Perempuan, Film, dan Islam
Sejak jaman pra islam persoalan mengenai gender, sudah menjadi permasalahan yang sensitif untuk dibicarakan, dan masih pro dan kontra di kalangan masyarakat. Mengapa demikian? Karena inti dari permasalahan gender merupakan permasalahan konstruksi pemikiran sosial budaya. Tentang bagaimana tiap individu memberikan persepsi mereka, terhadap posisi peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan. Soal persepsi inilah yang menjadikan bahasan gender bersifat berbeda di tiap daerah, serta berubah-ubah di tiap individu di setiap perkembangan zaman.
Berbicara mengenai gender, posisi perempuanlah yang menjadi pusat perhatian oleh mayoritas. Bagaimana tidak, perawakan perempuan secara fisik yang lebih kecil dari laki-laki, dengan keterbatasan peran mereka yang bukan sebagai pemimpin dalam rumah tangga; menjadikan posisi perempuan selalu dinilai layaknya ekor untuk laki-laki bahkan dinilai lemah.
Pada masa jahiliyah sebelum Islam masuk ke kota Mekkah oleh Rasulullah saja; perempuan dimaknai sebagai aib dan becana bagi keluarganya. Sehingga tiap bayi perempuan yang dilahirkan di masa itu, diperintahkan harus langsung dibunuh dan dikubur hidup-hidup. Peristiwa ini Allah jelaskan dalam firmannya QS. An-Nahl (16) ayat 57-59, yang memiliki arti:
“Dan mereka tetapkan bagi Allah anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak laki-laki). Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak , disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup?). Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”
Bentuk diskriminasi terhadap perempuan pun saat ini masih terjadi, seperti pemberitaan terkait ucapan calon kapolri Azis tentang ucapan pesannya terhadap istrinya mengenai perempuan harus di dapur, Kasur, dan sumur aja yang terposting dalam portal pemberitaan tirto.id pada bulan November tahun 2019.
Perempuan dan Film
Di era modern saat ini konstruksi sebagian besar masyarakat lebih terbangun oleh faktor tayangan film. Tak sedikit para individu yang membentuk pola kehidupannya dengan menyamakan apa yang ada dalam tayangan film. Seperti dalam hubungan keromantisan antara laki-laki dan perempuan, sebagian masyarakat menolak ukur dari citra keromantisan tokoh Dilan dan Milea dari film Dilan 1990 dan kisah sejarah hubungan percintaan Bapak Habibie dan Ibu Ainun dalam film Habibie. Hal ini karena film hadir dengan sajian hasil riset terkait fenomena yang ada.
Mengkhawatirkannya, tak sedikit film memberikan portrait perempuan sebagai kaum yang lebih rendah dari laki-laki. Sebagian besar film menghadirkan representasi perempuan sebagai alat pemuas seks, seperti tergambarkan dalam penayangan film “Virgin”. Hal ini bisa menjadi senjata tak terbantahkan memperkuat stereotipe masyarakat bahwa perempuan itu lemah. Menurut Enjang AS (2004) proses menonton film biasanya terjadi gejala identifikasi psikologis.
Penonton ikut merasakan suasana yang tegambarkan dalam film; meniru adegan-adegan tokohnya, menyamakan karakter tokoh dengan hidupnya, serta pesan-pesan yang disampaikan akan membekas pada pemikiran mereka dan berpengaruh pada realita kehidupan mereka. Hal ini menyebabkan film tidak sekedar sebagai media yang menggambarkan realitas, namun juga sebagai media yang membangun realitas untuk publik.
***
Kabar bahagianya representasi perempuan saat ini di dunia perfilman sudah mulai berubah, citra perempuan terangkat sebagai sosok yang berdaya dan mampu berkarya. Bahkan saat ini terdapat pula sebuah film yang disutradai oleh perempuan. Para industri perfilman islami juga ikut membantu merepresentasikan perempuan yang dapat memiliki peluang berpresetasi.
Beberapa contoh judul film yang mengangkat tentang keberdayaan perempuan untuk berkarya: Tiga Srikadi, Kartini, Ainun, Sisterlillah, Merry Riana, Susi Susanti, Athirah, Sri Asih, Nyai Ahmad Dahlan dan lainnya. Perubahan perwajahan dunia industri film tentang perempuan ini terjadi, bisa jadi disebabkan oleh semakin meluasnya pembahasan kesetaraan gender yang dipengaruhi oleh faktor (Subhan, Zaitunah; 2015):
- Imbasnya hadirnya para paham penganut feminism
- Banyak peluang membuka perepuan untuk berkarya
- Munculah pemimpin dari Kalangan perempuan
Islam dan Kesetaraan Gender
Di dalam islam Allah sangat menjunjung sekali kehormatan perempuan, dan tidak ada pembeda perkara apapun terkait pencapaian kesusesan dunia, terkecuali terhadap kodrat perempuan yang telah ditentukan, Hal ini bisa dilihat dalam firman Allah (QS.An-Nisa (4) :19):
“Hai orang-orang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali Sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut.”
Adapun lima konsep dalam Al-Qur’an terkait kesetaraan gender :
- Laki-laki dan perempuan mempunyai kesamaan posisi sebagai hamba.
- Perempuan dan laki-laki sama bertugas sebagai khalifah di muka bumi ini.
- Anak laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian primordial.
- Adam dan Hawa sebagai laki-laki dan perempuan sama terlibat secara aktif dalam drama kosmis.
- Laki-laki dan perempuan sama dalam berpotensi untuk meraih prestasi, dan akan menerima penghargaan atau hukuman tanpa dibedakan.
Kelebihan karakteristik film yang disajikan dari fenomena di tengah masyarakat, serta penayangan gambar dan suara yang dapat memicu emosional penonton, apalagi saat ini film mudah diakses dengan streaming, menjadikan film memiliki posisi semakin dekat dengan para audience. Apa yang ditayangkan film akan lebih mudah masuk dalam pemikiran mereka, karena konsumsi film yang banyak mereka bisa asumsi.
Syukurnya penayangan film akan representasi perempuan yang sudah mulai membaik, membuat sebagian masyarakat paham akan perbedaan peran gender dan biologis pada laki-laki dan perempuan. Sayangnya hal ini hanya bisa dijangkau dalam ruang kota saja, belum sampai pada daerah pedalaman yang masih susah terjangkau dengan internet atau dengan hal-hal yang berbau dunia modern seperti film.
Daftar Pustaka
Nurudin, Sigit Surahman,dkk. 2019. Representasi Perempuan dalam Film Siti. 2019. Nyimak Journal Communication, 3(1), 49.
Primastika, Widia. 2 November 2019. Tugas Perempuan Tidak Melulu Dapur, Sumur, dan Kasur, Pak Kapolri. https://tirto.id/tugas-perempuan-tidak-melulu-dapur-sumur-dan- kasur-pak-kapolri-ekXk. Diakses pada tanggal 30 Maret 2021.
Subhan Zaitunah. 2015. Al-Quran dan Perempuan. Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP
Wahyuningsih, Sri. 2019. Film dan dakwah : memahami representasi pesan-pesan dakwah dalam film melalui analisis semiotic. Surabaya: Media Sahabat Cendekia.
Siti Sholeha, kelahiran Kota Surabaya 18 Maret 1995. Asal kota Sidoarjo, dan lulusan S1 Ilmu Komunikasi bidang kehumasan di Univeristas Muhammadiyah Malang. Memiliki passion di bidang menulis. Di tahun 2021 aktivitas sebagai anggota dari tim kreatif komunitas hijrah Surabaya Kahf, content creator academy, dan menjadi anggota magang paltform berita dan media @rahmadotid sebagai researcher konten. Salah satu kontributor buku antalogi puisi Duri-Duri Bunga Mawar dari FAM Publishing di tahun 2019.