f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
amina wadud

Re-reading Al-Qur’an ala Amina Wadud

Terdapat sebuah adagium yang diperpegangi oleh para pemikir muslim, sehingga mereka begitu semangat dan teguh dalam mengungkapkan pesan Al-Qur’an. Adagium tersebut “al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan” yang mengindikasikan bahwa Al-Qur’an relevan untuk berbagai waktu dan tempat. Dan agar relevansi Al-Qur’an terus terjaga, maka Amina Wadud mengusulkan untuk Al-Qur’an harus terus-menerus ditafsir ulang.

Ayat-ayat gender telah menjadi perhatian Amina Wadud dalam membaca ulang Al-Qur’an. Upaya yang dilakukannya tersebut telah menghasilkan magnum opus; yang hingga kini masih hangat untuk dikaji dan direfleksikan pada kehidupan saat ini; yaitu Qur’an and Woman “Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective”. Salah satu asumsi dasar yang dijadikan kerangka pemikiran Amina Wadud adalah Al-Qur’an merupakan sumber nilai tertinggi yang secara adil memosisikan laki-laki dan perempuan.   

Latar Belakang Pemikiran Amina Wadud

Amina Wadud dalam karya monumentalnya “Qur’an and Woman” menghendaki sebuah “pembacaan baru” terhadap Al-Qur’an yang bermakna bagi kehidupan perempuan di era modern. Tentu saja tujuan di atas tidak datang dengan sendirinya.

Setidaknya terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi Amina Wadud, yaitu :

Pertama, sebagai seorang wanita yang berasal dari ras Afro-Amerika, Amina Wadud sering kali mendapatkan diskriminasi di tempat tinggalnya. Masyarakat meyakini bahwa perempuan lebih rendah dari laki-laki adalah faktor di balik itu.

Faktor kedua yang melatarbelakangimya adalah keprihatinan terhadap karya-karya tafsir klasik yang semuanya ditulis oleh laki-laki; tanpa adanya partisipasi dan representasi langsung dari perempuan—walaupun pada kenyataannya terdapat mufassir perempuan, yaitu Bint al-Syati’; namun tafsirnya lebih fokus pada nilai kesusastraan Al-Qur’an. Tentunya hal demikian akan mempengaruhi pemaknaan suatu ayat. Hal ini dikarenakan ayat tersebut ditafsirkan menurut visi, perspektif, kehendak atau kebutuhan laki-laki.

Baca Juga  Hilangnya Kepedulian Terhadap Pengidap Autisme

Adapun faktor ketiga yang melandasi Amina Wadud mengkaji isu-isu gender dalam kacamata Al-Qur’an disebabkan kecenderungan kaum feminis yang menghendaki pemutusan total dari masa lalu; bahkan menentang kuat pesan Al-Qur’an. Penentangan di atas terjadi karena mereka menganggap bahwa Al-Qur’an telah membatasi perempuan. Pandangan di atas dianggap oleh Wadud sebagai kekeliruan; karena mereka tidak mampu membedakan antara pesan yang ingin disampaikan oleh Al-Qur’an dengan penafsiran terhadap pesan Al-Qur’an

Bahasa dan “Prior text

Amina Wadud dalam bukunya yang bertajuk “Qur’an and Woman” mengungkapkan bahwa, “One unique element for reading and understanding any text is the prior text of the individual reader: the language and cultural context in which the text is read”.

Prior text atau biasa lebih dikenal dengan prateks merupakan bahasa dan konteks budaya sang pembaca teks. Tentu saja prateks ini merupakan sesuatu yang khas dalam sebuah pembacaan disebabkan ia menggambarkan individualitas sang pembaca teks (mufassir) dalam menafsirkan ayat. Dan hal itu pula yang akan melahirkan berbagai perspektif dan kesimpulan dalam penafsiran. Hal di atas tentu bukan sesuatu yang buruk selama sang mufassir tidak menganggap bahwa hanya tafsirannya yang benar.

Hermeneutika Amina Wadud

Dalam berbagai kesempatan Amina Wadud mengkritik metodologi yang digunakan oleh sebagian besar tafsir tradisional yang bersifat atomistik. Menurutnya metodologi tersebut akan mengaburkan mufassir dalam menghubungkan berbagai gagasan, struktur sintaksis, atau tema-tema yang sama yang terdapat dalam Al-Qur’an; sebagai gantinya ia menawarkan penafsiran Al-Qur’an yang bersifat holistik. Tentu pandangan Amina Wadud di atas ini sesuai dengan aforisme yang diperpegangi oleh para mufassir—baik klasik maupun kontemporer— bahwa “al-Qur’an yufassiru ba’duhu ba’dan”.

Baca Juga  3W sebagai Wujud ‘Syukur’ Saat Pandemi

Guna mewujudkan “pembacaan” yang holistik terhadap Al-Qur’an, Amina Wadud menawarkan hermeneutika yang digagas oleh Fazlur Rahman, yaitu double movement. Hermeneutika ini menghendaki agar semua ayat—yang diturunkan pada titik waktu sejarah tertentu dan dalam kondisi umum dan khusus tertentu—diungkap menurut waktu dan suasana penurunannya. Dengan demikian, seorang mufassir harus mengetahui maksud ayat tersebut berdasarkan waktu dan suasana penurunannya. Pembacaan tersebut penting untuk diterapkan guna mengungkapkan makna sebenarnya yang mengindikasikan maksud dari ketetapan; atau prinsip yang terdapat dalam suatu ayat.

Setelah menemukan maksud dari ketetapan atau prinsip yang terkandung dalam ayat; selanjutnya mufassir harus membuat aplikasi praktis yang sejalan dengan prinsip yang telah ditemukan sebelumnya pada langkah pertama tadi. Hal ini penting untuk diterapkan guna merefleksikan pesan Al-Qur’an saat ini yang memiliki kondisi dan suasana yang berbeda dengan suasana ketika Al-Qur’an diturunkan.

Pendek kata, setiap masyarakat Islam harus memahami prinsip-prinsip dasar dan tak berubah dari Al-Qur’an; lalu menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam refleksi khas mereka sendiri. Walaupun Amina Wadud dan Fazlur Rahman menggunakan metodologi yang sama, namun mereka memiliki penafsiran yang berbeda terhadap suatu ayat.

Persaksian Perempuan

Sebut misalnya dalam kasus persaksian. Fazlur Rahman mengatakan bahwa alasan mengapa diperlukan dua perempuan untuk mengganti satu laki-laki adalah karena perempuan pada saat itu umumnya tidak banyak terlibat atau dilibatkan dalam berbagai kegiatan transaksi finansial; sehingga sangat memungkinkan bagi mereka lupa. Dengan demikian, ketika itu ditarik pada konteks saat ini yang di mana laki dan perempuan memiliki intensitas dan ekstensitas yang tidak berbeda; maka kesaksian mereka sama dengan kesaksian laki-laki.

Beda halnya dengan Amina Wadud, di samping ia sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh Rahman. Ia juga menambahkan bahwa pada saat wahyu diturunkan, perempuan sangat mudah untuk ditekan; sehingga sangat memungkinkan bagi perempuan terbujuk untuk memberikan kesaksian palsu. Dengan demikian, Amina Wadud mengatakan bahwa mengapa dibutuhkan dua persaksian perempuan agar mereka saling menguatkan ketika ditekan oleh saksi yang lain. Bahkan lebih lanjut, Amina Wadud mengatakan bahwa persaksian perempuan yang dimaksud oleh ayat ini hanya berlaku pada jenis perjanjian finansial saja.

Baca Juga  Amina Wadud: Solusi Diskriminasi Transgender

Menanggapi penafsiran Amina Wadud, penulis melihat adanya ketumpangtindihan dan inkonsistensi antara argumen Amina Wadud yang mengatakan bahwa dua saksi perempuan ditujukan agar mereka tidak ditekan dengan argumen lainnya yang mengatakan bahwa persaksian dua perempuan hanya diperuntukkan untuk jenis perjanjian finansial saja.

Penafsiran Amina Wadud di atas menimbulkan pertanyaan “Jikalau benar bahwa dibutuhkan dua persaksian perempuan agar mereka saling menguatkan ketika ditekan oleh saksi yang lain; lantas mengapa dua persaksian perempuan hanya dapat berlaku dalam konteks perjanjian finansial saja?”. “Apakah pada jenis perjanjian yang lain perempuan tidak akan ditekan oleh saksi lainnya?”. Tentu pertanyaan-pertanyaan di atas timbul atas ketumpangtindihan argumen-argumen yang dibawakan oleh Amina Wadud.

Di sisi lain, penulis juga melihat bahwa penafsiran Amina Wadud terkait persaksian, tidak membawa konsekuensi hukum baru yang dapat menyetarakan gender pada zaman ini. Sehingga terlihat hanya menarasikan alasan dibalik penentuan persaksian perempuan dan hanya mengkhususkannya pada perjanjian finansial saja.     

Bagikan
Post a Comment