f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
candaan seksis

Tren yang Menghancurkan: Saatnya Mengakhiri Penggunaan Candaan Seksis

Saat ini kita disajikan dengan adanya kosa kata atau istilah baru, bahkan singkatan dari beberapa kata apabila diartikan akan menjadikan risih bagi yang mendengar. Ditambah lagi istilah tersebut ternyata bernilai negatif dan merendahkan perempuan. Kita ambil tiga istilah yang sedang tren saat ini, yaitu Ceker Babat, Tobrut dan The Nuruls. Dua yang disebutkan di awal adalah bentul labeling dari segi fisik perempuan. Sedangkan The Nuruls mengarah kepada gaya berpakaian. Entah bagaimana awal munculnya dan siapa pencetusnya, ini bukan sebuah prestasi yang layak dibanggakan, lantas merasa perbendaharaan kosa kata kita bertambah. Ini menandakan adanya krisis etika pada masyarakat kita. Ketiganya sudah terlanjur berseliweran di lini masa dan dikenal oleh banyak orang, bahkan dinormalisasi.

Tobrut dan ceker babat adalah bentuk objektifikasi kepada perempuan. Perempuan dijadikan objek seksual, tanpa memperhatikan nilai dan harga diri mereka sebagai manusia. Dua istilah tersebut sering kali digunakan untuk bahan candaan, mempermalukan, dan mencela fisik perempuan secara tak layak. Bisa dikatakan ini adalah istilah yang merusak. Merusak kosa kata, merusak pikiran dan merusak akhlak. Kemudian diperparah dengan argumen bahwa itu merupakan kesalahan perempuan dalam berpakaian, bukan mata dan pikiran yang liar.

Kemudian istilah The Nuruls yang tidak kalah meresahkan. Walaupun jika kita bedah dari segi bahasa, nurul artinya cahaya, bisa cahaya kebaikan, cahaya keadilan, atau cahaya secara umum yang berafiliasi pada hal-hal yang positif. The Nuruls, dalam trend saat ini ditujukan untuk anak-anak muda yang memiliki selera fashion yang underdressed. Bahkan pemberian kriteria bahwa The Nuruls mencerminkan gaya hidup yang sederhana dan konservatif. Istilah ini tentu mengarah pada penghinaan. Menjadi pertanyaan, kenapa harus nurul, sampai sekarang saya belum menemukan korelasi antara nama nurul dengan stigma negatif ini.

Baca Juga  Yakin Sudah Paham Sex Education?
Bahaya Laten Normalisasi Bahasa Patriarki

Bahasa adalah suatu alat komunikasi yang dimiliki manusia berupa sistem lambang bunyi yang berasal dari alat ucap atau mulut manusia. Kata-kata dalam bahasa memiliki makna dan hubungan abstrak dengan suatu konsep atau objek yang dituju. Permasalahan penggunaan bahasa yang sering terjadi tetapi jarang mendapat sorotan khusus dari masyarakat adalah pelecehan perempuan, penyebutan predikat yang berasal dari sudut pandang laki-laki dan penindasan perempuan melalui bahasa yang kerap terjadi pada percakapan sehari-hari.

Ketiga hal tersebut oleh Shirley Ardereer disebut sebagai bahasa patriarki. Bahwa ucapan perempuan muncul karena laki-laki memberikannya label ‘perempuan’. Label tersebut mencakup kata-kata yang secara umum merujuk pada istilah sapaan dan idiom. Permasalahannya adalah bentuk-bentuk tersebut mencakup formasi konsep dalam kerangka pemikiran yang dikonstruksi oleh laki-laki tanpa mempertanyakan kesediaan perempuan dalam mendapatkan label tersebut.

Jika dilihat dari fenomena munculnya 3 istilah: The Nurul’s, Tobrut, dan Ceker Babat adalah termasuk dalam tiga bahasa patriarki sekaligus. Pertama, termasuk dalam pelecehan seksual karena penggunaan istilah Tobrut dan Ceker Babat mengarah pada bagian tertentu pada fisik perempuan. Penilaian tersebut mengandung objektifikasi terhadap perempuan. Efek paling terlihat dari objektifikasi perempuan adalah self-objectification, yang jika dibiarkan akan mengganggu kepercayaan diri seseorang.

Kedua, termasuk dalam penyebutan predikat yang berasal dari sudut pandang laki-laki, karena istilah itu dimunculkan tanpa ada afirmasi dari perempuan. Tentu saja istilah The Nuruls, Tobrut dan Ceker Babat ini muncul dari perspektif laki-laki melihat perempuan. Secara sepihak laki-laki menyebut tiga istilah tersebut untuk melakukan penilaian terhadap perempuan, yang mengarah pada fisik dan penampilan. Yang pada akhirnya dianggap normal oleh laki-laki, padahal melukai perempuan.

Baca Juga  Budaya Jawa dalam Isu Gender di Era 4.0

Ketiga, termasuk dalam penindasan perempuan melalui bahasa yang sering terjadi pada percakapan sehari-hari. Semakin sering disebut baik di media sosial melalui konten video maupun kolom komentar dan percakapan sehari-hari maka akan menjadi familiar dan dianggap sesuatu yang wajar. Ini berpengaruh signifikan terhadap dampak psikologi mereka dan akan memengaruhi kepercayaan diri perempuan dalam partisipasi di ruang publik.

Seksisme dan Misogini

Selain bahasa patriarki, munculnya trend istilah tersebut adalah bukti masih mengakarnya perilaku seksisme dan misogini di masyarakat kita. Misoginis merujuk pada sebuah lingkungan atau sistem sosial di mana perempuan menghadapi perlakuan koersif, tidak bersahabat, dan yang berbau kebencian. Bagaimana perempuan selalu berada di bawah bayang-bayang standar semu tentang perilaku dan penampilan yang seharusnya. Seksisme lebih menitik beratkan pada kekuatan pemikiran dan penilaian bahwa laki-laki superior, sementara perempuan inferior.

Seksisme dan misoginis dalam persoalan ini tumbuh subur karena mendapat respon yang tinggi dari masyarakat, dijadikan sebagai candaan sehari-hari dan dijadikan hal yang wajar. Keduanya bekerja sama dalam menciptakan relasi sosial yang tidak sama. Ketika laki-laki membuat candaan kotor dan istilah yang mengarah pada bagian tubuh perempuan, berarti itu misogini. Namun, ketika laki-laki menganggap bahwa perempuan memiliki standar penampilan atau fashion tertentu, berarti itu seksisme. Karena perlakuan itu berbasis pada stereotip dan pemikiran bahwa perempuan harus mengikuti standar dan nilai kecantikan tertentu.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Ketiga istilah tersebut tidak pantas digunakan dalam kondisi dan situasi apapun. Bukan sekedar mengurangi penggunaan istilah tersebut, tapi memang harus dihentikan sepenuhnya, karena munculnya istilah tersebut menjadi cerminan kualitas sumber daya manusia bangsa kita. Banyak cara bisa kita lakukan mulai dari cara persuasif, memberikan edukasi, dan memberikan teguran secara langsung. Jika munculnya Tobrut, Ceker Babat, dan The Nuruls ini lewat media sosial, maka kita juga bisa memanfaatkan media sosial untuk memberikan edukasi bahwa istilah tersebut mengandung unsur merendahkan perempuan dan harus dihentikan. Karena jika dilanjutkan akan muncul lagi istilah-istilah baru yang sama sehingga menormalisasikan objektifikasi perempuan melalui bahasa.

Bagikan
Post a Comment