Site icon Inspirasi Muslimah

Perempuan Pedagang Pasar Tradisional dan Beban Peran Ganda

pedagang perempuan

Para pedagang perempuan di pasar tradisional pada dasarnya telah memiliki pengalaman berusaha lebih dari lima tahun. Ada juga dari mereka yang berdagang secara turun temurun melanjutkan usaha orang tuanya. Hampir sama dengan perempuan yang bergelut pada sektor informal, mereka juga memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Pedagang perempuan setidaknya terbagi menjadi tiga jenis berdasarkan tempat berdagangnya.

Pertama, perempuan yang berdagang di kios, yakni mereka yang berdagang secara permanen pada toko-toko yang ada di luar pasar. Pedagang perempuan model ini biasanya berdagang dengan cara grosir mulai dari sembako, emas maupun perabot rumah tangga.

Kedua, perempuan yang berdagang di los, yakni mereka yang berjualan pada lapak-lapak dengan menyewa pada pengelola pasar. Mereka berjualan dengan cara eceran maupun grosir. Mereka sering dikelompokkan berdasar jenis dagangannya seperti los sayur mayur, pakaian, lauk pauk, dan lain-lain. Ketiga, pedagang warung, yakni mereka yang menjajakan makanan siap makan menyewa los ataupun kios.

Para pedagang perempuan memiliki tingkat pendidikan terbatas tak hanya karena masalah akses, melainkan juga dipengaruhi oleh pandangan orang tuanya. Orang tua mereka sebelumnya memandang bahwa anaknya tak membutuhkan pendidikan tinggi untuk meneruskan berdagang. Kemampuan membaca, menulis dan menghitung dianggap “dianggap sudah cukup.”

Orang tua mereka bahkan dulu sengaja menikahkan anak mereka pada usia muda dengan tingkat pendidikan yang terbatas. Perempuan yang kini menjadi pedagang pasar menurut kajian Riska (2020) dulunya ada yang sengaja dijodohkan oleh orang tuanya ataupun segera menerima lamaran, apabila ada laki-laki yang menyatakan sanggup menjadi suami bagi anaknya. Sesungguhnya akar masalahnya adalah kemampuan orang tua mereka yang terbatas disebabkan pendapatan rumah tangga hanya cukup untuk makan belum dapat untuk mengakses pendidikan lebih tinggi.

Pedagang perempuan pasar tradisional di sisi lain memiliki kelebihan dibandingkan laki-laki. Pedagang perempuan menawarkan dagangannya dengan lebih maksimal. Mereka tak segan bersuara keras untuk menarik calon konsumen tentunya diikuti dengan sikap ramah. Pedagang perempuan juga mengajak bicara konsumen, agar merasa dekat dengan dirinya. Hal tersebut yang membuat dagangan pedagang perempuan cepat laku dibandingkan pedagang laki-laki.

Lama berdagang di pasar memang berperan penting dalam keterampilan menarik konsumen, namun masih ada faktor lainnya yakni kondisi sosiologis dan psiko sosial pasar tradisional. Kondisi sosiologis yang dimaksud misalnya pedagang perempuan harus tahu ke mana mereka harus mendapatkan produk dengan harga murah yang akan dijual kembali.

Kondisi sosiologis lain adalah adanya “kesepakatan kultural” mengenai harga jual dagangan. Apabila ada pedagang yang menjual barang dengan harga di bawah kesepakatan akan berdampak kepada relasi sosial dengan pedagang lain. Mereka biasanya akan ditegur, dijauhi bahkan difitnah apabila melanggar kesepakatan.

Kondisi psikososial yang dimaksud adalah ketahanan dalam persaingan dengan sesama pedagang, apalagi jika lapak yang disewanya rentan diganti oleh pedagang lain. Pedagang terkadang harus membayar “uang ekstra” untuk mengamankan posisi lapaknya. Relasi sosial seperti kerabat yang sama berjualan di pasar menjadi faktor psiko sosial lain yang memengaruhi pedagang.

Perempuan di Dua Dunia yang Berbeda

Menurut Fujiati (2017), keterlibatan perempuan di pasar tradisional menjadi bentuk konstruksi ulang atas kuasa perempuan yang tak hanya terbatas di ranah domestik, melainkan juga berperan penting memainkan kuasa “memainkan pasar.” Hal tersebut berbeda dengan keberadaan perempuan di pasar modern yang tak memiliki kuasa untuk mengambil keputusan. Dan mereka hanya menjadi buruh yang “dihisap” serta memperoleh upah.

Pedagang perempuan biasa berjualan selama 5 s.d. 9 jam. Mereka yang tinggal jauh dari pasar memiliki waktu berdagang yang lebih sedikit. Waktu yang lama untuk berdagang menyebabkan mereka tak memiliki waktu cukup untuk mengurus urusan rumah tangga. Apalagi jika pedagang sakit semua tanggung jawab menjadi terganggu. 

Pembagian kerja urusan domestik jarang dibagi dengan suaminya, melainkan dibebankan kepada anak. Berbeda dengan suami yang tidak bekerja, mereka tidak keberatan untuk mengurus anak dan ranah domestik lainnya. Beban kerja pedagang perempuan menjadi berlipat ganda akibat minim pembagian tugas ranah domestik. Mereka yang membebankan tugas domestik pada anak biasanya dilakukan, apabila anak telah berusia 14 tahun ke atas.

Berbeda kala anaknya masih balita membuat pedagang sepulang kerja harus merawat anaknya sampai waktu istirahat malam. Waktu yang terkuras menyebabkan ikatan emosional dengan anak bisa saja menjadi terhambat, meskipun suami mendukung pekerjaan istri sebagai pedagang pasar.

Pedagang perempuan dalam alam bawah sadarnya meyakini bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk bekerja dan berkegiatan di luar urusan domestik. Kajian Indah (2022) terhadap “ideologi gender” pedagang perempuan menunjukkan bahwa pedagang menyadari perempuan justru memiliki sisi positif dibandingkan laki-laki seperti lebih bisa berpikir panjang dan mengerti keadaan. Kita tetap perlu berhati-hati dalam memahami struktur pengetahuan seperti itu karena justru rentan melanggengkan stigma pekerjaan yang sekiranya “hanya bisa dikerjakan” oleh perempuan.

Menurut Kajian Indah (2022), pedagang perempuan sepertinya masih terjebak dalam struktur pengetahuan “ibuisme negara”. Hal ini terlihat dari pedagang yang masih percaya bahwa mereka “harus mengikuti kemauan suami.”Mereka percaya perempuan harus “mengikuti perintah suami selama tidak merugikan dan menyakiti istri” alih-alih memahami pentingnya proses dialog dalam rumah tangga termasuk dalam pembagian tugas dalam urusan domestik.

Pedagang pasar tradisional pada dasarnya adalah bentuk usaha subsistensi atau bisa disebut juga pedagang semi profesional yakni berusaha hanya untuk strategi bertahan hidup, di mana sifat bisnis seperti itu juga terkait dengan kendala-kendala ekonomi politik yang harus mereka tanggung antara fungsi produksi dan reproduksi.

Sifat usaha subsisten membuat bila perempuan tak berdagang akan menyebabkan guncangan penghidupan keluarga. Hal tersebut juga terkait dengan minimnya akses perempuan terhadap informasi tentang kredit apalagi mendapatkan tambahan modal usaha serta sumber penghidupan lain. Akibatnya ada yang dari mereka bahkan terjerat rentenir.

Akses yang tersedia, tetapi terbatas juga justru menjadi membuat mereka semakin rentan di tengah fluktuasi ekonomi. Akibatnya mereka yang memiliki akses terbatas harus mencari pinjaman lain untuk menutupi jatuh tempo hutang saat ekonomi sulit. Perempuan yang tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga membuat mereka juga tak bisa terlibat dalam pengelolaan keuangan secara menyeluruh. Pedagang perempuan kemudian menjadi tak bisa mengandalkan jaringan sosial apalagi membayar jasa untuk mengurus ranah domestik.

Tulisan ini telah mendudukkan jeratan-jeratan yang nyata dihadapi oleh pedagang perempuan sebagai konsekuensi dari struktur usaha perseorangan dan beban ganda yang harus dikerjakan. Dialog di dalam keluarga perlu ditekankan dan kehadiran negara dalam perlindungan sosial diperlukan untuk membebaskan pedagang perempuan dari jeratan-jeratan itu.

Bagikan
Exit mobile version