f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
alissa wahid

Alissa Wahid: Sosok Perempuan Agen Perdamaian Dunia

Profil Singkat Alissa Wahid

Perempuan tangguh sebagai agen perdamaian itu bernama Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid atau yang kerap disapa Alissa Wahid. Ia merupakan putri sulung dari mantan presiden RI ke-4, yaitu KH. Abdurrahman Wahid dan Ny. Sinta Nuriyah Wahid. Alissa lahir pada  25 Juni 1973 di Jombang Jawa Timur.

Alissa dikenal sebagai seorang psikolog yang fokus pada keluarga, anak, dan wanita. Pekerjaan seperti inilah yang kemudian menjadi rutinitasnya. Karena seringnya berinteraksi dengan mereka, Alissa harus menjadi orang yang ramah dan menyayangi semua umat. Selain itu, jiwa kasih sayang tersebut memang ada dari dalam dirinya.

Dari sini sangat tampak bahwa sisi humanismenya Gus Dur mengalir deras dalam diri Alissa. Saudara Yeni Wahid ini memiliki peran dan kontribusi besar di Indonesia, terutama yang berhubungan dengan multikulturalisme, pluralisme, penegakan hak-hak asasi manusia, agen perdamaian, dan penyemai Islam Moderat.

Pendidikan, Karier, dan Prestasi

Tidak banyak sumber yang dapat saya temukam terkait dengan pendidikan perempuan cicit pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU) ini. Namun penulis menduga kuat, beliau sejak kecil diberi suplemen ilmu-ilmu agama yang cukup. Karena ia terlahir dalam komunitas pesantren. Selain itu, sang ayah yang juga seorang kiai pesantren pastinya juga memiliki pengetahuan lebih untuk mendidik para putra-putrinya, termasuk mbak Alissa ini.

Penulis yakin bahwa beliau mendapat jaminan pendidikan yang memadai, tidak hanya urusan duniawi tetapi juga urusan ukhrawi. Sudah tidak di sanksikan lagi tentunya, pendidikan yang ia dapat dari kedua orangtuanya mengakar kuat dalam dirinya. Dus Dur dan Ny. Sinta Nuriyah, memberikan kebebasan kepada Alissa untuk memilih dan ‘menjalani’ takdirnya. Tidak harus belajar di pesantren an sich.

Hal ini terbukti dengan masa-masa remajanya yang beliau habiskan di Jakarta. Ia masuk SMAN 8 Jakarta sampai lulus. Kemudian masa kuliah, ia memilih Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta sebagai tempat menempa diri dengan jurusan psikolog. 

Baca Juga  Kartini di Masa Pandemi

Meskipun demikian, hal ini tidak lantas menjadikan beliau tidak tahu ilmu agama. Tetapi melalui jalan itulah, ilmu-ilmu yang ia pelajari dapat bermanfaat bagi yang lain. Dengan cara ini pula, Alissa meneruskan perjuangan sang ayah, menebar kasih sayang kepada umat seluruh alam, yang notabene itu semua merupakan perintah agama.

Sejak awal, sebelum ia menjadi seorang sarjana, ia telah bergelut dalam dunia sosial yang juga menjadi awal kariernya. Pada 1991-1996, Alissa terjun dalam sebuah proyek sosial Indonesia Planned Parenthood Association, ia menjabat sebagai manajernya. Proyek ini fokus dalam mengembangkan diri anak remaja dan kesehaatan reproduksi ke berbagai SMA di Yogyakarta.

Berlanjut pada 1997-2001 ia aktif dalam Program Pendidikan di Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak. Dalam forum ini, fokus diskusi mengarah pada pembahasan kesetaraan gender. Di sini ia juga menjadi seorang manajernya.

*

Kepeduliannya kepada masyarakat luas terus ia kembangkan, guna menebar kasih sayang kepada semua umat. Oleh karenanya pada 2003, ia mendirikan lembaga bernama “Fastrack Funschool” di Yogyakarta. Suatu lembaga yang focus pada pendidikan anak usia dini. Sekolah ini menitikberatkan pembangunan karakter anak dengan membekali diri yang cukup agar kelak menjadi individu yang matang, dinamis, adaptif, self-regulated, kreatif,resourceful serta memiliki nilai etis yang menjunjung tinggi kemanusiaan.

Perjuangannya menebar kasih sayang di Indonesia, ternyata tercium ke berbagai negara, oleh karena itu ia pernah mewakili forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu Faith-Based Organization’s Global Forum on Faith & Reproductive Health yang berada di New York, Amerika Serikat. Alissa juga pernah menjadi fasilitator dalam forum International Training on Strategic Partnership between Government and Religious Moslem Leaders on Populations & Family Planning Issue pada tahun 2015.

Dari berbagai peran yang telah ia ‘mainkan’ di atas, yang kemudian menghantarkannya meraih berbagai penghargaan dari berbagai negara, seperti Shine On Award (2015); Global Women’s Leadership (2015) oleh Esienhower Fellowship; Marketeer’s 2016 Women Award; International Fellow oleh King Abdullah bin Abdulaziz; International Centre for Interreligious and Intercultural Dialoque (KAICIID) pada 2016; dan menjadi alumni muda berprestasi dalam Alumni Awards UGM (2019).

Baca Juga  Sayembara Menulis; Milad 2 Tahun Rahma.ID

Setelah itu, kariernya masih naik ke permukaan dengan menduduki beberapa peran dan jabatan penting di Indonesia. Ia menjadi Duta Sustainable Development Goals (SDGS) Indonesia (2019), diangkat menjadi komisaris independen di PT Unilever Indonesia (2021), dan yang terbaru diangkat menjadi ketua tanfidziyah PBNU masa khidmat 2022-2027 yang termaktub dalam Surat Keputusan PBNU Nomor 01/A.II.04/01/2022 (NU Online, 2022).

Sebagai Agen Perdamaian Dunia

Tidak dipungkiri, Islam menjadi agama terbesar di Indonesia di antara agama-agama lainnya. Salah satu ciri dari agama tersebut ialah mengajarkan nilai-nilai moderasi. Sudah ada banyak ulama dan pakar yang membahas tentang kajian moderasi. Karena tema ini manjadi salah satu kunci untuk menjaga ketertiban dan perdamaian dunia. Oleh karena itu banyak pakar pula yang turut menyebarkan paham wasathiyah ini ke berbagai penjuru dunia. Salah satunya, sosok perempuan yang sedang kita bahas ini.

Sebagai penerus perjuangan sang ayah, Alissa begitu gencar dalam mengampanyekan Islam yang ramah dan toleran terhadap semua umat, yakni Islam yang berwawasan moderat.

Di banyak kesempatan dan berbagai tempat, Alissa mengedepankan nilai-nilai moderasi dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sebagai contoh, ia menilai pemerintah telah ‘gagal’ dalam menghadapi sebagian kelompok bersenjata dari Papua (KKB) itu. Menurutnya, pemerintah melihat masyarakat Papua masih dengan voice of judgement (menghakimi), voice of cynicism (meyakini kelompok yang dihadapan kita rendah), dan voice of fear (memberikan ketakutan) terhadap Papua (kabardamai.id, 2021).

Menurutnya pendekatan yang tepat, sebagaimana yang ayahnya lakukan, ialah dengan pendekatan kemanusiaan yang mengedepankan keadilan dan kesetaraan. Di mana saat itu, Gus Dur ketika menjabat sebagai presiden memberikan izin masyarakat Papua untuk mengibarkan bendera bintang kejora. Nyatanya hal ini menjadi cara ampuh untuk meredam pertikaian (kabardamai.id, 2021). Upaya yang Alissa lakukan merupakan langkah menuju adanya perdamaian di Indonesia yang tentunya sangat kita harapkan.

Baca Juga  Lies Marcoes Natsir, Pakar Islam dan Gender Indonesia
*

Peran dan kontribusi Alissa sebagai agen perdamaian dunia begitu terasa. Bahkan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, selain melalui jaringan Gusdurian, ia melakukan pendekatan-pendekatan kepada pemerintahan yang berkuasa untuk menciptakan upaya-upaya perdamaian.

Sementara itu, di luar Indonesia, ia pernah diundang ke London oleh Moazzam Malek mantan Dubes Inggris di Indonesia (2014-2019). Ia diberikan kesempatan untuk menceritakan Islam, demokrasi, kisah-kisah berharga tentang NU, Gusdurian dan secara umum keadaan dan perkembangan Islam Indonesia. Di sana ia juga berkumpul serta dialog dengan para aktivis perdamaian dari agama Yahudi, Kristen, juga komunitas Sikh. Dari Alissa inilah mereka (komunitas beragama di Inggris) mengenal Islam Indonesia yang menjadi inspirasi bagi perdamaian dan peradaban Muslim saat ini (Republika.id, 2020).

Penulis : Thoriqul Aziz
(Alumnus Pascasarjana IAIN Tulungagung. Peneliti Tafsir Nusantara. Ketua Sahabat Pena Kita (SPK) Tulungagung)

Bagikan
Post a Comment