f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
aku

Tunggu Aku

Kupandangi dengan lesu gundukan tanah berwarna merah, semerah hatiku yang masih berdarah. Aroma harum bunga masih mendominasi udara di sekitarku. Warna-warni bunga yang ditaburkan di atas pusaramu menyiratkan aneka perasaan yang berkecamuk di dadaku. Tak terkatakan, tak terungkapkan atas dalamnya duka yang melanda.

Aku bangkit dengan kekuatan yang kupaksakan untuk segera berlalu dari area pemakaman. Berharap kepedihan hatiku tak berlangsung lama. Sadar diri perpisahan ini sudah suratan Yang Maha Berkehendak.

Sejumlah kursi di teras rumahmu masih berjajar rapi seperti kemarin, ketika aku datang usai dari makam. Sepi, hening, tidak ada satu suarapun yang bisa mewakili memberi jawaban pasti kepada satu pertanyaanku, haruskah secepat ini engkau pergi.

Kau tinggalkan aku di saat benih- benih cinta suci mulai tumbuh, di saat aku tak kuasa menahan egoku dan di saat kau telah mampu meruntuhkan kesombonganku. Dan akhirnya kau berhasil memiliki seluruh hati ini. Kau pun melenggang ringan penuh kemenangan membawanya kemana engkau mau.

***

Masih bertengger di kelopak mataku, senyum termanismu ketika kau pamit pergi. Sorot matamu penuh percaya diri akan sejuta harapan kita berdua di masa depan. Sorot mata teduh penuh kelembutan yang tak pernah putus asa menggigit tepi hatiku perlahan-lahan hingga aku kehabisan alasan untuk pura-pura jual mahal.

Sebagai anak semata wayang yang sudah yatim sejak lahir, kau tumbuh menjadi seorang pemuda kalem, penuh kasih dan sangat menghormati sosok seorang ibu. Kau kesayangan ibu satu-satunya sekaligus penerus generasi yang sangat dia banggakan.

Kita berdua sudah saling mengenal sejak kecil. Kau tahu persis, sebelum berhijab, rambutku panjang hingga menutup pantat. Katamu, itulah salah satu daya tarikku. Suatu hari kau pernah memohon kepadaku agar aku tidak memotong rambut dan kau tidak akan rela bil ada tangan lain selain tanganmu yang bebas membelainya.

Baca Juga  Pagi Menghilang Ketika Malam Datang

Tanpa perlu aba-aba, ada gendang bertalu-talu di dadaku karena rasa bahagia dan bangga yang menyeruak tiba-tiba, kala mendengar permohonan konyolmu. Memang sejak memutuskan berhijab kau belum pernah melihat rambutku lagi. Tapi aku berharap suatu hari nanti kau akan terperangah karena demi kemurnian cinta kasihku, aku benar-benar akan meluluskan permohonanmu.

Sepekan lalu kau pamit pergi ke Ibukota Provinsi demi panggilan tugas. Sebagai nakes, hati nuranimu terpanggil ketika pandemi covid semakin merajalela. Bersama para nakes dan para sukarelawan lainnya kau pun pergi. Hanya doa ibumu dan doa suciku  yang menyertai langkah-langkahmu memenuhi kewajiban tugas suci.

***

Baru beberapa hari kau pergi, tanpa ada firasat apa-apa tiba-tiba kabar itu telah pecah di keheningan malam. Telepon dari RS menyampaikan kabar yang sempat membuat ibumu shock meski tidak sampai pingsan. Kabar duka itu seolah membuat ruangan di sekitarku perlahan berputar-putar, gelap, lalu pet. Aku tak ingat apa-apa lagi.

Mungkin karena kau terlalu letih dan kurang istirahat, sepulang dari bertugas tengah malam, kecelakaan itu tak mampu kau hindari. Dengan mata mengantuk kau tak kuasa lagi mengendalikan motor yang kau kendarai dan menabrak sebuah pohon sebelum masuk jembatan. Kau pingsan lalu berpulang setelah beberapa menit dibawa teman-temanmu ke RS.

Rejeki, jodoh dan mati sudah ada dalam catatan takdirmu. Berulang kali ibumu mengatakan itu padaku, sambil bibirnya bergetar dan beberapa bulir bening membasahi pipi tirusnya yang sudah dihuni kerutan-kerutan halus. Sebagai wanita yang bertaruh nyawa melahirkanmu, tidak mampu kubayangkan sedalam apa duka yang mendera.

***

Di depan ibumu aku malu untuk menangis apalagi meratap. Kedua tanganku masih digenggamnya erat seolah tidak ingin dia lepaskan. Hanya pandangan sayu yang kutunjukkan padanya atas selimut duka yang membungkus kalbu ini entah sampai kapan.

Baca Juga  Kemampuan Metafisika Bayi

Dalam beberapa saat kami berdua saling membisu. Pikiranku berkelana entah kemana. Sempat terkejut saat ibumu memintaku untuk tidak buru-buru pulang karena masih ingin kutemani. Tiba-tiba dari balik saku gamisnya dia ambil secarik kertas lalu memberikannya padaku. Aku gelagapan. Katanya itu tulisanmu untukku yang kau buat di malam sebelum engkau pergi bertugas.

Jika, biru itu milik gunung, langit dan lautan,

jingga itu milik sang surya kala menyapa mesra buana,

lembayung itu milik senja di ufuk barat nan temaram,

hitam itu milik gulita di tengah malam,

dan marun itu milik semburat pipi penuh rona kebahagiaan.

Maka, putih ini masih milik kita, milik cinta kita.

Usai membaca, dada ini bergemuruh tak beraturan. Suaraku tercekat di tenggorokan, mataku basah tanpa sadar. Namun aku masih mampu berkata dalam hati, kita tak butuh warna lain karena sesungguhnya cinta kita masih putih dan akan tetap putih hingga nanti.

***

Cakrawala memerah di ufuk barat ketika aku mohon diri, pulang dari rumahmu. Hatiku masih berdarah dan airmataku hampir setiap saat selalu tumpah. Kecelakaan tunggal telah merenggutmu dariku yang berujung tragedi perpisahan kita.

Selamat jalan kekasih hatiku. Aku sudah ikhlas dirimu pergi meninggalkanku. Ternyata Allah menyayangimu melebihi rasa sayangku padamu. Semoga Dia mengampuni dosa-dosamu, memberimu tempat terbaik di sisi-Nya dan berkenan menerima semua amal baikmu.

Tunggulah aku di alam sana, di pintu istana Robbmu kelak kita bertemu. Kuihlaskan tanganmu untuk membelai rambut panjangku dengan segenap cintamu.

Bagikan
Comments
  • Umar Usman

    Ini kisah nyata ya, Bu Wury? Mata saya kok basah ya, membaca kisah ini.

    Agustus 27, 2021
    • Wurry Srie

      Trmkasih Pak Umar atas responnya.

      Agustus 30, 2021
Post a Comment