f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
nenek

Sebuah Lorong, Dua Nenek, dan Panti Jompo (1)

Oleh : Fatma Ariana *

Setiap berangkat dan pulang kuliah, saya selalu melewati lorong sempit di belakang kos saya. Sebuah lorong yang berkelok-kelok dan selalu becek kalau hujan tiba. Di sepanjang lorong itu, ada 2 orang nenek yang hampir selalu bisa saya temui.

Nenek pertama berusia sekitar 65-an. Pagi-pagi buta, beliau sudah pergi kulakan ke pasar di Bale Endah (dulu di Dayeuhkolot). Walau gemuk, gerak-geriknya cekatan, bahkan kalau musim hujan tiba, nenek satu ini pergi ke pasar memakai sepatu boot. Jam 6-an ia sudah pulang naik andong dengan barang dagangan yang kadang sampai 2 karung besar. Dagangannya macam-macam dari sayur sampai jajanan anak-anak.

Nenek ini baik sekali pada saya, ketika saya mengalami kecelakaan dan harus dirawat di rumah sakit di Dayeuhkolot, dialah yang pertama kali datang –selain orang rumah– untuk menjenguk saya. Saya ditangisi dan diciumi seperti anak kecil, suatu hal yang bahkan nenek asli saya pun jarang melakukannya.

Pertemuan di Persimpangan

Jarak 1 rumah dari nenek pertama tinggallah nenek kedua berusia sekira 80-an. Tak peduli saya lewat pagi atau siang, nenek ini selalu duduk di kursi lusuh di pojok teras rumahnya. Tak ada yang dilakukannya, dia cuma duduk diam. Gelas seng besar dan rantang berisi nasi ikut-ikutan diam di samping bawah kursinya. Kalau ada orang lewat, dia menengok dan memandang dengan tatapan yang sulit saya jelaskan. Kadang saya beranikan diri menyapa, tapi tak pernah ada tanggapan berarti darinya, seulas senyuman pun tidak.

Satu hal yang membuat saya sering memikirkan nenek ini adalah kenyataan bahwa ia sering sekali menangis, bukan…bukan tangisan, mungkin lebih mirip rengekan, seperti suara keponakan saya yang kelelahan sehabis menangis meraung-raung meminta balon. Lirih, namun tak putus. Sambung-menyambung dengan irama yang konstan, ‘drenginging’ kalau kata orang Jawa. Tak jelas apa yang ditangisinya, kadang saya berpikir kalau nenek ini sepertinya menyesal masih hidup dalam usia lanjut tapi tak ada sesuatu berarti yang bisa dilakukannya, entahlah.

Baca Juga  Bertemu Kakek Pincang

Pernah suatu kali sehabis sholat Idul Adha 2 tahun lalu, saya lewat lorong itu. Banyak orang berkerumun di rumah si nenek, saya langsung berpikir bahwa nenek itu meninggal dunia, tapi dugaan saya meleset, orang-orang memang mengerumuni nenek itu, tapi bukan karena ia meninggal dunia, melainkan karena ia menangis.

Kejadian Tak Terduga

Kali ini tangisannya lain dari biasanya, ia menangis tersedu-sedu, keras sekali. Sampai di rumah, ibu kos saya bercerita, seorang laki-laki dari keluarga itu –entah anak atau cucu si nenek– tewas ditusuk orang dalam suatu perkelahian di pusat perbelanjaan Kings.

Jelaslah bagi saya apa arti tangisan nenek tadi. Tangisan kehilangan yang buat saya lebih terdengar sebagai tangis penyesalan dan sebuah gugatan : “Tuhan, kenapa bukan saya saja yang sudah tua dan tak berguna yang diambil?”. Gugatan itu mungkin sudah terjawab sekarang, hampir 2 semester ini saya tak pernah melihat nenek itu lagi, mendengar tangisannya yang memilukan atau sekedar memikirkannya.

Ketika Sabtu lalu saya ikut bakti sosial di panti jompo ‘Paku Tandang’ di Ciparay, saya jadi teringat lorong dengan 2 nenek itu. Lorong yang mewakili gambaran kehidupan usia senja dalam 2 sisi yang bertolak belakang, sisi yang satu masih bisa dan bersemangat menyambung hidup sementara sisi kedua (mungkin) hanya bisa menangisi hidup yang berkubang dalam ketidakberdayaan.

Sama dengan gambaran yang saya dapat dari panti jompo itu, di satu sisi masih banyak kakek-nenek yang masih lincah, masih bisa berjoget, bernyanyi, senam, bahkan mencuci baju sendiri, tapi ketika saya tengok ruang rawat khusus yang tampak adalah wajah-wajah pasrah penghuninya.

Sebuah Pesan dari Lorong

Tak banyak yang bisa mereka lakukan, berjalan pun paling hanya bisa sampai ke kamar mandi, ada juga yang sama sekali tak bisa berjalan, semua kegiatan bahkan sampai buang hajat sekali pun mereka lakukan di tempat tidur. Aroma pesing adalah hal biasa di sana.

Baca Juga  Kesempatan Terakhir Bersama Nenek

Obrolan dengan mereka jauh lebih menyengat ketimbang aroma pesing itu. Ada seorang nenek yang bercerita, anak laki-lakinya sekarang sudah jadi kepala di kantornya, “Tapi dia cuma bisa membahagiakan dirinya sendiri, istri dan anaknya” katanya. Anaknya ini jarang sekali menengoknya, toh nenek ini tetap berpesan pada saya dan teman saya, “Tolong kalau ketemu dia, bilangin Mamah Enin di sini”.

Ketika kami berpamitan, doa dan pesan meluncur dari bibirnya, “Semoga kalian sukses, cepat dapat kerja biar kalau mau bantu orangtua tidak bergantung pada suami, biar tidak dibuang suami”. ‘Dibuang’, kata itu begitu menggelisahkan hingga terngiang terus di telinga saya.

Bersambung …

*)Penulis adalah seorang ibu yang senang bercerita lewat tulisan

Bagikan
Post a Comment