, anak perempuan dipandang tidak cakap, belum layak menjadi seorang istri, atau bahkan lebih parah lagi dianggap sebagai tidak memenuhi kodrat.

Mardiasih dalam bukunya yang berjudul Muslimah yang Dipertanyakan menyinggung maraknya tanggapan laki-laki di Indonesia yang menyindir para perempuan pembela kesetaraan hak. Banyak kaum adam berdalih, “Angkat galon aja masih nyuruh laki-laki” yang kemudian komentari Mardiasih sebagai fenomena banyaknya laki-laki yang merasa perannya dalam rumah tangga lebih besar, baik untuk mencari nafkah maupun untuk pekerjaan rumah tangga yang berat.

***

Hal ini membuat perempuan, lagi-lagi, harus bertoleransi dalam keluarga, mengalah lagi, memaknai ulang perannya, hingga akhirnya terjerumus dalam kata toleransi sejak mereka kecil dan sudah melebihi kadarnya. Lebih jauh, Mansour dalam bukunya yang berjudul Analisis Gender mengungkapkan bahwa belakangan ini, agama menjadi kambing hitam atas terjadinya ketidakadilan gender. Sebagai contoh, banyak masyarakat kita berfokus terhadap narasi “Istri harus siap sedia melayani suami” yang kemudian menjadi orasi bagi anak-anak perempuan untuk terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah tanpa membaginya dengan anak laki-laki.

Narasi agama yang menjadi kambing hitam membuat beberapa kaum menganggap sinis agama tertentu dan memberi stigma buruk. Padahal, dalam islam, kewajiban suami adalah memberi nafkah. Dan nafkah tersebut bahkan sampai pada pekerjaan rumah tangga, tetapi istri bisa membantu semampunya, bukan malah semuanya. Pemaknaan dangkal terhadap narasi agama menjadikan perempuan semakin langgeng untuk mentoleransi dan laki-laki untuk ditoleransi.

Jadi, kembali pada pembahasan di atas bahwa pendidikan toleransi berlebihan kepada kaum perempuan dalam keluarga, bukan karena agama. Melainkan karena kebiasaan turun temurun yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia. Lalu, sebenarnya pendidikan toleransi seperti apa yang seharusnya untuk memperbaiki hal ini? Lagi-lagi perempuanlah yang masih menjadi pemegang peran pendidikan toleransi terbesar.

Baca Juga  Kiprah Perempuan Menjaga Toleransi di Era Digital

***

Sikap masyarakat terhadap pembedaan peran anak laki-laki dan perempuan untuk urusan mengatur rumah sudah sangat mendarah daging. Mau tidak mau, siap tidak siap, perempuan yang sudah berperan sebagai ibu atau perempuan yang berperan sebagai kakak dan adik bagi saudaranya, harus mulai menyuarakan pendapat.

Seorang ibu mulai berkomunikasilah dengan ayah mengenai pembagian tugas rumah dan mulai mengajari anak laki-laki untuk belajar melakukan pekerjaan rumah. Ajarkanlah anak laki-laki mulai dari hal yang sederhana, sebagaimana dulu mengajarkan anak perempuan untuk menggoreng telur atau merebus mie sendiri. Ajarkanlah anak laki-laki cara memasang seprei yang benar hingga cara menjemur pakaian yang rapi. Ajarkan pula ayahnya, bagaimana bisa cara mencuci piring hingga menjemur handuk setelah terpakai.

Seorang kakak perempuan berkomunikasilah dengan orang tua dan saudara mengenai fenomena ini. Kelak, saudara laki-laki kalian bisa memutus rantai kebiasaan ini. Saudara laki-laki kalian bisa bekerja sama dengan istrinya untuk urusan rumah tangga dan menjadi ayah yang adil untuk anak-anaknya. Kelak satu generasi bisa diperbaiki. Karena sesungguhnya, kemampuan untuk mengelola kebutuhan hidup harus setiap orang miliki, bukan hanya oleh perempuan.

***

Pada akhirnya, pendidikan toleransi bukan hanya sekadar diam dan memaklumi apa yang sudah terbiasa terjadi dalam masyarakat. Tetapi juga mempelajari dan mengubah keadaan menjadi lebih baik. Toleransi dalam keluarga merupakan sesuatu yang harusnya terus berhasil dengan maksimal, karena toleransi ini dilakukan dengan manusia-manusia yang memiliki hubungan darah dan batin yang kuat.

Terakhir, ada sebuah kalimat menyejukkan dari Mardiasih, “Belajar memang sulit dan enggak semuanya bisa paham, tapi seenggaknya jangan pura-pura tuli dan sengaja menutup mata”. Jadi, mari perbaiki suatu sistem yang sudah merugikan dan menciptakan ketimpangan, mari berjuang meskipun perjalanan ini akan jadi panjang.

Bagikan
Post a Comment