f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
bapak rumah tangga

Trend Bapak Rumah Tangga dan Usaha Penyetaraan Gender Melalui Pengasuhan

Trend Bapak Rumah Tangga

Setiap malam, suami saya mengurus cucian baju di rumah kami. Ia memasukkan pakaian kotor ke mesin, memasang hanger, hingga menjemur baju-baju kami sekeluarga. Ia juga tak ragu untuk mencuci tumpukan piring kotor dan alat masak yang kadang menumpuk di wastafel. Lewat media sosial, kita bisa tahu bahwa apa yang suami saya kerjakan tadi adalah hal yang lumrah.

Saat ini, semakin banyak kaum bapak yang biasa mengerjakan hal-hal yang tadinya dianggap sebagai tugas ibu rumah tangga. Seorang bapak bisa memasak, bisa berbelanja, bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah, dan mengurus rumah tangga sudah bukan hal yang mengherankan lagi. Bahkan, semakin banyak pula laki-laki yang menyebut diri mereka sebagai bapak rumah tangga.

Keluarga Konvensional

Namun, situasi berbeda jelas masih terjadi di rumah-rumah yang menganut prinsip konvensional, bahwa pria tak seharusnya mengerjakan ‘pekerjaan perempuan’. Istilahnya saja sudah salah kaprah: pekerjaan perempuan. Sayangnya, istilah tersebut masih melekat pada keluarga-keluarga yang kulturnya dominan patriarki.

Saya teringat suatu peristiwa yang terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu di rumah bapauda (paman) saya. Saat itu opung boru (nenek), marah besar karena melihat bapauda mencuci baju kotor milik bayi dan istri nya. Opung boru memarahi inanguda (istri  dari bapauda) dengan menyebutnya tak tahu malu karena membiarkan suaminya mencuci popok bayi, daster, dan pakaian dalamnya. Inanguda hanya bisa menunduk dan meminta maaf.

Peristiwa semacam itu, nyatanya masih sering  terjadi di sekitar kita. Kisah-kisah tentang kesetaraan dalam rumah tangga hingga soal bapak rumah tangga yang ramai di media sosial, masih kalah populer dengan kultur patriarki yang terlanjur mengakar.

Lelaki sering kali ditempatkan di tempat tertinggi dan dihormati dengan cara membebastugaskan mereka dari pekerjaan rumah tangga. Padahal, rasanya pembebastugasan lelaki dari pekerjaan rumah tangga justru rawan menjadi pemantik konflik dalam rumah tangga itu sendiri.

Baca Juga  Prinsip-Prinsip Kesetaraan Gender dalam Pandangan Nasaruddin Umar
Modeling pada Pengasuhan Anak

Pembebastugasan lelaki dari pekerjaan rumah tangga sering kali tak hanya berlaku untuk kaum bapak. Kadang, pola yang serupa terjadi juga dalam pengasuhan. Biasanya terjadi  dalam keluarga yang anak sulungnya laki-laki. Misalnya, menyuruh adik perempuan mengambilkan kudapan untuk kakak lelakinya. “Ambilkan dulu kue untuk kakakmu, kasihan dia sudah capek sepedaan.”

Dalam contoh tersebut, orang tua seakan sedang menanamkan bahwa adik perempuan wajib melayani kakak lelakinya. Penerapan model pengasuhan yang seperti ini rawan membentuk sikap arogan serta egois pada anak sulung laki-laki. Contoh yang saya sebutkan tadi, dapat dengan mudah ditemukan dalam keluarga-keluarga yang dalam kulturnya mengakar kuat konsep patriarki.

Tak bisa dipungkiri bahwa masih banyak orang tua yang tanpa sadar masih mewariskan model yang buruk untuk diimitasi oleh anak-anaknya. Idealnya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan bisa harus kenal dengan  pekerjaan rumah tangga sejak masih belia. Caranya bisa dengan mengajak anak terlibat dalam pekerjaan rumah tangga sesuai dengan minat anak.

Idealnya, tak mengapa jika seorang anak perempuan lebih suka ikut mencuci kendaraan bersama ayahnya. Tak mengapa pula jika seorang anak laki-laki lebih suka ikut mengupas bawang bersama ibunya. Apa pun minat anak, pekerjaan rumah seperti menjaga kebersihan rumah perlu dibiasakan untuk dikerjakan bersama.

Pembiasaan tersebut juga perlu dilengkapi dengan melatih kemandirian anak untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Kombinasi dua kebiasaan baik tersebut, harapannya dapat membentuk anak menjadi manusia yang kelak adil terhadap perihal kesetaraan gender dalam rumah tangga.

Tantangan Bersama

Memang bukan hal yang mudah untuk menerapkan perihal kesetaraan gender secara ideal di mana saja. Bahkan, pembiasaan baik  yang dilakukan di lingkup keluarga pun tak bisa jadi jaminan bahwa kelak anak pasti menjadi pribadi yang lebih adil. Tetap saja ada banyak faktor pembentuk eksternal yang dapat anak jumpai dalam masa pertumbuhan di lingkup sosialnya.

Baca Juga  Kartini dan Pesan-Pesan Kesetaraan Gender

Misalnya, dalam kelompok pertemanan anak saya di desa kami. Sorakan, “Weee, gembeng.”  yang artinya cengeng sering terdengar saat ada salah satu anak lelaki yang menangis. Begitulah kenyataannya, di lingkungan sekitar, anak laki-laki seakan tak boleh menangis. Sementara itu, jika ada anak lelaki yang terluka saat bermain dan tidak menangis akan dielukan sebagai anak yang hebat dan kuat.

Ketika peristiwa serupa terus terjadi dalam keseharian anak, bisa saja anak akan punya cara pandang baru tentang seperti apa sosok lelaki hebat berdasarkan peristiwa sepele yang terus dialaminya. Padahal lelaki hebat bukan berarti nggak boleh menangis dan harus terus dilayani, bukan?

Usaha-usaha orang tua untuk memberi contoh di rumah pada akhirnya menjadi salah satu ikhtiar yang harapannya dapat menjadi pondasi paling kuat dalam benak anak. Buahnya mungkin tidak instan. Perlu menunggu buktinya kelak saat anak-anak telah menjadi manusia dewasa dan hidup bermasyarakat.

Harapan akan kesetaraan gender dalam rumah tangga semakin tumbuh melihat trend bapak rumah tangga saat ini. Semoga, kelak, tak akan ada lagi opung-opung yang marah saat melihat cucu lelakinya mencuci baju, belanja ke pasar, atau mengurus anak. Saat hari itu tiba, definisi lelaki hebat pasti bukan lagi yang serba kuat secara fisik dan pantang menangis. Lelaki hebat adalah mereka yang dengan sadar mau bekerja sama dengan istri  secara seimbang.

Bagikan
Comments
  • Wurry Srie

    Keren Mbk But…

    Desember 30, 2021
Post a Comment