Ketahui Hak Anak untuk Cegah Perkawinan Anak
Masih terekam jelas di tahun 2020, di Sulawesi Selatan heboh dengan pria tuna netra, B (44) dengan gadis NS yang masih berusia 12 tahun, dengan alasan suka sama suka dikutip dari laman merdekacom, dan perkawinan usia anak yang terjadi di Kabupaten Lombok Tengah, anak usia 17 tahun menikah dengan pacarnya yang berumur 16 tahun.
***
Pencegahan perkawinan anak telah lama dikampanyekan oleh pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan berbagai pihak. Salah satu bukti keseriusan pemerintah dalam menangani pencegahan perkawinan anak yaitu dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Batas minimal usia perkawinan adalah 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan.
Di saat massifnya KemenPPPA dalam mangampanyekan pencegahan perkawinan usia anak, di awal tahun 2021 heboh lagi dengan adanya wedding organizer (WO) Aisha yang mengaunkan pernikahan muda dan ramai di media sosial.
Quo Vadis Perkawinan Anak
Perkawinan anak merupakan sebuah bentuk praktek yang sangat potensial merugikan tumbuh kembang anak dan perlindungan anak. Setiap anak berhak untuk mendapatkan hak atas pengasuhan, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak partisipasi dan perlindungan.
Hak-hak tersebut harus diwujudkan secara benar dan tepat sehingga secara otomatis mampu mencegah terjadinya perkawinan anak. Di samping itu, memahami isu ini memerlukan pemahaman orang tua, pengasuh atau orang yang bertanggungjawab atas anak tentang perkembangan anak.
Intervensi pencegahan perkawinan anak kepada orangtua, pengasuh atau orang yang bertanggungjawab atas anak menjadi salah satu kunci untuk memutus mata rantai praktek-praktek perkawinan anak.
Untuk memastikan intervensi dilakukan secara efektif, maka diperlukan pendampingan orang tua dalam mencegah perkawinan anak yang berbasis hak-hak anak.
Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1954 secara eksplisit menentang pernikahan anak. Namun ironisnya, praktek pernikahan usia dini masih berlangsung di berbagai daerah; dan hal ini merefleksikan perlindungan hak asasi kelompok usia muda yang terabaikan. Implementasi Undang-Undangpun seringkali tidak efektif dan terpatahkan oleh adat istiadat serta tradisi yang mengatur norma sosial suatu kelompok masyarakat,
Alih-alih rasa takut dan khawatir pada diri orang tua, anaknya akan terjerumus kejurang maksiat atau melakukan tindakan yang melanggar adat. Seperti: kawin silariang (gadis dan pemuda bersepakat untuk melarikan diri bersama-sama setelah itu melakukan perkawinan); kawin nilariang (perkawinan yang terjadi setelah laki-laki melarikan seorang perempuan); kawin erangkale (perkawinan yang dilangsungkan setelah gadis membawa dirinya sendiri kepada laki-laki); dan seorang perempuan yang hamil di luar nikah.
Pelanggaran yang sangat mengganggu keseimbangan masyarakat sehingga perkawinan di bawah umur dianggap suatu jalan terbaik walaupun anak itu belum mampu baik secara materi maupun psikologis. Parahnya lagi ketika ada orang tua yang menganggap bahwa dengan menikahkan anaknya yang bisa memperbaiki ekonomi keluarga.
Perkawinan Anak merupakan Pelanggaran Hak Anak
Perkawinan anak merupakan pelanggaran hak-hak anak perempuan dan laki-laki; karena anak-anak rentan kehilangan hak pendidikan, kesehatan, gisi, perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, dan tercabut dari kebahagiaan masa anak-anak.
Bagi anak laki-laki, perkawinan anak rentan berdampak buruk tetapi bagi anak-anak perempuan perkawinan tersebut berdampak lebih buruk lagi. Konsekwensi bagi anak perempuan di antaranya: kehilangan kasih sayang sebagai anak; berisiko mengalami kekerasan dan perlakuan salah; meningkatnya ketergantungan ekonomi untuk menopang kehidupanya; kehilangan hak untuk menentukan dalam berpartisipasi dalam pembuatan keputusan; menghadapi kehidupan rumah tangga yang tidak berkualitas; rentan mengalami diskriminasi serta status sosial yang rendah.
Mengetahui Hak Anak
Sebagai orang tua wajib menegetahui hak-hak anak, sebagaimana pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 sebagai berikut: a) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. b) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna. c) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. d) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.
Memahami Hakikat Pernikahan
Perkawinan yang dilakukan sebelum mencapai usia tersebut dikategorikan sebagai perkawinan di bawah umur. Pernikahan haruslah didasari oleh kemampuan dari laki-laki dan perempuan untuk membina rumah tangga. Agar tujuan dari pernikahan tidak hanya menyatukan dua keluarga saja; tetapi benar-benar menciptakan suatu ikatan yang kuat untuk mewujudkan keluarga rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka dibutuhkan beberapa aspek, salah satunya adalah aspek kedewasaan dari pasangan yang akan melaksanakan perkawinan.
Dalam konsep Islam usia minimal perkawinan ditandai dengan kata baligh, yang bermakna kedewasaan atau usia yang di anggap layak untuk melangsungkan perkawinan. Dalam pengertian di atas, yang dimaksud pernikahan di bawah umur adalah pernikahan yang dilakukan pada usia di bawah ketentuan undang-undang perkawinan.
Perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan sebelum mencapai usia sebagaimana diatur dalam pasal 15 Kompilasi Hukum Islam bahwa “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan Hak-Hak Anak Majelis umum PBB; memaklumkan Deklarasi Hak Anak-Anak ini dengan maksud agar anak-anak dapat menjalani masa kecil yang membahagiakan, berhak menikmati hak-hak dan kebebasan, baik kepentingan mereka sendiri maupun untuk kepentingan masyarakat.
Di sesi seminar parenting yang saya hadiri sebagai pembicara, salah satu pertanyaan yang mengejutkan saya seorang perempuan separuh baya menayakan “bu’ apa benar pernikahan usia anak tidak boleh dilakukan, kalau anak sudah saling suka, dan bisa membantu ekonomi keluarga” edukasi orang tua haruslah penting dalam memassifkan pencegahann perkawinan anak dan pelaku perkawinan usia anak agar menjadi perhatian penting oleh pemerintah dalam mengedukasi terkait reproduksi dan ilmu parenting.
Alumni STAIM, S1 UIN Sunana Kalijaga Yogyakarta, dan S3 UIN Alauddin Makassar (proses) . Saat ini sebagai dosen Institut Muhammadiyah Sinjai.
Sejak mahasiswa ia banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan ekstrakulikuler di BEM, PC. IMM sebagai ketua umum periode 2007-2009, HW sebagai ketua Qabilah STAIM, DEMA, FLP, KAMPs dan sampai saat ini aktif sebagai pemateri di kegiatan mahasiswa PTM di Kab. Sinjai. Serta mengikuti beberapa kegiatan pengabdian masyarakat di PD. Nasyiatul Aisyiyah ia sebagai Ketua Umum priode 2012-2016, di KNPI, BKPRMI, P2TP2A. Ia pernah berpartisipasi sebagai penulis bersama sahabat IMMawati “Berlian dari Timur”, Persepsi Masyarakat Kawasan Adat Amma Toa Kajang Terhadap Muhammadiyah, LGBT dalam Perspektif Sosial dan Budaya Lokal
asni
Keren