f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
perempuan toleransi

Perempuan, Aktor Toleransi Utama dalam Keluarga

Saya teringat buku “Ibu Kemanusiaan: Catatan-catatan Perempuan untuk 86 tahun Buya Ahmad Syafii Maarif” (2021), sebuah karya antologi yang menelisik secara serius sisi-sisi feminis mantan Ketua Umum PP. Muhammadiyah itu. Salah satu bagian penting dan menarik dari buku ini, ketika salah satu penulis menuliskan kesaksiannya atas Buya Syafii yang menyatakan bahwa “Ibu Kemanusiaan” merupakan julukan yang purna dan paripurna untuk seorang perempuan (hlm. 34).

Saya yang ibarat “setetes embun” ini memang tidak punya otoritas yang memadai untuk menafsir pikiran Buya Syafii yang seperti “luasnya samudera”. Tapi dalam pemaknaan sederhana, logika Buya Syafii cukup logis. Secara biologis, semua manusia dilahirkan dari rahim seorang perempuan, setelah melalui proses pembuahan lalu kehamilan selama sembilan bulan. Peradaban umat manusia di muka bumi dimulai dari peristiwa kelahiran dari rahim seorang perempuan. Adalah sangat beralasan bila perempuan dijuluki “Ibu Kemanusiaan”.

*

Secara sosiologis, perempuan memainkan peran utama yang turut menentukan tumbuh kembang buah hatinya. Intensitas iteraksi sosial antar keduanya yang berlangsung puluhan tahun, membentuk kedekatan personal-emosional yang utuh. Setidaknya, studi yang dilakukan oleh Hosley & Montemayor (1997) di Amerika Utara dan Langford (2001) di Ingris, menunjukkan bahwa anak remaja mempunyai ikatan personal-emosional bahkan cenderung lebih dekat dengan perempuan (ibu) yang melahirkannya, daripada bapaknya. Tapi tanpa “dalil” ilmiah sekalipun, kecenderungan itu mudah dimengerti dan diyakini kebenarannya oleh pikiran ideal. Manusia mana yang tidak mengakui perjuangan seorang ibu yang merawat sejak kecil hingga ia tumbuh menjadi manusia dewasa.

Begitu besar jasa seorang perempuan dalam menentukan tumbuh kembang anak yang kelak menjadi generasi bangsa yang tangguh. Itu sebabnya, Islam, agama yang sangat menjunjung tinggi hak dan martabat kaum perempuan mengajarkan penghormatan setinggi-tingginya terhadap perempuan. Dalam salah satu hadis yang cukup populer, Nabi Muhammad Saw. bersabda bahwa ketika seorang anak dipanggil oleh kedua orang tuanya (laki-laki dan perempuan) dalam waktu yang bersamaan; maka panggilan perempuanlah yang harus didahulukan. Sebuah ilustrasi profetik yang menunjukkan kemuliaan seorang perempuan.

Baca Juga  Jodoh adalah Cermin Diri
Madrasah Pertama

Di sinilah ungkapan lama, “Perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya” menemukan momentumnya. Jauh sebelum seorang anak mengenal lembaga-lembaga pendidikan formal, ada tangan-tangan perempuan yang berperan sangat signifikan. Didikan perempuan terhadap anak-anaknya bahkan dimulai dari hal-hal paling dasar bagi kebutuhan pokok manusia. Seperti tata cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bersosial, dan hal-hal mendasar lainnya. Intelektualisme seorang anak juga sudah dibentuk pertama kali dalam lingkup keluarganya. Di sini, peran perempuan lebih dominan tatkala para lelaki harus mencari nafkah di luar rumah. Pengetahuan anak tentang nama-nama benda, keanekaragaman warna, dan simbol-simbol kehidupan lainnya telah ia peroleh dari lingkungan keluarganya yang juga tak lepas dari dedikasi seorang perempuan.

Demikian halnya dalam urusan keagamaan. Anak memiliki kepekaan dan sensitivitas cukup tinggi terhadap setiap kejadian di sekitarnya. Daya rekam itulah yang membuatnya cenderung mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang tuanya, termasuk ritual keagamaan. Kita seringkali menyaksikan aksi-aksi lucu seorang anak memperagakan apa yang dilakukan orang tuanya ketika salat. Aksi-aksinya memang tak jarang mengundang tawa banyak orang. Tapi di dalamnya terkandung pesan transenden yang kuat; bahwa pendidikan keagamaan itu sudah diperolehnya sejak dini, dari lingkungan keluarganya.

*

Dalam lingkup keluarga, kita memang tidak bisa menafikan keterlibatan laki-laki dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Pengasuhan dan pendidikan anak merupakan tugas bersama (suami-istri) dengan prinsip “kesalingan”. Tapi dalam banyak kasus, tak bisa kita pungkiri bahwa perempuan mendapat “kesempatan” mengasuh lebih banyak daripada laki-laki. Begitu besar peran perempuan dalam membentuk intelektualisme, kesadaran kognitif dan psikomotorik anak. Alasan itu yang agaknya membuat (alm) Mbah Maimoen Zubair berdawuh, “Kalau memilih istri itu jangan yang terlalu mengerti dunia (materi), karena seberapa sholeh/ah anakmu, tergantung seberapa sholehah ibunya”.

Jika ingin mengetahui bagaimana karakter seorang anak di masa depan, maka lihatlah apa dan bagaimana orang tuanya mendidiknya di masa kecil. Dalam konteks keagamaan, misalnya, jika ingin mengetahui kecenderungan relegiositas atau corak keberagamaan seorang anak di masa depan, maka lihatlah pendidikan keagamaan apa yang diberikan. Oleh karenanya, peluang ini harusnya dijadikan momentum berharga oleh para orang tua, khususnya perempuan, untuk membentuk sikap keagamaan anak yang senafas dengan prinsip kebinekaan.

Baca Juga  Memaklumi Pernyataan Mahfud MD Soal Korupsi di Indonesia
Menyemai Toleransi

Pada akhirnya, pertautan biologis dan sosiologis antara perempuan dengan anak-anaknya menjadi modal penting bagi terwujudnya inklusivisme yang kemudian membentuk budaya toleransi dalam lingkup keluarga. Inklusif dalam arti membuka kesadaran anak didik supaya terbiasa menghadapi perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan. Dengan pola pikir demikian, dalam jangka panjang, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang toleran dalam konteks multukulturalisme bangsa ini.

Sebagai bangsa yang besar dan plural, kita harus mengakui Indonesia masih menghadapi banyak tantangan yang turut mengancam kebinekaan. Intoleransi masih terjadi di mana-mana. Dalam kondisi demikian, perempuan harus menyadari tantangan yang dihadapi sembari menyiapkan anak-anak didiknya menjadi generasi pemecah masalah, bukan malah menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Sebab, cita-cita revolusi akan lebih mudah mencapai puncak kesuksesannya bila dimulai dari lingkup yang paling kecil dan orang-orang terdekat.

Seperti strategi dakwah Nabi Muhammad Saw., yang ia mulai pertama kali dalam lingkup internal. Bahwa untuk mencapai cita-cita revolusi Islam, beliau mendakwahkan ajaran agamanya kepada orang-orang terdekatnya terlebih dahulu sebelum akhirnya kepada orang-orang luar lainnya. Terbukti, dalam perkembangannya, Islam mengalami ekspansi bahkan ke seluruh penjuru dunia.

*

Strategi atau pola pendekatan dakwah Nabi Saw. sangat relevan direalisasikan dalam upaya menumbuhkan sikap toleran dalam lingkup keluarga. Dalam kaitan ini, perempuan bertindak sebagai subjek sedangkan anak sebagai objek dari infiltrasi doktrin keagamaan yang toleran. Menumbuhkan budaya toleransi sejak dari lingkungan keluarga tidak bisa dikesampingkan sebagai persoalan sederhana. Keluarga, sebagai unit terkecil dalam hierarki sistem sosial, tak jarang menjadi ladang subur bagi tumbuhnya bibit intoleran. Kita masih ingat ledakan bom di tiga gereja sekaligus oleh satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan empat orang anaknya di Surabaya, tahun 2018. Mereka berbagi tugas untuk melancarkan aksi bejatnya di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia, dan Gereja Pantekosta.

Baca Juga  Immawati: Pelopor Keadilan Gender di Dunia Jurnalistik

Peristiwa pilu itu menjadi alasan kuat mengapa menanamkan doktrin moderasi beragama pada anak dan anggota keluarga lainnya penting dalam lingkungan keluarga. Kini, moderasi beragama sebagaimana telah dirancang dalam RPJMN 2020-2024 Kementerian Agama, menjadi kebutuhan mendesak bukan saja di lembaga-lembaga pendidikan Islam dan organisasi-organisasi sosial-keagamaan, tapi juga di lingkungan keluarga. Pada akhirnya, sudah bukan saatnya lagi memosisikan perempuan sebagai subordinat dan inferior. Nyata, perempuan sangat potensial menjadi aktor utama yang akan menentukan suksesi moderasi beragama sekaligus generasi bangsa yang toleran.

Bagikan
Post a Comment