f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
tujuan hidup

Tujuan Hidup

Alina keluar dari ruang dosen dengan perasaan hampa dan capek yang luar biasa. Ia merasa lelah dengan berbagai revisi dari tugas akhir yang membebaninya. Ya, kehidupan sebagai mahasiswa semester kritis memang tidak pernah menyenangkan.

“Habis ini mau langsung ke mana?” Tanya Livi. Mereka berdua sudah menjadi kawan seperjuangan. Berteman akrab sejak awal-awal menjadi mahasiswa baru. “Mau langsung balik ke kos?”

Alina mengangguk, mengiyakan. Ia sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk sekadar menjawab pertanyaan Livi. Mereka berdua kemudian beriringan menuju tempat parkir fakultas setelah mengucapkan salam satu sama lain. Lalu berpisah untuk kemudian menuju kos masing-masing.

Alina merasa akhir-akhir ini ia sangat kelelahan. Bukan secara fisik, melainkan secara mental. Dari luar, orang lain mungkin menganggapnya baik-baik saja, karena ia jelas tampak normal dan sehat, hanya kurang bertenaga.

Namun jauh di dalam hatinya, Alina tahu kalau ia sudah diambang batas. Ia merasa lelah dengan revisi yang seolah nggak pernah berakhir. Membuatnya ragu apakah ia akan bisa lulus tepat waktu, sesuai target yang telah ditetapkannya.

Ia juga mulai gamang dalam menghadapi kehidupan setelah kampus ini, jadi apakah ia nanti di masyarakat? Apakah ia akan langsung mendapatkan pekerjaan dan memiliki penghasilan sendiri? Ataukah ia akan tertinggal dari teman-temannya yang lain?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat Alina pusing, ditambah lagi kehidupan yang semakin berat sebagai mahasiswa semester akhir. Setiap hari, ia berharap waktu berjalan lambat. Ia mulai merasa takut menjalani hari esok dan berharap semuanya segera berakhir.

Dengan menyumpal telinganya menggunakan earphone, Alina tertidur diiringi lagu-lagu galau tentang keresahannya akan hidup yang semakin tak tentu arah ini.

Alina keluar dari ruang dosen pembimbingnya dengan muka lesu. Ia baru saja selesai bimbingan skripsi dan mendapatkan instruksi untuk mengubah total penelitiannya. Menurut dosen pembimbingnya, isu yang ia angkat nggak lagi relevan, jadi ia bakalan kesulitan dalam mencari data-data penunjang.

Baca Juga  Cinta Ifah untuk Ibu

Padahal, dosennya tersebut sebelumnya menyetujui saja saat ia mengajukan topik proposal penelitiannya. Sekarang, saat dirinya sudah setengah jalan dalam mengerjakan skripsi, tiba-tiba saja beliau menyuruh untuk diganti saja. Kepala Alina rasanya mau meledak. Ia sudah kelelahan.

“Alina!”

Alina menoleh dan mendapati Livi berlari padanya dengan muka berseri-seri. Perasaan Alina tiba-tiba saja tidak enak. Ia merasa Livi akan menyampaikan informasi yang justru tidak disukainya.

“Bab tiga penelitianku baru saja di-ACC dan rencananya minggu depan akan mulai buat seminar proposal.” Livi menyampaikan kabar tersebut dengan semangat berapi-api. “Penelitianmu gimana?”

Alina tersenyum masam. “Ada sedikit kendala, tapi masih bisa dikendalikan kok.” Alina sengaja berbohong, ia tidak mau Livi mengasihaninya. Ia juga iri pada pencapaian Livi yang sudah bisa seminar proposal minggu depan, sedangkan dirinya harus mengulang dari awal lagi.

“Kamu sudah makan siang? Makan bareng, yuk!” Livi mengajak Alina untuk mengunjungi kantin fakultas. “Hari ini biar aku yang traktir, anggap saja sebagai bentuk syukur atas kemajuan skripsiku.”

Alina tersenyum setengah hati dan menggeleng. “Maaf, aku nggak bisa. Ada kegiatan setelah ini. Duluan, ya.” Alina nggak menunggu Livi menjawab. Ia langsung pergi begitu saja. Bahkan nggak mengucapkan salam seperti biasanya. Hal tersebut membuat Livi kebingungan.

“Apakah aku melakukan kesalahan?” gumam Livi.

Alina menunggu angkot di pinggir jalan. Hari ini ia tidak membawa motor karena sejak kemarin motornya bermasalah. Terpaksa ia bawa ke bengkel dan ternyata masih harus menginap di sana. Ia menghembuskan napas dengan dramatis.

Alina menaiki angkot yang berhenti di depannya. Hanya ada seorang pemuda berusia tanggung di dalamnya. Di dalam angkot, pikirannya melayang ke mana-mana. Akhir-akhir ini, Alina merasa nggak lagi bersemangat menjalani hari-harinya. Tidak ada sesuatu yang ingin dilakukannya selain lulus secepat mungkin, kalau perlu hanya 3.5 tahun.

Namun, sepertinya keinginan tersebut akan sulit untuk dicapai. Berbagai rencana yang disusunnya banyak yang tidak sesuai mencapai target. Bahkan melenceng jauh. Ia merasa terombang-ambing dan kebingungan.

Baca Juga  Bola Kesayangan Galang

Alina merogoh tasnya saat angkot sudah hampir sampai di gang kosnya. Namun, semakin dalam merogoh, Alina sama sekali tidak menemukan dompetnya padahal, sebelum naik angkot tadi, dompetnya masih ada.. Ia kembali merogoh bahkan membuka tasnya lebar-lebar. Seketika wajahnya pucat pasi.

“Pak, dompet saya sepertinya hilang,” Alina berbicara dengan suara bergetar. Masih merasa kaget. “Saya sama sekali nggak punya uang buat ongkos.”

Sopir angkot tersebut kaget. “Apa mungkin kena copet sama penumpang yang turun sebelumnya?”

Alina menggeleng tidak tahu, air matanya perlahan turun. ”Saya nggak tahu, Pak. Saya tadi nggak fokus.” Dalam hati, Alina merutuki kebodohannya yang teledor dan tidak bersikap waspada.

“Ya sudah, nggak apa-apa, Neng.” Sopir angkot tersebut menenangkan. “Lain kali hati-hati, ya.”

Alina berterima kasih, kemudian turun dan berjalan dengan langkah berat ke kamar kosnya. Sesampainya di dalam kamarnya, ia menangis. Meratapi betapa sialnya ia akhir-akhir ini.

Sudahlah proposalnya harus dirombak dan dibuat ulang, motornya masuk bengkel, temannya yang lebih dulu dapat jadwal seminar proposal dan mendahuluinya, hingga barusan ia kecopetan. Alina merasa seluruh semesta sedang berkomplot untuk menyiksanya.

Hari ini Alina tidak ada jadwal bimbingan skripsi, namun ia tetap memilih ke kampus. Ia masih dalam suasana berduka akan musibah yang dialaminya kemarin. Tapi berada di kamar kosnya semakin membuatnya gelisah.

Pikirannya kalut dan ia merasa hilang arah. Alina seolah kehilangan tujuannya untuk hidup. Baginya, Allah tidak adil. Masalah yang dihadapinya sungguh berat dan bertubi-tubi.

Alina mendongak saat terdengar alunan suara azan dari speaker masjid kampus. Alina melangkah ke sana. Entah mengapa, ia merasa terpanggil untuk segera melaksanakan salat Zuhur.

Selesai salat, Alina tidak segera melepaskan mukenanya. Ia mendengarkan imam masjid yang memberikan ceramah agama.

Baca Juga  Bangkit dari Kegagalan dengan Menulis

“Sesungguhnya, dunia adalah tempat sandiwara, maka janganlah kamu terlena. Dunia hanyalah sementara, maka janganlah kamu sampai terjebak di dalamnya. Menggenggamnya erat hingga membuatmu lupa pada tujuan akhirat.”

Mata Alina basah. Ia merasa diingatkan dengan pesan-pesan tersebut. Akhir-akhir ini, ia merasa terlalu fokus pada dunia. Bagaimana ia mulai meninggalkan salat-salat sunah dan zikir pagi-petang. Ia bahkan sempat kelewatan salat isya karena memilih untuk tidur lebih dulu. Ia lalai.

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”

Air mata Alina semakin deras. Selama ini ia selalu berfokus pada kesulitannya, padahal ada banyak pertolongan Allah yang datang setelahnya. Ia mengingat setelah kecopetan, sopir angkot dengan baik hati menggratiskan ongkosnya. Teman di samping kamarnya juga meminjamkannya uang untuk biaya hidup.

“Maka ingatlah firman Allah: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”

Alina semakin sesenggukan. Ia yang akhir-akhir ini merasa kehilangan arah dan tujuan hidup, akhirnya menemukan arahnya kembali. Bagaimana dan untuk apa ia menjalani hidup ini. Bahwa manusia hanyalah tempat berencana, sedangkan Allah yang menentukan.

Alina merasakan seseorang memeluk bahunya. Ia mendongak dan melihat Livi yang memeluknya dengan mata basah. Tangisan Alina semakin kencang. Ia mengingat bagaimana dirinya tidak tulus dan merasa iri pada pencapaian Livi. Ia menjauh dan memutus tali silaturahmi dengan Livi. Namun, Livi sama sekali tidak mendendam.

“Aku nggak tahu apa masalahmu, tapi kamu nggak sendirian. Ada aku.” Bisik Livi sambil mengeratkan pelukannya.

Alina membalas pelukan Livi. Kini, ia merasa kembali menemukan arah dan tujuan hidupnya. Ia akan mulai menatanya kembali dengan pelan-pelan. Tentu saja semuanya akan dimulai dengan meminta maaf yang tulus pada Livi.

Bagikan
Post a Comment