Site icon Inspirasi Muslimah

Sunat Perempuan : Fatwa dan Peraturan di Indonesia

fatwa sunat perempuan

Sunat perempuan merupakan fenomena sejarah yang tidak ada habisnya menuai perdebatan hingga sekarang. Pro kontra sunat perempuan terus muncul dari banyak kalangan, mulai dari akademisi, tenaga medis hingga ulama. Pertimbangan yang diangkat pun bermacam-macam, mulai dari sisi medis, budaya, maupun agama.

Menurut Musdah Mulia, sunat perempuan dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kelangsungan identitas budaya; untuk menjaga kelanggengan relasi gender yang timpang dan tidak adil; untuk menjaga dan mengontrol seksualitas serta fungsi reproduksi perempuan;serta untuk menjaga kebersihan, kesehatan, dan keindahan tubuh perempuan, serta untuk alasan keagamaan.

Terlepas dari faktor agama dan budaya, sunat perempuan merupakan suatu usaha dalam melestarikan nilai-nilai patriarkal dan bias gender yang menomorsatukan kepentingan kaum laki-laki dan mendiskriminasi perempuan. Namun, orang-orang mengatakannya melakukannya atas dasar dalil-dalil yang ada di dalam Al-Qur’an dan hadis nabi. Praktik ini memiliki alasan lagi yaitu untuk mewujudkan “eksistensi perempuan” yang lebih islami.

Saking seriusnya masalah sunat perempuan ini hingga dikeluarkan produk-produk ketetapan demi menanggapi sunat perempuan sebagaimana yang telah disebutkan dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES), hingga  Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women (CEDAW). Pada 20 April 2006, melalui Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK 00.07.1.31047a tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan Pemerintah melarang pelaksanaan praktik sunat perempuan.

Surat edaran tersebut memperoleh respon dari MUI dengan Keputusan Fatwa No. 9A/2008 tentang Hukum Pelarangan Khitan Terhadap Perempuan yang menyebutkan bahwa khitan merupakan fitrah untuk laki-laki dan perempuan. Sementara segala bentuk pelarangan khitan berlawanan dengan syariah. Asal tidak berlebihan dan tidak melukai perempuan, khitan perempuan tidak boleh dilarang.

Fatwa-Fatwa

Selain Fatwa dari MUI, kita juga perlu untuk memperhatikan hasil fatwa dari dua organisasi kemasyarakatan Islam tertua dan terbesar di Indonesia. Lembaga Bahtsul Masail dari Nahdlatul Ulama mengeluarkan fatwa bahwa sunat perempuan memiliki dua hukum; yaitu wajib dan sunah.  Sedangkan Tarjih Muhammadiyah sebaliknya, tidak membolehkan segala bentuk praktik sunat perempuan.

Adapun pertimbangan tidak dibolehkan sebab Muhammadiyah berpendapat praktik ini merupakan bid’ah; bukan tuntunan agama tetapi tradisi yang akan merugikan perempuan yang disunat. Menurut Muhammadiyah, landasan hukum pelaksanaannya yaitu terletak pada dalil yang memerintahkan sunat pada laki-laki. Bagi sunat perempuan sendiri tidak ada dalil yang secara spesifik menyebutkannya. Oleh karena ketidaktegasan dalil ini menimbulkan pertentangan di kalangan ulama. Sehingga Tarjih Muhammadiyah, setelah menimbang manfaat dan madharat yang ditimbulkan, mengeluarkan fatwa bahwa sunat perempuan tidak boleh dilakukan.

Sunat perempuan kini termaktub dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/MENKES/PER/XII/2010 tentang Sunat Perempuan.  Namun, Permenkes ini terdapat pasal yang membingungkan; yaitu pada Pasal 2 Permenkes 6/2014 yang berbunyi: “Memberi mandat kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’k untuk menerbitkan pedoman penyelenggaraan sunat perempuan yang menjamin keselamatan dan kesehatan perempuan yang disunat serta tidak melakukan mutilasi alat kelamin perempuan (female genital mutilation).”

Indonesia Belum Tegas Soal Hukum Sunat Perempuan

Berdasarkan Hasil Kajian Kualitatif Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) di 10 Provinsi 17 Kabupaten/Kota yang dilakukan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan); ditemukan bahwa Permenkes ini memberikan keterangan yang membingungkan dan multi tafsir terhadap praktik sunat perempuan. Maksudnya adalah sebenarnya pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Kesehatan ingin menghentikan praktik sunat perempuan atau membolehkan praktik tersebut asalkan sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Hal-hal seperti itu bisa terjadi karena tidak ada penjelasan dan tindak lanjut dari Kemenkes maupun MUI terkait pasal tersebut.  Oleh karenanya, segala bentuk praktik sunat perempuan yang dilakukan oleh bidan maupun dukun pada hakikatnya tidak mempunyai dasar medis dan sangat berbahaya terhadap perempuan.

Berbeda dengan Indonesia, Mesir dengan progresifnya telah mengeluarkan undang-undang yang mengharamkan segala bentuk praktik sunat perempuan. Undang-undang tersebut dikeluarkan tidak lepas dari Fatwa Ulama Mesir tahun 2007 tentang larangan praktik sunat perempuan. Hal ini sejalan dengan peraturan tingkat internasional sebagaimana tercantum dalam pasal 12 CEDAW. Praktik sunat perempuan sudah jelas melanggar hak asasi manusia (HAM), khususnya hak anak, hak seksualitas, dan hak kesehatan reproduksi perempuan sebagaimana yang telah disebutkan dalam Konvensi tentang Hak-Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1990.

Meskipun World Health Organization (WHO) telah menentang dan mengecam keras praktik sunat perempuan, sayangnya Indonesia masih belum secara tegas menyikapinya. Terlihat dari peraturan yang dikeluarkan oleh Kemenkes yang berubah-ubah dan terdapatnya pasal yang ambigu dan karet. Berbagai perdebatan yang muncul belum dapat menemukan titik tengahnya sehingga perempuan lah yang menjadi korban.

Bagikan
Exit mobile version