Site icon Inspirasi Muslimah

Tips Menjadi Bulik Ideal Untuk Keponakan

keponakan

Shofiyatun

Only an aunt can give hugs like a mother, keep secrets like a sister, and share love like a friend,” tulis Trinity sebagai salah satu bagian kalimat di kutipan instagramnya.

Sebagai tante dari 9 ponakan. Keponakan termuda berusia sekitar 3 tahun, keponakan tertua sekarang semester 4. Kira-kira sekitar 20 tahun usianya. Iya, saya itu tidak pernah hafal berapa persisnya usia para ponakan. Saya hanya mengira-ngira dari jenjang pendidikannya.

Bayangin saja, ada 9 ponakan. Saya pertama kali punya keponakan ketika masih SMP ketika teman-teman saya bermain dengan adik-adiknya. Saya bermain dengan keponakan karena saya memang bungsu dari 5 bersaudara dengan jarak kakak-kakak yang lumayan terpaut jauh. Dari kakak yang pas di atas saya jarak usianya sekitar 9 tahun. Dan dengan kakak tertua ada sekitar 15 tahun jarak usianya.

Dengan ponakan sebanyak itu saya berusaha menjadi tante/bulik yang ideal buat mereka. Dan ini tipsnya (urutan nomor bukan berdasar skala prioritas ya) :

1. Angpau lebaran dan hadiah-hadiah kecil.

Setiap tahun saya selalu menganggarkan sejumlah dana untuk para keponakan ini. Tentu saja angpaunya nilai nominalnya tidak sama rata. Saya bagi berdasarkan rate usia. Misal yang dibawah 5 tahun angpaunya 10 ribu saja. SD angpaunya 25 ribu. SMP angpaunya 50 ribu. SMA angpaunya 100 ribu. Dan ketika kuliah 200 ribu. Begitu juga dengan hadiah-hadiah kecil. Di tahun tertentu saya menganggarkan untuk kue ulang tahun mereka. Saya bilang ke mereka jatahnya sekian, kalian cari sendiri kuenya nanti saya transfernya. Hadiah-hadiah kecil terkadang juga berupa jajan-jajan lucu kalau kita keluar bareng.

2. Menjadi teman bermain dan berbagi rahasia kecil

Ada hal-hal tertentu yang membuat ponakan takut bertanya sama orang tuanya. Misal terkait gejala pubertas. Pernah di suatu pagi ketika saya sedang asyik nonton TV keponakan laki-laki saya yang beranjak dewasa nyamperin. Kemudian berbisik, “Lek, mimpi basah itu apa sih?”

Atau pernah juga ketika saya asyik ngopi sambil mantengin kerjaan hape saya berdering dengan nama kakak ipar saya tertera di layar. Begitu saya angkat ternyata yang nyaut suara bocah kecil. Dia mengabari kalau sedang membawa hape bundanya ke sekolah. Mau ngabarin ayahnya dia terlalu takut dimarahi. Jadi ngabarin Lek saja ga bakal dimarahin.

Dan tentu saja, setelah itu saya ngabarin kakak saya agar jangan panik kalau hape di rumah ga ada. Dan tentu saja ditambahin dengan permintaan agar jangan memarahi keponakan tersayang ini.

Makin kesini dengan semakin naiknya usia, saya otomatis juga gampang lelah. Tidak se on fire dulu kalau maen sama ponakan. Dan kok yaaa… para ponakan ini selalu saja, ada cara untuk membangkitkan saya dari rebahan sepanjang hari.

Di sebuah pagi nan syahdu di akhir pekan,  saya tentu saja masih asik rebahan bergelung bantal setelah lelah bekerja sepanjang hari sepanjang minggu. Tiba-tiba :

“Assalamualaikum!! Pakeeet!”

Saya bangun sambil masih berada diambang batas antara ngantuk dan sadar, sambil dumel-dumel penuh emosi kok bisa ada paket langsung masuk kamar.

“Tapi bohong!!”

Begitu kata yang terucap dari seorah bocah yang kemudian lari kabur sambil kemekelan begitu saya membuka mata. Yang ada emosi langsung hilang berganti ikutan ngakak.

***

Atau di another moment yang lain, ketika saya lagi enak rebahan sambil ngegame Pokemon Go ini bocah sudah ikutan nimbrung aja. 

“Yee.. lek sudah besar kok masih suka ngegame.”

“Yeee… ngegame itu bukan buat anak kicik aja kaliii.”

“Iya .. bunda juga kadang suka ngegame juga, terus dapat uang?”

Atau another moment yang lain pas anaknya nimbrung di kamar :

“Hmmm… bantalnya lek bikin hidung ndek hachim hachim” (bantalnya lekpis bikin hidung adek wahing-wahing)

“Apa kamu komentar terus. Sana pergi maeeeen!!”

“Ndaaaak.”

“Sanaaaa!”

“Ndaaaaak! “

Atau pas lagi nongkrong di lincak depan rumah ini bocah tetiba bilang :

“Ndaaa.. lek iniloh. suka cium-cium ndek. mana banyak-banyak lagi. sini.. sini.. “(lek iniloh suka cium-cium adek, mana di banyak tempat pula. sini (sambil nunjuk hidung, pipi, dahi)).

“Soalnya ndek masih kecil. enak dicium-cium, kalau sudah besaar.. yeee males lah! Baaaauuuu!!” ujar saya.

Atau ketika melihat saya  pakai jilbab plus masker, pasti nanya:

“Lek mau kemana? Ndek ikuut.”

“Jangan ih. Lek mau ke Alfamart.”

“Ndek ikuut…”

Dan tetiba aja si bocah udah megang kaki gelandutan di betis kek sinetron-sinetron, hadeee…

3. Follow Akun Social Media Keponakan Tanpa Harus Julid Menghakimi

Ponakan yang usia remaja tentu saja beda treatmentnya dengan keponakan yang masih bocah. Keponakan saya yang sudah SMU dan kuliah. Dia dipondokkan sama orangtuanya. Dasar anak cowok di usia lagi rebel-rebelnya. Beberapa kali kabur dari pondok untuk naik gunung sama teman-temannya. Dia sudah pasti tidak ngabarin saya. Saya hanya tahu bahwa kondisi dia sekarang sedang sehat dan selamat. Sesekali ngasih tombol like dan komen love di postingannya. Atau kalau dia posting yang berbau galau saya pasti like. Bukan buat julid tapi sebagai pertanda bahwa saya ada di sini. Selalu melihat dari jauh. Kalau ada apa-apa lengan saya terbuka lebar untuk menyambut.

Selain itu juga untuk memantau siapa saja teman-temannya, seperti apa circle pergaulannya buat berjaga-jaga kalau ada apa-apa harus ngontak ke siapa. 

Masih mengutip caption Trinity : “An aunt not only to brother’s children, but also sister’s children. Aunt always spends fun time with them with no need to feed them or dealing with their tantrums.

Bagikan
Exit mobile version