Site icon Inspirasi Muslimah

Piti Rambang: Tradisi dan Pengerdilan Hak-Hak Perempuan

piti rambang

Piti Rambang merupakan budaya yang dilakukan masyarakat pedalaman Sumba, yang mana tradisi ini sudah ada sejak nenek moyang dan dilakukan secara turun-temurun. Piti Rambang atau Kawin tangkap merupakan bagian dari upacara pernikahan tanpa peminangan yang terjadi karena belum tercapai kesepakatan mengenai besaran mahar oleh kedua keluarga. Dalam adat lama Sumba, praktik kawin tangkap terjadi ketika keluarga mempelai pria menghadapi kendala mahar yang besar dari pihak perempuan.

Pada awalnya, tradisi ini melibatkan seorang perempuan yang mengenakan pakaian adat dan calon mempelai pria yang menunggangi seekor kuda. Kemudian perempuan itu ditangkap oleh seorang laki-laki. Setelah ditangkap, pihak laki-laki membawa sebuah parang dan seekor kuda kepada pihak perempuan sebagai permohonan maaf dan sebagai tanda bahwa perempuan itu telah tiba di rumah pihak laki-laki.

Seiring berjalannya waktu, kawin tangkap tidak lagi dilakukan sesuai dengan prosedur tradisional yang digunakan pada awalnya. Tradisi ini telah berubah pada akhir-akhir ini dan merugikan seorang perempuan secara pribadi. Kawin tangkap atau piti rambang seakan membuat perempuan merasa dilecehkan, diculik, bahkan merasa tidak berharga.

Diskriminasi terhadap Perempuan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia (HAM), terdapat penegasan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang melekat sejak lahir, bersifat universal, dan langgeng. Hak ini harus dihormati, dilindungi, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dirampas atau dikurangi oleh siapapun. Hak istimewa yang dimiliki manusia sejak lahir harus dijaga serta tidak boleh dirampas oleh siapapun. Namun, disayangkan bahwa tradisi kawin tangkap yang terjadi di Sumba menjadi contoh nyata bahwa hak asasi perempuan telah dirampas.

Praktik Piti Rambang ini tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia, namun juga melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Perempuan. Kedua undang-undang tersebut menegaskan bahwa perkawinan harus didasarkan pada kesepakatan dari kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan. Hak untuk memilih pasangan dan menentukan pilihan untuk melangsungkan pernikahan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang melekat pada diri manusia dan tidak boleh diganggu atau dirampas.

Fakta lapangan menjelaskan bahwa tradisi kawin tangkap masih berlangsung hingga saat ini dan menunjukkan bahwa hak asasi manusia khususnya perempuan terus terancam. Sebab itu, membutuhkan adanya tindakan lanjutan untuk menanggapi praktik kawin tangkap ini. Meskipun tradisi ini sudah menjadi bagian dari warisan budaya, mayoritas masyarakat Sumba pun tidak setuju dengan eksistensi kawin tangkap. Mereka melihatnya sebagai suatu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi perempuan, yang seharusnya memiliki kebebasan untuk memilih calon pendamping hidupnya.

Tantangan utama dalam menanggapi tradisi kawin tangkap adalah adanya masyarakat yang tetap mempertahankan praktik ini dengan dalih tradisi adat. Mereka meyakini bahwa kawin tangkap merupakan bagian dari warisan nenek moyang yang harus dilestarikan. Walaupun hal tersebut berkonflik dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Dengan alasan tradisi adat, para pelaku kawin tangkap dapat melindungi diri dari tindakan hukum. Dengan demikian, sangat membutuhkan upaya lebih lanjut untuk mengubah persepsi dan sikap masyarakat terhadap tradisi kawin tangkap. Pendidikan, dialog, dan partisipasi aktif dari berbagai pihak termasuk pemerintah dan lembaga penegak hukum, menjadi kunci dalam mengatasi tantangan ini. Dengan demikian, harapannya hak asasi manusia, terutama hak asasi perempuan dapat terlindungi dan dihormati dengan lebih baik.

Islam Agama yang Memuliakan Perempuan

Sebagai agama yang sarat akan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Islam menyampaikan pesan yang kuat mengenai pemuliaan perempuan termasuk dalam konteks pernikahan. Dalam pandangan islam, pernikahan bukan hanya sebagai ikatan lahiriah, tetapi juga sebagai perjanjian rohaniah yang memerlukan pemuliaan dan penghormatan terhadap kedua pasangan. Pemahaman ini tercermin dalam prinsip-prinsip dan ajaran Islam yang memberikan kedudukan tinggi kepada perempuan dalam pernikahan. Prinsip kesetaraan antara suami dan istri dalam pernikahan.

Tertulis dalam Al-Qur’an, “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka (OS Al-Baqarah (2): 187). Dalam analogi ini, pakaian mencerminkan perlindungan, kehangatan, dan kedekatan, menciptakan hubungan simbiosis antara suami dan istri. Tidak ada superioritas yang melekat pada salah satu pihak, melainkan kerjasama dan saling melengkapi. Kemudian, pemahaman Islam tentang pernikahan menempatkan perempuan sebagai mitra yang setara dalam pengambilan keputusan keluarga. Suami dan istri diharapkan untuk berdiskusi dan bekerjasama dalam mengelola rumah tangga serta merencanakan masa depan bersama.

Islam memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan dalam pernikahan. Mulai dari hak warisan, hak mendapatkan nafkah, dan hak-hak ekonomi lainnya. Hal tersebut dijamin dan diakui sebagai bentuk pemuliaan terhadap perempuan. Nabi Muhammuad SAW bersabda “Orang-orang yang berbuat adil terhadap anak-anak perempuan dan memperlakukannya dengan baik maka aku dan dia seperti ini di surga.” Hal ini menegaskan bahwa pemuliaan perempuan dalam Islam mencakup aspek kehidupan ekonomi dan sosial. Selain itu, Islam menitikberatkan pada perlunya perlindungan terhadap kehormatan dan martabat perempuan. Dalam konteks pernikahan, sangat menekankan perihal etika dan moralitas. Larangan pelecehan verbal maupun fisik, serta kewajiban suami untuk memberikan perlindungan dan keamanan kepada istri. Hal terebut mencerminkan pemuliaan perempuan sebagai individu yang berhak mendapatkan penghargaan dan kehormatan.

Dalam keseluruhan, Islam memuliakan perempuan dalam pernikahan dengan menekankan kesetaraan, kerjasama, perlindungan hukum, dan perlindungan terhadap kehormatan. Konsep ini menciptakan dasar yang kokoh untuk membentuk keluarga yang seimbang dan harmonis. Di mana kedua pasangan dapat hidup dalam cinta, penghargaan, dan kerja sama yang saling memperkaya. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam akan menginspirasi praktik pernikahan yang membawa keberkahan dan kebahagiaan bagi suami dan istri.

Bagikan
Exit mobile version