f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
buku

Caraku Memperlakukan Buku

Saya memiliki teman yang lumayan akrab ketika nyantri di sebuah pesantren di Banyuwangi. Sebut saja namanya Fulan. Ia kakak kelas saya. Asli Jawa Tengah dan sekarang dia tinggal di Sumatera, membantu mertuanya mengurus sebuah pesantren. Dia sangat rajin.

Masa itu, saya sering melihat dia sedang menulis catatan-catatan kecil yang ia ambil dari beberapa referensi dan ia tulis dalam sebuah buku.

Beberapa hari sebelum saya pindah untuk melanjutkan studi di Yogyakarta, ia memberikan sebuah buku berbahasa Arab kepada saya. Karena menggunakan bahasa Arab, maka saat itu, saya pikir, itu bukan karya teman saya.

“Itu pasti karya seorang ulama papan atas,” batin saya.

***

Kala itu, saya memiliki keyakinan dan pemahaman bahwa yang bisa menulis buku berbahasa Arab tentu adalah seorang yang memiliki pengetahuan luas tentang agama Islam. Yang ia berikan kepada saya itu belum saya baca sama sekali hingga saya berangkat dan berada di Yogyakarta.

Kebiasaan saya ketika hendak membaca buku, terutama yang berbahasa Arab (atau “kitab”) adalah membacakan surat al-Fatihah kepada muallif-nya (pengarang). Ini saya lakukan semata-mata dengan tujuan agar saya bisa mendapat keberkahan dari Allah lewat kesalehan dan kealiman pengarang tersebut. Atau saya agar Allah beri pemahaman atas apa yang saya baca itu.

Buku itu saya lihat sampulnya, saya baca namanya.

“Sebentar,” kata saya dalam hati.

Saya kok merasa tidak asing dengan nama pengarangnya. Saya perhatikan nama itu. Huruf perhuruf, kata perkata. Ternyata itu adalah tulisan teman saya, Fulan. Subhanallah.

***

Satu sisi saya salut dan takjub dengan keilmuannya sehingga bisa menghasilkan buku. Namun di sisi yang berbeda, saya merasa ada perasaan campur aduk ketika hendak ngalap berkah kepada Fulan yang merupakan teman guyon saya.

Baca Juga  Pendidikan Profesi Ibu Rumah Tangga, Mungkinkah?

Namun, rutinitas adalah rutinitas. Makanya, hal itu tetap berlangsung. Saya tetap membacakan surat al-Fatihah kepada Fulan. Berharap saya bisa memahami buku yang berbahasa Arab itu atau saya (atau keturunan saya) bisa memiliki keilmuan seperti dia.

Paradigma mengagungkan buku-buku berbahasa Arab itu berubah ketika saya masuk dalam dunia kampus. Saya mulai mengenal beberapa buku yang berbobot namun tidak dalam bahasa Arab, misalnya buku kaidah tafsir, ilmu hadis, ushul fikih, dan lainnya. Demikian karena saya lihat dari para penulisnya yang bukan orang sembarangan. Bahkan sebagian besar lulusan pesantren dan atau timur tengah.

Sejak saat itu, saya meyakini bahwa kualitas sebuah buku tidak bisa dilihat dan ditentukan dari bahasa yang digunakan untuk menulis, tapi dari isinya. Yang akan berdampak pada pemahaman dan pemikiran kita adalah isi, bukan bahasa pengantarnya. Lain cerita kalau kita sedang belajar bahasa. Keyakinan bercokol di kepala saya hingga kini.

***

Saya jadi membayangkan.

Andai ada dua buku tentang ilmu tafsir. Yang satu berbahasa Indonesia karya Prof. Quraish Shihab, pakar tafsir Indonesia yang merupakan lulusan S3 Al-Azhar. Sedangkan yang satu lagi berbahasa Arab karya lulusan Al-Azhar, namun hanya S1.

Pertanyaan saya, kira-kira, secara isi, manakah yang lebih baik? Secara objektif, tentu kita akan memilih buku karya Prof. Quraish Shihab. Sekali lagi, ini hanya ilustrasi.

Mendoakan sang muallif (penulis/pengarang) adalah caraku agar Allah swt berkenan menurunkan rahmatNya kepadaku agar apa yang aku baca bisa aku pahami. Agar yang aku pahami bisa aku amalkan. Lalu berjalan secara istikamah. Agar yang saya istikamahkan itu Ia ridhai.

***

Terlepas dari segala bahasa yang digunakan, sebuah buku hendaknya tetap diapresiasi. Kita tetap harus berterimakasih kepada penulisnya, yang salah satunya adalah mendoakannya. Minimal ketika hendak membaca buku tersebut.

Baca Juga  Semua Bisa Menjadi Guru

Menulis sebuah buku bukanlah perkara mudah. Menghasilkan sebuah buku, meski hasilnya dianggap kurang bagus oleh sebagian orang, adalah suatu yang mulia dan tetap bernilai lebih baik daripada tidak menulis sama sekali.

Walhasil, seyogyanya sebuah buku tidak saja dibaca, dipahami, dan (bila perlu) dikritisi, namun hendaknya penulisnya juga didoakan. Semoga dengan doa itu, Allah menurunkan ilmuNya kepada kita sebagaimana yang diturunkanNya kepada penulis buku itu. Wallahu a’lam.

Bagikan
Post a Comment