f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
abah

Dua Puluh Delapan Juli

Empat tahun yang lalu. Aku masih ingat dinginnya malam itu masih terasa. Sangat menyiksa.

27 Juli 2017. Malam itu aku terus-menerus memeluk Maria. Seandainya sudah fasih bicara, ia pasti akan bercerita tentang sebuah pelukan dahsyat sebab rasa takut kehilangan. Namun karena bayi ini baru berusia 8 bulan, ia hanya bisa menatap bengong, sambil sesekali membalas memeluk rapat.

Rasanya aku terlalu sering mengirim pesan menanyakan kabar Abah. Aku hanya berdua di rumah bersama Maria, tentu sangat gelisah. Suami, ibu, dan kakak pertamaku sedang menjaga abah di rumah sakit. Sesungguhnya aku paham mereka yang sedang di rumah sakit tentu lebih kalut. Ah, tapi bagaimanapun juga aku sangat mencemaskan kondisi abahku. Aku terus-menerus mengirim pesan melalui WhatsApp. “Aku nggak akan berhenti sebelum dibalas,” pikirku.

Sekitar pukul 10 malam suamiku membalas pesan, “Terus doakan abah, ya 😘. Insyaallah diberikan yang terbaik.”

Seketika ragaku terasa lemas-layu. Aku sudah menebak apa yang akan terjadi. “Apa malam ini? Ya Allah, jangan! Besok? Astaghfirullah… Ya Allah lindungi abah ya Allah… beri waktu aku untuk berbakti lagi,” batinku sambil menahan sesak tangis.

**

Sepanjang merawat Maria, entah mengapa malam itu rasanya ia menjadi bayi paling rewel. Aku terus menggendongnya. Aku coba tidurkan di kasur, namun tak lama sudah menangis lagi dan hanya berhenti ketika kugendong. Sedih, lelah, juga lapar aku abaikan. Pikiranku tidak bisa berhenti sekejap saja dari abah. Rasanya ingin bergegas menyusul ke rumah sakit, menjaga dan merawat abah seperti yang biasa kulakukan. Tapi bagaimana dengan Maria?

Aku melanjutkan rapal istighfarku, mencoba sebisa mungkin menenangkan hati, berusaha percaya kepada ibu, suami, dan Mas Afan pasti berusaha maksimal untuk abah.

Hingga sekitar pukul 23.45 aku masih dilindungi dari rasa kantuk. Sepertinya aku akan terjaga hingga pagi.  Maksud hati ingin memulai memejamkan mata, tapi tiba-tiba ponselku berdiring. Ada panggilan masuk, sontak kupelototi layar. Kupikir Mas Fendi, suamiku, ternyata Mas Zakki, kakak keduaku.

Baca Juga  Pulang Tanpa Sambutan (2)

“Assalamu’alaikum, Vin, abah gimana?” Aku dengar suaranya lemas. Ya, tentu dia lebih sedih, sering mendengar kabar abah sakit tapi selalu tidak bisa ikut menjaga. Terlebih belakangan Abah sering keluar-masuk rumah sakit, sedangkan dia masih harus menyelesaikan studi di Kaohsiung, Taiwan.

“Ya… katanya semakin menurun, Mas. Terus doakan abah, ya,” jawabku sambil tak kuasa menahan air mata dan ingin sekali memeluk Mas Zakki.

“Vin, aku nggak mungkin bisa pulang, hari-hari ini ada badai Taifun, dan sepertinya tidak ada penerbangan, Vin,” suaranya memelas.

“Ya, Mas, nggak apa, pokoknya doain abah terus, ya.”

Setelah menutup telepon, tentu aku semakin tidak bisa tidur. Maria sepertinya sudah pulas. Aku coba tidurkan ia di kasur. Sambil memandangi wajahnya, tiba-tiba aku ingin melihat galeri ponsel. Ada foto-fotonya yang lucu. Tapi banyak juga yang tidak bagus, buram sebab gerak saat ambil gambar. Ada beberapa yang kurang menarik kuhapus. Tak terasa aku tertidur.

***

Azan subuh berkumandang. Suara ayam bersahutan. Aku terbangun, meski masih dinaungi rasa kantuk. Bergegas kutinggalkan Maria yang tampak masih pulas. Kukelilingi guling dan beberapa bantal, persis seperti umumnya ibu-ibu yang hendak meninggalkan anak bayinya meski hanya sebentar—sekadar ke toilet atau ke dapur sesaat untuk mengambil atau melakukan sesuatu.

Khawatir Maria tidak lama lagi akan terbangun, sesegera mungkin kulaksanakan salat subuh, dinginnya air wudu membuatku mengusap muka dan lengan dengan handuk kecil berulang-ulang. Yang kuingat, subuhku waktu itu lebih khusyuk dibanding biasanya. Aku memelas memohon dengan amat agar Allah terus menjaga abah.

Tak ada kabar dari rumah sakit. Barangkali situasi semakin genting. Aku berusaha lebih tenang untuk tidak terus-menerus menguhubungi Mas Fendi. Sekitar pukul 06.00, Mas Fendi menelpon, memberi kabar bahwa kondisi abah terus menurun, bahkan mengigau tak henti. Katanya, gorden jendela kamar rumah sakit dibuka sembari abah melihat orang-orang yang berjalan seperti baru pulang dari jamaah subuh. “Zakki masih di masjid, ya? Kok, lama?” Begitu cerita Mas Fendi lewat telepon. Tentu semakin jadi tangisku.

Baca Juga  Menjalani Lebaran Pertama Tanpa Seorang Ibu

Sekitar pukul 9 pagi Maria sudah tidur,  Sepertinya kenyang setelah menghabiskan sereal siap saji. Perasaanku semakin tak enak. Kubuka almari baju, rasanya ingin memilih dan ganti baju. Seperti bersiap jika nanti kedatangan banyak tamu. Tak ada yang kupilih, tak sebanyak pilihan di rumah Sidoarjo. Kutarik jilbab hitam milik ibu, kuletakkan di lipatan baju paling atas, agar lebih mudah mengambilnya. Jika nanti terburu-buru.

Lantunan qari’ Muammar ZA sudah diputar di masjid dekat rumah. Pertanda segera tiba waktu salat Jumat. Masih juga tak ada kabar. Aku terus memegang ponsel. Kubuka WhatsApp untuk melihat ‘terakhir dilihat’ nomor Mas Fendi. “Ndak buka HP, bingung semua pasti,” batinku. 

Karena semakin cemas, aku terpaksa menelepon. Suara mas Fendi lirih, “Iya, ini terus menalkin abah.” Badanku semakin lemas, terlebih di ujung telepon sana sayup kudengar suara abah mengucap “Allah… Allah…”.

***

Sekitar pukul 11.25 Mas Fendi menelepon. Dan kabar duka itu pun datang. Abah sudah tidak ada. Tangisku pecah. Tak ada yang bisa kupeluk, kecuali Maria. Saat itu aku seperti tidak tahu harus menghubungi siapa. Belum sempat memulai panggilan. Pakde lebih dulu menelponku, “Vin, aku Jumatan dulu,” kemudian telepon terputus.

Omku datang mengenakan baju koko, meletakkan motor di bawah pohon mangga depan rumah. Lalu bergegas ke masjid untuk salat Jumat karena sudah terdengar iqamah.

Aku mengabarkan kepergian abah kepada tetangga depan dan samping rumah, mereka lekas-lekas datang, berjalan cepat, seperti kebingungan. Ada yang menuju belakang rumah mencari dipan, ada yang keluar mencari pinjaman meja panjang. Sedang aku masih tetap duduk di sofa ruang tamu memeluk Maria, sesekali memberinya asi saat dia mulai merengek.

Baca Juga  Arti Bapak Buatku

Tidak lama, rumah sudah dipadati tamu, beberapa teman ibuku memelukku—untuk menguatkan. Diantara mereka ada juga yang sudah banyak tanya: sakit apa, berapa hari di rumah sakit, sejak kapan sakit. Rasanya mereka sudah tahu telah melayangkan pertanyaan tanpa akan ada jawaban sempurna. Aku belum mampu bicara apa-apa. Kecuali hanya menjawab singkat dan pelan.

Ambulan rumah sakit tiba. Hampir semua penakziah yang duduk di halaman rumah berdiri menatap. Jenazah dibawa masuk rumah. Kubuka dan kuelus sesaat untuk yang terakhir. Persiapan memandikan jenazah sudah siap, aku turut memandikan. Sekeras apapun aku menahan, akhirnya tak kuasa juga. Mata ini meleleh. Bagaimana mungkin aku tidak menangis sesak untuk kepergian laki-laki cinta pertamaku.

Lekas-lekas aku mengganti pakaianku yang basah. Mengambil mukena sedapatnya. Lalu bergegas ikut mengantar jenazah untuk disalati di masjid. Proses pemakaman berjalan dengan cepat dan lancar. Dalam perjalanan pulang aku tak henti berdoa semoga Allah jauhkan dari siksa kubur.

***

Di rumah masih ramai tamu. Aku menuju kamar tanpa sempat menyapa tamu satu per satu. Mas Fendi memeluk dan mengelus-elus punggungku. Tangisku kian menjadi. “Aku sudah tak punya abah,” berulang kali kalimat itu kuulang. “Semua akan ke sana, kita masih bisa bertemu, berkumpul. Masih ada kesempatan untuk berbakti dengan cara terus mendoakan setiap hari, setiap saat.” Mas Fendi memberikan nasihat sembari menggenggam tanganku dan berusaha menatap wajahku yang masih saja menunduk menangis sesak.

Hari itu, Jumat, 28 Juli 2017. Segala tentang abah masih bertaut dalam ruang ingatanku. Dan akan terus kurawat—sembari sesekali kuziarahi.

Bagikan
Post a Comment