f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
validasi

Validasi Harus Dihindari, Jati Diri Harus Dicari

Validasi adalah kebutuhan kebanyakan pemuda masa kini sangatlah kreatif. Kretativitas para pemuda tidak lepas dari peran media sosial. Adanya media sosial membantu mereka mencari inovasi dalam berkarya. Hampir semua anak muda pasti memiliki akun media sosial seperti Instagram, TikTok, X, Youtube, dll. Mereka memiliki akun tersebut untuk mengembangkan bakat seperti influencer, selebgram, artis, dll. Selain itu pemuda yang tidak memiliki ketertarikan terhadap dunia hiburan memanfaatkan akun mereka untuk sekedar mencari informasi dan penikmat hiburan.

Fungsi Media Sosial

Media sosial semakin lama beralih fungsi dari sumber informasi menjadi sarana untuk membranding diri. Generasi milenial dan Gen Z kebanyakan memiliki dua akun pada setiap media sosial. Tentu saja kedua akun tersebut memiliki fungsi yang berbeda. First account atau akun utama biasanya berguna untuk membrandingkan diri mereka pada para pengikut. Pada akun utama pemilik akun akan mengunggah konten yang berhubungan dengan personal branding mereka. Biasanya waktu mengunggahnya terjadwal dan terstruktur.

Sedangkan pada second account atau akun sampingan berfungsi untuk arsip momen keseharian dan hanya mengikuti beberapa teman dekat saja sehingga tidak jarang akunnya bersifat private. Pada akun ini pemilik akun bebas berekspresi tanpa memedulikan waktu dan konsep personal branding.

Lalu pertanyaan muncul. Apakah media sosial juga beralih fungsi menjadi ajang mendapatkan validasi dari orang lain? Pertanyaan ini muncul akibat dari banyak public figure memamerkan kehidupan, kesuksesan, harta, dan banyak hal lainnya. Hal yang mereka tuju adalah mendapatkan kepuasan dari komentar netizen yang memuji keberhasilan mereka.

Tanpa sadar, masyarakat melek teknologi seperti sekarang ini haus validasi. Validasi ini bisa berasal dari keluarga, teman, bahkan orang asing sekalipun. Individu akan merasa bahagia apabila ada yang memuji pencapaian seseorang bahkan hal remeh sekalipun seperti cara berpakaian bisa menjadi validasi yang mereka inginkan.

Baca Juga  Pengalaman Perempuan sebagai Pra Syarat Social Justice
Hasil dari Haus Validasi

Mendapatkan validasi tidaklah salah. Validasi bisa berguna bagi mereka yang memang membutuhkan itu sebagai sumber dukungan karena stres atau depresi. Sesekali ingin mendapatkan validasi untuk penyemangat supaya menjadi lebih baik. Namun sengaja melakukan sesuatu untuk mendapatkan validasi orang secara terus menerus bukanlah hal yang baik.

Haus validasi hanya mementingkan pendapat orang lain. Sering kali individu melupakan kebahagiaannya sendiri. Ini akan berdampak pada krisis identitas. Mereka tidak tahu apa bakat, keinginan, dan cita-cita mereka sebenarnya. Sama saja mereka membuang waktu, tenaga, dan pikiran hanya untuk memuaskan orang lain.

Tidak jarang individu yang haus validasi akan bersikap impulsif. Sering kali melakukan sesuatu tanpa memikirkan konsekuensinya. Biasanya sikap impulsif ini adalah konsumtif. Demi validasi mereka rela menghamburkan uang memuaskan targetnya. Apa yang sedang viral sebisa mungkin mereka ikut tren tersebut dan membuatnya lebih menarik. Mereka tidak peduli dengan biayanya. Hal yang terpenting adalah jumlah like dan komentar dari para pengikutnya.

Efek jangka panjang dari validasi adalah overthinking. Individu akan merasa tertekan setiap waktu karena memikirkan hal apa yang akan membuat orang lain terkesan. Mereka akan merasa gundah dan khawatir apabila tidak ada yang memberikan validasi. Tidak jarang individu yang tidak bisa mengatasi ini akan mengalami depresi, stres, dan kepribadian ganda.

Self Disclosure Serupa Tapi Tidak Sama dengan Haus Validasi

Mengesampingkan fungsi media sosial sebagai sarana mendapatkan validasi, media sosial bisa berguna sebagai wadah berekspresi. Tidak menutup kemungkinan unggahan konten yang sama dengan mereka yang haus validasi. Perbedaannya terletak pada fokus unggahan sebagai self disclosure atau pengekspresian diri. Mereka tidak mementingkan like dan komentar, namun lebih fokus pada energi sosial yang berasal dari konten. Selain itu mereka memang tidak ingin menjadi orang yang terkenal karena sukses dan berhasil. Misalnya, mengunggah pengalaman menjadi mahasiswa luar negeri. Pemilik akun ingin berbagi pengalaman supaya bisa menginspirasi orang lain untuk bisa mencari beasiswa belajar di luar negeri.

Baca Juga  Tentang Mereka yang Berbicara Tanpa Suara

Allah berfirman pada QS. An-Naml ayat 64:

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

Artinya: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara ghaib kecuai Allah.”

Dari ayat tersebut mengartikan bahwa niat seseorang berbuat kebaikan hanya diketahui oleh yang melakukan dan Allah. Memviralkan kebaikan bisa menjadi sarana untuk memberikan motivasi pada orang awam untuk ikut berbuat kebaikan. Setidaknya dengan memviralkan hal-hal baik adalah cara memperlihatkan nikmat yang diberikan Allah kepada para makhluk-Nya.

Self disclosere bukanlah contoh perbuatan riya’ apabila dari awal berniat untuk memberikan motivasi. Sebaiknya sebagai penikmat media sosial kita lebih baik mencari kesibukan positif untuk memperbaiki diri dan mengintrospeksi diri alih-alih membicarakan pencapaian orang lain.

Fokus pada diri sendiri lebih manfaat. Kita bisa tahu apa yang memang kita butuhkan dan tidak. Dengan demikian kita bisa memutuskan apa hal yang harus ditempuh dan konsekuensinya. Hidup akan berjalan dengan damai dan penuh dengan harmoni.

Bagikan
Post a Comment