f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
takbir

Ruas Takbir

Coba Rahmania bayangkan, bagaimana jika di Indonesia tidak ada takbiran. Mungkin senada dengan apa yang saya bayangkan. Terasa hambar. Sama seperti halnya sambal mangga tidak ada mangganya, bukan sambal mangga namanya. Ya, sama seperti satu hari sebelum Idulfitri, tidak afdhol kalau tidak ada proses semarak takbir keliling sebelumnya. Dan sangat mungkin berdasarkan karakter slenge’annya orang Jawa Timur menganggap, “ora Idulfitri jenenge yen ora ono takbiran”. Karena momentum puasa dan takbiran semacam satu paket nuansa menyambut Idulfitri.

Tetapi takbiran tidak selalu mengesankan—bahwa kendati di Indonesia itu soal lain. Ini menurut cerita seorang teman. Bahwa salah satu daerah di Montreal, ketika itu ada seorang yang memimpin takbiran, tapi dengan nada yang sangat datar, nyaris tanpa menimbulkan getaran indah.

Perlu untuk kita renungkan kembali bahwa keindahan alunan suara—ditambah iringan musik—dapat mempengaruhi perasaan manusia. Apalagi yang dilantunkan adalah percikan ayat Allah Swt. Bahwa di dalam jiwa manusia, menurut para Sufi, ada sumbu api cinta yang gampang terbakar oleh nada-nada indah. Kalau kata Emha Ainun Nadjib (Mbah Nun), Tuhan itu Maha Indah dan menyukai keindahan. Misalnya dalam salah satu ayat yang merepresentasikan Allah yang Maha Indah: wan-najmu wasy-syajaru yasjudān (Qs. Ar-Rahman [55]: 6).

Akan tetapi, keindahan suara dan musik hanya sekadar alat, bukan tujuan. Takbiran dengan suara merdu memang memberikan nuansa kontemplatif yang lebih khusyuk. Tapi tidak ada artinya jika makna takbir itu tidak diketahui. Apalagi yang takbiran sebetulnya hanya kaset rekaman, sedang kita sendiri asyik-masyuk bercengkerama.

Sebaliknya, apabila Rahmania pernah mengalami suatu fenomena di mana suara takbir amat langka di suatu daerah, Rahmania mungkin akan merindukannya. Keindahan suara atau iringan musik sudah bukan lagi problem. Intinya semarak suara takbir-lah yang Anda rindukan. Dalam suasana demikian, momentum takbir akan terasa lebih bergetar dan penuh makna. Seperti seteguk air yang didapat seorang musafir yang sedang dahaga di tengah gurun. Kelangkaan membuatnya lebih berharga.

Baca Juga  Idulfitri ala Indonesia yang Tak Ditemui di Turki, Termasuk Para Perempuan yang Tidak Salat Id
Takbir

Yai Muzammil pernah menginformasikan bahwa takbir berasal dari kata kabura yakburu kubran yang artinya besar. Kabiir sebagai kata sifat, artinya yang besar. Kemudian untuk mendapatkan arti aktif-transitif diubah menjadi kabbara yukabbiru takbiiran, artinya membesarkan atau menyatakan sesuatu sebagai besar atau agung.

Jadi kata takbir, karena transitif, membutuhkan obyek atau sesuatu di luar diri sang pengucap untuk dinyatakan kebesaran dan keagungannya oleh si pengucap. Oleh karenanya, kalimat takbir kita adalah Allahu Akbar, yang artinya Allah Maha lebih besar. Jadi yang dinyatakan sebagai Maha Lebih besar itu adalah Allah Swt. yang memang seperti itu adanya.

Dengan demikian, takbir diucapkan bukan untuk membesarkan atau membesar-besarkan diri sendiri, karena membesarkan atau menyatakan diri sendiri sebagai yang besar (al-Kabir) itu namanya takabbur. Secara nilai, takabbur merupakan lawan takbir, karena takbir membesarkan pihak lain sedangkan takabbur membesarkan diri sendiri. Oleh karenanya, jika takbir merupakan kalimat thayyibah dan terpuji, takabbur merupakan sifat tercela bahkan bisa membawa seseorang menjadi musyrik.

Di dalam takbir terkandung nilai tasghir (pengecilan) terhadap diri sendiri, karena tidak mungkin seseorang bisa mengagungkan Allah Swt dengan sebenar-benarnya apabila masih merasa besar. Sebaliknya di dalam takabbur, juga terkandung nilai tasghir, tapi kepada  pihak lain, karena tidak mungkin juga seseorang yang mengakui dan menyadari kebesaran Allah swt, bisa bersifat takabbur.

Kontemplasi dalam Koridor Takbiran

Dalam upaya menyambut momentum takbiran, kita bisa mengeksploitasi diri kita untuk kembali berkontemplasi agar mencapai titik tasghir secara lebih mendalam. Ini tidak berarti kita sebaiknya meninggalkan tempat yang ramai takbir dan menuju tempat yang sepi takbir untuk mendapatkan nuansa kontemplasi yang lebih mendalam. Akan tetapi yang saya katakan di awal adalah betapa suasana dapat mempengaruhi kepekaan hati kita pada makna. Dalam lingkungan di mana takbir begitu ramai, kita perlu sesekali mengambil jarak untuk tidak kehilangan maknanya. Agar puncaknya kita bisa menyadari Allah Swt. itu Wa lam yakul lahụ kufuwan aḥad (Qs. Al-Ikhlas [112]: 4).

Baca Juga  Peran Keluarga dalam Adaptasi Perubahan Iklim

Dalam analogi yang lebih praktis—berdasarkan pengalaman pribadi—setelah saya merasa bahwa saya sudah baligh, saya tidak pernah ikut takbir keliling. Bukan karena tidak suka menjadi partisipan desa dalam menyemarakkan kalau tibanya fajar esok adalah momentum hari besar umat Islam, tapi karena saya ingin mengakses nilai tasghir yang agak lebih private.

Hal ini bukan pula saya menyarankan Rahmania demikian, karena kita bisa mencontoh ilmu Ali bin Abi Thalib yang tidak peduli ramai atau sepi: semua titik, simbol, dan obyek apapun yang beliau lihat dan rasakan adalah satu entitas dengan Allah. Tapi, karena saya ini orang lemah: dalam kualitas pandang batin saya masih gampang ter-distract segala sesuatu yang materiil, maka saya membutuhkan suasana yang lebih private untuk kembali eling lan waspada, sapa sira sapa ingsun. Untuk kembali mengingat ngendikane Allah Swt., Allāhullażī khalaqakum min ḍa’fin ṡumma ja’ala mim ba’di ḍa’fing quwwatan ṡumma ja’ala mim ba’di quwwatin ḍa’faw wa syaibah, yakhluqu mā yasyā` (Qs. Ar-Rum [30]: 54).

“Anda sesat! Allahu Akbar!” teriaknya, menuding saudaranya sesama muslim dalam suatu seminar. Sedang teman-temannya ikut susul-menyusul mengucapkan takbir. Apakah takbir semacam itu adalah bentuk kerendahan hati atau kesombongan?

Bagikan
Post tags:
Post a Comment