f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
Fazlur Rahman

Fikih dan Isu Bias Gender dalam Islam

Pembicaraan tentang fikih dan isu gender menjadi begitu penting, mengingat seringnya dalil-dalil agama digunakan untuk melegitimasi budaya-budaya patriarkis dalam kehidupan masyarakat muslim.

Dalam dunia kerja misalnya, perempuan biasanya akan berada pada ranah domestik dan laki laki akan cendrung aktif di publik. Ini tentu menjadi masalah, karena akan memberikan kesan  bahwa perempuan tidak pantas sejajar dengan laki-laki.

Fikih sebagai implemantasi dari pesan pesan teks Al-Qur’an dan hadis dalam bentuk hukum yang bersifat praktis- realistis; seharusnya mampu memberikan penafsiran penafsiran yang berlandaskan asas persamaan gender.

Namun ini tidak begitu terlihat dalam sebagian pembahasan fikih klasik, terutama pada abad kedua Hijriah; di mana fikih berada pada fase pembentukan mazhab. Pemahaman fikih oleh Imam mazhab empat; yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Bin Hambali cenderung mengarah kepada pemahaman fikih yang bias gender.

****

Dalam pembahasan fikih munakahat misalnya, isu-isu terkait perwaliaan dalam nikah, poligami, rujuk, ihdad dan nusyuz mengisyaratkan ketidakadilan gender dalam Islam. Begitu juga terkait dengan isu kepemimpin perempuan dalam ranah publik dan kesaksian perempuan. Bahkan dalam beberapa pembahasan tentang hal ibadah seperti puasa sunnah pun agaknya menunjukkan adanya diskriminasi terhadap perempuan.

Dalam beberapa pandangan para sarjana muslim kontemporer diskriminasi terhadap perempuan dalam islam sedikit tidak dipengaruhi oleh pemahaman para Fuqaha (ahli hukum islam) yang keliru dan bias gender terhadap sumber utama hukum islam yaitu Al Qur’an dan Hadits.

Jika kita tilik lebih jauh sebenarnya dalam upaya ijtihad ulama’ mazhab empat,; mulai dari Imam Abu Hanifah sampai Ahmad Bin Hanbal, tampaknya memang belum memiliki kesadaran akan persoalan persamaan gender. Tidak timbulnya kesadaran ini dalam pandangan Syafiq Hasyim dalam bukunya “Hal-hal yang tidak terpikirkan dalam isu keperempuanan dalam Islam”; setidaknya disebabkan oleh beberapa aspek.

Baca Juga  Psikosomatis Anxiety Disorder: Sugestimu, Mempengaruhi Kerja Tubuhmu
***

Pertama, aspek genealogis, yaitu belum tersusunnya ilmu gender. Dalam historitas keilmuan, lahir dan berkembangnya ilmu fikih berada di tangan kaum laki laki. Ini berarti fikih lahir dari hubungan relasional kekuasaan laki-laki. Sebenrnya kelaki-lakian itu tidak menjadi masalah asalkan mereka memiliki kepekaan gender sehingga tidak berfikir dengan keadaannya sebagai laki laki saja.

Kedua, aspek transmisi keilmuan, yaitu penyebaran fikih umumnya melalui mata rantai laki-laki. Umumnya para Imam mazhab belajar fikih dari laki laki dan di sebarkan kepada laki laki. Imam abu Hanifah misalnya ia menimba ilmu banyak dari ulama laki laki. Seperti Hammad Bin Sulaiman, Hammad ini pernah belajar fikih pada Ibrahim al Nakha’i dan Syi’bi. Kemudian Imam Abu Hanifah memiliki banyak murid ternama yang ternyata juga laki laki; seperti Ya’kub Ibn Ibrahim Ibn Habib al Anshari, M. Bin Hassan al Syaibani dan Zu’far Ibn Hudail. Begitu juga dengan imam-imam yang lainnya.

Ketiga, aspek kultural, yaitu kondisi sosial dan geografis masyarakat yang bercorak patriarkis memberi pengaruh terhadap pola pikir dan perkembangan ulama ulama fikih. Sebenarnya, sebagaimana yang di katakan Xcovill secara idealitas ajaranIislam memang menjunjung tinggi nilai egaliatairanisme. Akan tetapi, ajaran demikian tercemar oleh kultur wilayah ptriarkis sebagaimana gang terjadi di Timur Tengah, tempat imam imam mazhab mengembangkan wacana fikih.

Keempat, aspek pembentukan wacana dalam islam yang bersifat adnosentris. Oleh karena sejarah ini ditulis dan dikembangkan oleh laki-laki sehingga idenya bersifat patriarkis. Aspek ini patut diduga mempengaruhi citra perempuan dalam wacana tertulis.

****

Dengan melihat keempat aspek diatas sangat wajar jika keberadaan fikih menjadi sasaran kritik. Fikih dinilai sebagi produk masa lalu di saat persfektif gender memang belum cukup populer. Karena perspektif gender memang produk modernitas. Jadi, tugas kita sekarang adalah mencermati kritik-kritik tersebut untuk kemudianmenjadi bahan untuk membangun fikih kita sebagai fikih yang memiliki perspektif keadilan gender.

Baca Juga  Eratkan Komunikasi Keluarga Demi Kesehatan Mental Pasca Pandemi

Fikih sebagai hasil ijtihad manusia yang tak lepas dari kelebihan dan kekurangan, tentu ada saja celah kelemahannya. Begitu juga, sebagai hasil ijtihad fikih sangat tergantung kepada konsep perubahan waktu dan tempat.

Ini tentu selaras dengan kaidah fikhiyah “alhukm yadudru maa illatihi” (Hukum itu mengikuti alasannya). Alasan ini bisa macam macam, ada alasan ras, etnis, sosio kultural, tanpa mengecilkan arti alasan keagamaan itu sendiri.

Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada para fuqaha’ memang ada beberapa hal dalam kitab fikih klasik yang telah selesai memenuhi tugas historisnya (jika sungkan untuk mengatakan sudah tidak relevan). Jika konsisten dengan kaidah fikhiyah di atas semestinya perlu adanya derekonstruksi.

Ayat-ayat ahkam yang bias gender juga harus mengalami kajian ulang dan tafsirkan kembali dengan pendekatan kesetaraan gender dan keadilan tentang relasi antara laki laki dan perempuan. Dalam aktualisasianya, trend pembahasan Fiqh an Nisa (fikih perempuan) sebagaimana yang disuarakan oleh kalangan feminis muslim beberapa tahun terakhir adalah suatu keniscayaan.

Untuk mengembangkan fikih baru yang bekeadilan gender sangat penting untuk menajdi perhatian; bahwa fikih tidak melanggar hak-hak asasi manusia secara umum. Serta prinsip prinsip ideal islam tentang keadilan, kemaslahatan dan kerahmatan untuk semua tanpa di batasi perbedaan jenis kelamin antara laki-laki atau perempuan.

Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya mendapat kedudukan, kesempatan dan balasan yang sama baik dalam penciptaan, ibadah, maupun, perlakuan hukum.

Bagikan
Post a Comment